1

1165 Kata
Oktober. Selalu punya caranya sendiri untuk membuat hari cerah kembali kelabu dengan awannya yang berbondong-bondong menutupi langit. Kutengadahkan kepala dan mendapati warna kelabu yang menghiasi pemandangan di atas sana. Kuhela dalam-dalam udara ke seluruh penjuru paru-paruku. Seolah organ itu sudah lama tidak menghirup oksigen. Beginikah rasanya udara bebas? tanya hatiku geli. Hanya setahun, tapi semua yang mengukungku membuatku terpikir bahwa kurasa aku sudah menghilang selama dua puluh tahun dari dunia ini. Rasanya semua berjalan dengan begitu lama. Ini adalah kali kedua aku keluar dari tempat yang sama. Mereka dengan senang hati memberikan ceramah dan nasihat agar aku tak kembali lagi ke sini. Dan hatiku mengejek. Bukankah harusnya mereka senang kalau aku kembali lagi? Panti rehabilitas tak mungkin tetap berdiri tanpa adanya pasien di dalam sana, bukan? Nah, karena itulah sebelum aku pergi aku bahkan sempat berkata pada mereka. Berdoalah agar kita cepat bertemu lagi. Kuusap perlahan ukiran berwarna hijau yang berpadu merah di sepanjang lengan kiriku. Aku benar-benar merindukan duniaku. Duniaku yang sebenarnya. Bukan dunia di mana kau diberi segala macam nasihat yang bahkan kau sendiri pun tak tahu untuk apa itu. Mereka bilang itu bukan hal yang tepat untuk melampiaskan emosi yang kumiliki, tapi bahkan mereka tak tahu pasti apa persisnya emosi yang aku miliki. Ah, sudahlah, pikirku. Kubiarkan mereka beropini sesuka mereka, dan kubiarkan juga keinginanku membawaku ke mana. Tentu, ke tempat di mana aku biasanya berada. Tempat yang..., yah, mungkin akan kembali membawaku ke tempat ini lagi. & “Kapan kau keluar?” Pertanyaan pertama yang kudapatkan ketika aku memasuki rumah besar yang terdengar riuh bahkan dari pinggir jalan itu. Aku membanting tas ranselku, satu-satunya benda yang kubawa keluar dari tempat itu bersama denganku. Segera aku meraih gelas yang berisi alkohol dan meneguknya cepat. Betapa aku merindukan rasa ini. Rasa membakar yang seolah memang diciptakan untuk menghanguskan semua yang kau tahan. Aku beranjak ke sebuah sofa yang empuk. Kembali menuang ke dalam gelasku dan menjawab. “Pagi tadi.” “Dan kau langsung ke sini?” tanyanya lagi. Aku mengangguk dan mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan itu. Semua yang tampak di mataku tak berubah walau sudah 2 tahun berlalu sejak terakhir kali aku dipaksa keluar dari sini. Aku meringis. Memangnya perubahan apa yang kukira akan terjadi di sini? Bangunan ini berdiri tetap dengan kokohnya. Diwarnai dengan cat hitam mengelam, seolah rumah besar ini ingin mengirimkan pesan bahwa hanya mereka dengan kehidupan gelaplah yang pantas berada di dalam sini. Atau justru ingin mengatakan bahwa sekali kau masuk, maka selamanya kehidupanmu akan tetap penuh kegelapan. Tapi, aku tak peduli itu. Benar-benar tak peduli. Aku kembali meneguk minumku untuk ke sekian kalinya ketika akhirnya beberapa orang di sana tersadar akan kehadiranku dan langsung menghampiriku. Mereka tertawa dan menepuk punggungku berulang kali seraya mengucapkan kata selamat datang. Aku meringis merasakan sakit di punggungku. Tapi, beginilah cara kau mendapatkan kesenangan di sini. “Kau terlihat tambah tua setelah keluar dari sana!” Dan tawa mereka meledak. Aku tak membantah perkataan Alex. Ucapannya benar. Aku memang keliatan tua karena terpenjara di sana selama setahun. Aku menyeringai padanya, teman terdekatku di sini. Dan ia juga tak berubah. Masih dengan kaos hitam kebanggaannya yang mencetak kuat semua bentuk otot di tubuhnya. Ia kuat dan aku suka berteman dengannya. Bahkan ketika tak ada keluargaku yang menjenguk aku di rehabilitas, Alex terkadang datang. Tidak sering, hanya sesekali. Tapi, itu jauh lebih berarti dibandingkan dengan mereka yang sibuk mengatakan sayang padamu tapi justru tak mendatangimu untuk sekadar melihat keadaanmu, bukan? “Dan apa kau pikir kau jauh lebih muda sekarang?” ejekku sambil melihat ia yang tertawa lepas sembari tak melepaskan rengkuhannya pada seorang wanita di sampingnya. Orang baru, tebakku. Aku tak melihat wanita itu setahun yang lalu. Wanita itu tampak santai dalam rengkuhan tangan Alex. Rambut hitam ikalnya menjuntai dan sedikit menutupi dadanya yang tak terlalu tersimpan baik di dress hitam yang ia kenakan. Dan lantas, ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya seadanya. Kulihat Alex melirik interaksi singkat antara kami berdua. Dan segera saja Alex mengumbar tawanya dan mencium pipi wanita itu kuat-kuat. “Itu Enrick!” Alex menyebut namaku sambil menunjukku dengan menggunakan gelas minumnya. “Enrick, ini Sherryl.” Aku mengangguk pelan. “Dan dia teman baruku.” Alex tergelak. “Kau tahu maksudku.” Aku menyeringai. “Kubilang padamu, Sherryl,” lanjut Alex di sela-sela tawanya yang semakin membesar. “Percuma kau menggodanya dengan senyummu itu. Ia tak akan menghiraukanmu.” Dan tawa mereka di sana meledak dengan kuat. Aku tak membantah. Yang dikatakan Alex benar. Semua orang di sini mengetahuinya. Tampak wajah Sherryl mengeluarkan raut terkejutnya mendengar perkataan Alex. Dan itu mau tak mau juga membuatku lucu dan tertawa. “Kau boleh telanjang di depannya, membuka kakimu selebar mungkin, tapi ia tak akan menyentuhmu!” tambah Alex lucu. “Jadi, kau tak perlu menghabiskan waktu untuk menggodanya.” “Kau ...” Sherryl tak melanjutkan perkataannya. Aku geli melihatnya dan aku menggeleng. Tentu saja aku masih normal. Aku bukan penyuka sesama jenis, tapi semua orang di sini tahu bahwa aku tak akan menyentuh wanita. Wanita mana pun. Tak terkecuali kalau ada bidadari tanpa busana muncul di hadapanku. Ada banyak alasan mengapa aku menganggap bahwa menyentuh wanita bukan hal yang penting untuk kulakukan. Dan aku tak akan mau untuk bersibuk-sibuk ria untuk menceritakan hal itu. Yah, setidaknya belum untuk saat itu. Aku kembali meneguk minum yang tersaji di meja. Sesekali aku ikut tenggelam dalam obrolan malam yang tak pernah habisnya dengan mereka. Malam kelam yang semakin riuh tampak merupakan tempat yang tepat untukku. Inilah tempatku sebenarnya. Bukan di panti rehabilitas itu atau pun rumah mewah milik keluargaku. Oh, kalau kalian kira aku hanyalah anak miskin sehingga tak ada seorang pun yang mampu menjengukku di panti rehabilitas maka harus kukatakan dengan berat hati, itu salah. Hidupku bergelimang harta. Dan karena itulah aku mampu bertahan lama di duniaku sekarang ini. Serta karena harta itulah aku yang seharusnya masuk penjara mampu pindah lokasi ke panti rehabilitas. Kata pengacara keluargaku, aku korban. Lihat? Mereka saja tahu kalau aku korban. Tapi mereka tak ada waktu untuk mengurusi korban ini. Jadi aku akan dengan senang hati memikirkan kapan tepatnya aku mungkin akan tinggal di tempat itu lagi. Ngomong-ngomong soal korban, aku sendiri sebenarnya agak kurang suka dengan istilah itu. Entahlah, mengapa aku bisa dikatakan korban? Aku memakai dengan kesadaranku sendiri. Kurasa istilah korban itu cocok digunakan dalam kasus p*********n atau pembunuhan. Sedangkan aku? Aku masih ada otak dan akal sehat, tapi aku memilih untuk memakai. Dan aku disebut korban? Oke! Kurasa pengacara pintar dan bodoh itu sebelas dua belas. Terlepas dari itu semua, kenyataan lain membuktikan bahwa sebenarnya aku bukan korban. Aku turut menjual barang itu. Kalian bingung mengapa aku lolos dari jeruji besi itu? Ehm. Untuk apa heran? Uang bisa membeli semuanya di zaman seperti ini. Hukum, kebahagiaan, bahkan nyawa. Ironis, bukan? Tapi apa peduliku. Yang penting aku masih bernapas dengan aliran uang yang tak pernah memutus. Atau sekarang kalian heran mengapa aku turut menjual barang itu sedangkan uangku mengalir deras tanpa henti? Well, anggap saja aku kemarin sedang mencari pengalaman kerja. Kalian tahu? Zaman sekarang mencari pekerjaan itu susah. Kalaupun ada lowongan, kebanyakan dari mereka mencantumkan satu syarat mutlak: punya pengalaman. Yah, walaupun aku ragu pengalamanku yang satu itu akan membantuku dalam melamar pekerjaan. Tapi, hei! Untuk apa aku benar-benar mencari pekerjaan? Seperti yang aku bilang tadi, hidupku tercukupi. Jadi kurasa tak banyak yang bisa kulakukan untuk hidupku selain terus bersenang-senang, bukan? & bersambung ....   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN