1. Penolakan Gladys

1076 Kata
Gladys tak henti-hentinya memandangi Eiffel dari balkon kamarnya. Cahaya lampu di malam hari, membuat Eiffel terlihat lebih cantik ketimbang dinikmati saat siang. Ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari sejak tiga bulan terakhir. Kepergiannya ke sini bukan semata-mata menghabiskan uang untuk liburan. Melainkan mengikuti suaminya yang mulai bekerja di perusahaan warisan mendiang kakek dari keluarga ayahnya. "Apa yang harus aku lakukan?" desahnya. Dari kedua matanya, Gladys melihat udara yang ke luar dari mulutnya barusan itu membentuk sebuah asap. Baginya, pemandangan Eiffel sudah bukan hal baru lagi karena bisa dinikmati tanpa henti selama dia ada di sini. Gladys menjambak rambut panjangnya sendiri. Tampak sekali, ada kebingungan yang tercetak di wajah ayunya. Gladys menoleh ke samping, ponselnya kembali berdering tapi Gladys tidak berniat menerima panggilan dari seseorang yang meneleponnya. Ingatannya malah berputar pada perdebatannya dengan sang mama kemarin lusa. "Ma, aku nggak mungkin ninggalin Yudha gitu aja." Gladys mencoba menjelaskan dengan frustrasi. Tak tahu lagi harus bagaimana dia menjelaskan kepada mamanya. "Mama nggak mau tahu, kamu harus lebih mengutamakan Mama ketimbang lelaki itu. Memangnya kamu mau Mama mati? Kamu lebih senang mendengar kabar tentang kematiannya Mama?" tanya perempuan di seberang dengan nada mengancam. Gladys melihat layar ponselnya hanya untuk memastikan kalau yang meneleponnya barusan itu memang mamanya. Ada setetes air mata terjatuh dari kelopak matanya. "Glad, apa yang kamu pikirkan? Dia nggak akan rugi kehilangan kamu. Lagi pula, kamu harus ingat kalau dari awal dia tidak menginginkan kamu menjadi bagian dari hidupnya. Apa yang bikin kamu berat? Bagaimanapun juga, kamu harus tetap memilih Mama dan tinggalkan dia." Untuk ke sekian kalinya, Gladys kembali mendengar mamanya meminta dirinya meninggalkan Yudha dan memilih mamanya. Gladys menangis miris, sudah cukup lama mamanya tidak mengakuinya sebagai anak. Namun sekarang tahu-tahu mamanya datang untuk memintanya meninggalkan Yudha dan menolong nyawa mamanya. "Mama baru ingat sama aku kalau merasa nyawa Mama terancam," ucap Gladys terkekeh, menertawakan nasibnya sendiri yang sungguh memilukan. Rasanya ingin sekali mengabaikan permintaan mamanya. Bahkan Gladys ingin memutus hubungan mereka secara hukum, tetapi selalu dia urungkan karena mengingat bagaimana pengorbanan mamanya yang sudah membesarkan dirinya. "Bukan begitu, Glad," bantah Jihan. Gladys lagi-lagi tertawa mendengar mamanya yang mengelak. Seolah tak ada tenaga lagi untuk melanjutkan perdebatan ini, Gladys memilih menutup panggilan dari Jihan dan menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Kedua tangan Gladys mengusap wajahnya secara kasar. Ingatannya mengenai perdebatannya dengan Jihan kembali berkelebat bagai kaset rusak. Gladys tidak ingin mengingatnya lagi, tapi semua itu datang tanpa diminta. Ada hal yang tidak bisa Gladys abaikan begitu saja. Meski sebenarnya dia sangat ingin mengabaikannya dan tetap fokus pada pernikahannya. "Gimana kalau nanti Mama beneran mati?" gumam Gladys seraya menatap ke bawah. Angin menerjang, menggoyang-goyangkan anak rambut Gladys ke sana kemari. Tidak bisa Gladys hindari, udara malam ini begitu menusuk menembus jantung. Ada yang sakit, tapi Gladys tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. "Kamu betah banget di sini," ujar sebuah suara berat yang Gladys yakini, itu suara Yudha. Gladys sedikit kaget, tapi untungnya dia berhasil menetralkan kekagetannya agar Yudha tidak curiga. Bisa Gladys rasakan, Yudha sekarang sedang memeluknya dari belakang. Seolah sedang menghantarkan hawa panas kepada Gladys. Rasa bersalah menyerang hati Gladys karena perkataan Jihan. Entahlah, setiap kali dia berhadapan dengan Yudha, pasti Gladys akan teringat apa kata mamanya yang memintanya meninggalkan lelaki yang sudah menjadi suaminya sekitar sembilan tahun lamanya. Tak hanya itu, Gladys juga sudah memiliki dua buah hati dari pernikahannya dengan lelaki yang usianya tiga tahun lebih muda darinya itu. "Di sini dingin, aku mau tidur." Gladys mengambil ponselnya lalu melepaskan pelukan Yudha dari perutnya dan berniat meninggalkan Yudha ke kamar terlebih dulu. Sebuah kecupan mesra sudah Gladys dapatkan. Yudha menarik tangannya secara paksa sampai membuat Gladys berbalik arah dan saat itu juga Yudha langsung melahap bibir tipis istrinya yang terlihat menggoda. Gladys tidak bisa menolak ciuman mesra yang Yudha berikan. Malah kali ini bukan hanya kecupan yang Gladys dapatkan, tapi juga remasan lembut di dadanya. Yudha meremasnya dari balik pakaian yang dia kenakan. Kecupan Yudha turun ke leher, membuat Gladys mengeluarkan suara desahan pelan. Yudha menarik pinggang Gladys supaya mengikutinya. Dengan penuh gairah, Yudha membaringkan tubuh istrinya ke ranjang perlahan-lahan. Dia lepas coat tebal yang awalnya melekat di tubuh Gladys. Pagutan bibir mereka masih belum terlepas. Gairah dalam diri Gladys juga ikut memuncak seiring manis dan lembutnya sentuhan yang Yudha berikan. Suaminya selalu bisa membuatnya mabuk kepayang sampai membuat Gladys lupa bahwa sebenarnya dulu mereka bermusuhan. "Tinggalin Yudha dan kembali ke Mama kalau kamu nggak mau lihat Mama dalam bentuk batu nisan." Gladys mendorong bahu Yudha sampai pagutan bibir mereka terlepas dan posisi Yudha jadi sedikit berjarak dengannya. Tanpa sadar, ternyata Yudha sudah berhasil melepas baju tidurnya sampai membuat Gladys hanya mengenakan bra berwarna hitam. Yudha menganggap ini hanya godaan yang Gladys berikan. Yudha kembali melanjutkan aksinya dengan mencium gunung kembar milik istrinya yang selalu bisa membuat matanya berbinar-binar setiap kali memandanginya. "Yud, maaf, aku capek. Kita langsung tidur aja," tolak Gladys seraya menjauhkan kepala Yudha dari dadanya. "Sebentar aja, Glad," pinta Yudha yang masih belum paham akan arti penolakan Gladys. "Kamu main solo aja. Aku lagi nggak mood olahraga sama kamu," balas Gladys lagi sambil memakai kaosnya dan sembunyi di balik selimut. Yudha mendesah. Pandangannya tidak bisa lepas dari Gladys yang memunggunginya. Yudha ikut membaringkan tubuhnya. Harga dirinya hancur karena penolakan Gladys. Padahal Yudha hafal betul kalau Gladys menerima dan membalas perlakuan mesra darinya, itu sudah jelas Gladys akan melanjutkannya sampai tuntas. Kecuali kalau memang Gladys kelelahan, istrinya akan langsung menolaknya dan meminta pengertian darinya. Namun malam ini berbeda. Tak ingin menyerah, Yudha kembali menggoda Gladys dengan menciuminya dari belakang. Bukan hanya itu, Yudha juga meraba bagian sensitive milik istrinya dari balik pakaian. "Aku capek, Yud," tolak Gladys untuk yang ke sekian kali. "Kamu diem aja, Glad. Kita gaya gini juga nggak apa-apa. Udah nanggung, udah keras soalnya," paksa Yudha seraya menuntun tangan Gladys ke arah miliknya yang sudah menantang dengan gagah. "Kamu nggak mau denger kabar Mama mati 'kan, Glad?" Pertanyaan Jihan kembali berkelebat di depan wajahnya ketika Gladys berniat menerima keinginan Yudha. Sampai akhirnya, Gladys meremasnya kuat-kuat hingga Yudha meringis kesakitan. "Aku udah bilang 'kan, kalau aku capek. Kamu bisa nggak sih, ngertiin aku bentar aja? Jangan yang dipikirin cuma ewita doang!" Tak segan-segan Gladys mengeluarkan kata-kata kasar untuk menolak Yudha. Gladys bangun dari tidurnya dan ke luar dari kamar meninggalkan Yudha seorang diri. Gladys akan tidur bersama buah hatinya ketimbang dia harus menahan penyesalan di depan Yudha. Kata-kata Gladys berhasil membuat perasaan Yudha hancur. Harga dirinya seakan terinjak-injak dan baginya ini luka yang cukup serius. Yudha sampai tak bisa berkata-kata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN