2. Facts or lies

1222 Kata
Perlahan aku membuka kedua mataku. Warna serba putih, adalah hal yang pertama kali yang menyapa. Aku di Rumah sakit. Terdengar suara tangisan Ibuku yang saat ini tengah dipeluk oleh Ayahku. "Mah ...." panggilku pelan sekali. Mamah segera beranjak dan menghampiri. "Sayang, kamu baik-baik saja? Kenapa kamu nekat sayang? Apa kamu mau ninggalin Mamah dan Papah?" Maksudnya apa? Aku meraih tangannya Mamah, "Aku nekat apa Mah? Mamah kenapa nangis?" Ibuku membingkai wajahku. "Mamah sayang kamu, tolong jangan berpikir kalau Mamah dan Papah pisah karena enggak sayang sama kamu. Papah di luar kota karena ada pekerjaan. Dan Mamah, harus nungguin kamu. Mamah gak mau, kamu tinggal sendirian," Ucap Mamah pelan sekali. "Iya sayang, Papah tinggal di luar kota. Karena harus mengurus banyak pekerjaan. Itu semua buat kamu. Biar kamu bisa sekolah dengan nyaman tidak ada kekurangan apapun." Ayah ikut mendekat dan memelukku sejenak. Ok, ini otakku sepertinya mulai loading. Aku dibilang nekat, dan kedua orang tuaku meminta maaf. Tapi untuk apa? Ah, Sonia! Aku tiba-tiba berjengit, membuat kedua orang tuaku kaget. "Eh, sayang. Mau ke mana?" Mamah menahanku. "Kamu masih luka." "Sonia mana Mah!?" Ibu mengerjap. "Dia di luar sayang. Dia baik-baik aja." Aku turun, dan membuat kedua orang tuaku itu mengikuti dari belakang. "Tata ....," Ibu meraih tanganku pelan. "Sonia baik-baik aja, dia sangat mengkhawatirkan kamu." Melihat bagaimana cemasnya Mamah. Aku terdiam, kembali ingatanku pada kejadian itu. Lima Elang raksasa. Dan laki-laki bertopeng bermata gelap itu. Meraba leherku, Kenapa tidak ada jejaknya? Aku segera berlari ke toilet. Tentu saja membuat Mamah mengikutiku kembali. "Tata! Kamu ngapain di sana?" "Sebentar, Mah. Aku pipis dulu." melihat leherku. Aku penasaran pada apa yang terjadi. Apakah akan ada jejaknya? Tapi tidak ada, tidak ada apapun di leherku. Harusnya kalau laki-laki bertopeng itu menggigitku kemarin. Maka jejaknya akan terlihat hari ini. Apakah aku pingsan selama berminggu-minggu? Atau .... "Tata!" Suara Sonia, membuatku segera meninggalkan cermin. Dan membuka pintu. Kutemukan sahabatku tengah tersenyum. "Kamu baik-baik aja kan?" Aku menggangguk kikuk. "Kenapa kamu tidak cerita padaku, kalau kamu sedang ada masalah?" kataku. Sonia terlihat menautkan kedua alisnya. "Aku harus cerita apa sama kamu?" Aku mengajak Sonia duduk. "Kemarin itu membuatku sangat takut. Kamu kenapa mau loncat dari atas rooftop?" "Tunggu, tunggu, tunggu!"Sonia mengangkat kedua tangannya. Untuk menghentikan kalimatku. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan? Yang loncat dari atas gedung itu siapa?" tanya Sonia, terlihat bingung.  "Kamu tidak ingat? Apa kepalamu terbentur sesuatu?" Aku meneliti kepalanya Sonia. Aku yakin sekali, mungkin dia sedang terluka. Mengingat jarak roofhtop yang lumayan jauh ke jalan Raya. Melihat bagaimana paniknya aku, Sonia terdiam, tiba - tiba saja ia tertawa. "Kamu jangan bercanda. Yang nekad itu kamu, bukan aku. Kamu yang tiba-tiba lompat dari atas roofhtop dan membuat kami semua panik. Beruntung ada mobil yang mengangkut dus bekas, sehingga kamu jatuh ke atas mobil itu." jelas Sonia, semakin membuatku tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia sampaikan.  "A-aku kemarin loncat?" tanyaku padanya dengan ragu. "Iya, kemarin kamu loncat!" Sonia menatapku cemas. "Kamu bilang, Kedua orang tua kamu mau bercerai, dan penyebabnya adalah kamu." Jelas Sonia lagi, semakin membuat kepalaku pusing. "Iya, Ta. Gue sampe bingung nyelametin lo kaya gimana?" Irene menimbrung, tangannya mengelus kepalaku. "Kamu seharusnya bertanya terlebih dahulu pada kedua orang tua kamu. Kenapa sampai mereka pisah rumah?" Rizki ikut menghampiri, dan menasehatiku. "Pokoknya ada masalah apapun, kamu harus cerita pada kita semua. Jangan dipendam sendiri, ya. " Hazel membingkai wajahku, dengan kedua sorot matanya yang terlihat sangat cemas, tidak beda jauh dari Riski dan kedua teman perempuanku yang lainnya.  Dari semua cerita yang aku dengar. Sepertinya di sini ada sebuah kesalahan. Dan aku, jelas tidak mengerti. Tapi di sini, mereka pun punya cerita tentang kejadian kemarin, versi mereka. Lalu ... Bagaimana cerita yang sebenarnya? *** "Katanya mau traktir kita? mana?" Irene menagih janjinya Rizki yang katanya mau mentraktir kita semua. Maksudku hanya kami berempat.  "Tidak jadi, Kalau Tata masih saja terlihat kacau!" Rizki melirikku. Aku yakin sekali kalau dia masih menyangka bahwa aku masih memikirkan masalahku yang kemarin. Padahal aku sudah meyakinkan ke pada mereka. Kalau aku tidak sekacau itu. Dan tentang keinginanku untuk bunuh diri waktu itu tidaklah benar. Dan sebenarnya apa yang telah terjadi waktu itu tidak membuatku mengerti. Kenapa semua ceritanya jadi terbalik padaku. Bukankah yang mau bunuh diri waktu itu adalah Sonia? Memilih menyesap es teh manisku, sambil berpikir mencari semua jawabannya. Aku kembali memergoki si Arjuna itu, dia saat ini sedang menyesap jus berwarna merah. Mungkin jus buah naga, tapi kedua matanya terarah padaku. Aku mendengus, rasanya kesal sekali. Kalau seperti ini terus, aku jelas marah. Dia menatapku, seolah sedang menerawang pada tubuhku. Aku meletakan gelas es teh manis dengan sedikit dihentakan. Membuat ke empat temanku menautkan kedua alisnya. "Kamu mau ke mana?" Rizki bertanya, aku tidak menjawab. Dan melanjutkan langkahku. "Ada apa?" Arjuna bertanya, yang sepantasnya kalimat itu, aku yang mengatakannya. Kenapa dia sampai menatapku seperti itu, selekat itu. Sebelum menjawab, aku menatap ke empat teman-temannya. "Aku tidak suka, kalau ditatap dengan cara tidak sopan seperti itu!" Dia sejenak terdiam, tatapannya masih saja lekat. Namun bibir manis itu terlihat sedikit tertarik. "Aku natapin siapa?" Suaranya terdengar seolah tidak bersalah, dan tidak tahu apa pun. Lihat bagaimana keempat teman-temannya menertawakanku. Membuatku marah, dan malu. "Kamu pikir, aku natapin kamu?" Pertanyaan menyebalkan! "Jadi siapa yang kamu tatap? Iblis! Atau hantu?" Baiklah, aku mulai emosi. Dan sialnya dia malah tersenyum. "Aku tidak yakin, siapa yang aku tatap. Tapi kalau kamu seneng menjadi objek ku. Kenapa tidak?" "Di sekolah ini banyak sekali gadis cantik. Kenapa kamu pede sekali?" sambung salah satu temannya, membuatku melirik. Dia juga tersenyum padaku, dengan tatapan lekatnya. Membuatku tentu saja tambah marah.  "Aku tidak buta, Arjuna! Aku melihat kamu menatapku, seolah kamu ingin membunuhku!" Hey! Aku tidak berbohong, dia memang menatapku seperti itu. Dan kemarahanku ini, membuat senyumanya hilang, tapi tatapannya masih lekat. Arjuna mengambil jus warna merah itu. Lalu menyesapnya, dengan kedua mata tidak lepas dariku. Oh, ini sangat menyebalkan. Dia semakin lancang dan tidak tahu malu saja. Aku emosi, segera kurebut jus berisi cairan merah di tangan temannya. Lalu aku siramkan pada kepala laki-laki itu. Membuat seluruh penghuni kantin terdiam, mereka hening. "Astaga! Si Aleta kenapa berani sekali!" "Kenapa dia sampai berani menyiram Arjuna?" "Apakah dia tidak takut mati?!" Bisik-bisik yang aku dengar, dari arah kanan dan kiriku. Sempat membuat nyaliku menciut. Arjuna, lelaki itu tidak marah. Ia hanya mengusap wajahnya dengan tisu. Menatap padaku teduh sekali, lalu ia berdiri. "Ayo pergi!" Ia memberi intruksi pada keempat temannya. Sehingga keempat laki-laki tampan itu pun mengikutinya, mereka meninggalkanku, dan makanannya yang sama sekali belum mereka sentuh. Membuatku mematung, bingung. Sampai tarikan ke empat temanku terdengar. "Aleta! Apa kamu gila?" Cemas Irene, "Kamu tahukan siapa mereka? Apa yang kamu pikirkan?" Sambungnya lagi. Aku mendengus kesal, kenapa semua orang terlihat takut pada mereka? Aku menepiskan semua pegangan tangan sahabatku itu, dan menatap pada mereka. "Mereka itu manusia aneh! Kamu jangan pernah mengusiknya, aku dengar tidak ada siapapun yang berani menyapa mereka." Hazel menambahkan. "Kamu semakin aneh, semenjak kemarin loncat. Dan sekarang kamu lebih aneh lagi, karena mendekati mereka. Kamu baik-baik saja kan?" Rizki mengusap kepalaku. Dia terlihat cemas, hanya karena melihat apa yang aku lakukan pada Arjuna dan keempat temannya itu. Aku jelas merasa tidak suka dengan prilaku si Arjuna itu. Namun mendengar semua kalimat yang dikatakan semua sahabatku, aku merasa takut. Tapi ... aku masih saja penasaran pada lelaki misterius bermata gelap yang menawan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN