Sarah meringis merasakan nyeri di kepala yang tiada henti. Minggu depan ia harus menjalani operasi di kepala. Sarah tak sanggup harus melihat rambutnya yang menghilang di gantikan dengan kepala plontos. Rasanya Tuhan tak adil pada hidupnya. Seakan semua yang Sarah lakukan adalah keburukan, padahal Sarah hanya menginginkan bahagia. Memejamkan mata, mencoba menghalau rasa sakit. Ia tak punya siapa-siapa sekarang. Bahkan saat sedang sakit seperti ini, ia hanya sendirian. Lagi-lagi air mata itu jatuh membasahi pipinya, rasa nyeri di kepala dan d**a bersahut-sahutan menjadi satu. Hidupnya sebatang kara, susah, senang tanpa kawan Sarah menelannya sendiri. Salahkah ia jika meminta Erick menjadi miliknya? Jika Tuhan menakdirkan demikian. Sarah menggeleng kuat, Erick bahkan telah membencinya.