Di dalam mobil yang melaju pelan, diiringi suara radio pelan yang memutar lagu hits, Taran duduk menunduk, tangan menggenggam erat jas dokter yang menyelimutinya.
Faten masih fokus menyetir, tapi sesekali pandangannya bergerak ke arah istrinya. Tangan Faten, yang sejak tadi berada di paha Taran, kembali bergerak perlahan, mengusap naik turun. Gerakannya tenang serta hangat.
“Gue cuma… pengen tahu aja,” suara Taran pelan. “Sekali seumur hidup. Gue pikir itu normal.”
Faten tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang.
“Sekali seumur hidup?” diiringi seringai. “Dan kamu putuskan itu tanpa omong sama saya?”
Taran meringis. “Lo… gue takut lo marah.”
Taran tidak menjawab.
Tangan Faten bergerak naik beberapa sentimeter lagi perlahan. “Kamu pikir saya nggak akan tahu?” Ia membuang napas dengan senyum yang dipaksakan. “Kamu pergi ke tempat kayak gitu… dan berharap saya diem aja?”
“Gue… gue takut,” jawab Taran, bibirnya bergetar. “Lo pasti marah.”
“Ya. Saya marah.”
Mobil berhenti di lampu merah. Faten memalingkan wajah sepenuhnya ke arah Taran. Sorot matanya tajam.
“Kenapa harus ke tempat seperti itu?” suaranya lebih lembut. “Karena di tempat itu banyak laki-laki? Musik keras? Minuman? Atau karena…” ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya merendah, “…karena kamu suka dilihat?”
Taran langsung menggeleng. Faten menatapnya lama, tangan besarnya menekan paha Taran sedikit lebih kuat.
“Aku gak suka kamu berada di tempat yang bikin orang lain mikir kamu bebas,” Faten melihat bekas membiru di leher Taran. “Karena kamu gak bebas.”
Tatapan Taran naik. “Gue milik lo, gue tahu.” Faten mengangguk kecil.
“Kamu boleh penasaran,” ia berkata sambil kembali menatap jalan. “Tapi lain kali, kamu bilang dulu sama saya. Saya yang putuskan.”
Lampu berubah hijau, mobil kembali berjalan. Sebelum menarik kembali tangannya, Faten mengusap paha Taran sekali lagi lebih pelan.
“Dan jangan bikin saya harus tahu dari orang lain lagi,” tambahnya pelan, terdengar seperti ancaman manis. “Karena saya tidak suka berbagi.”
Taran menunduk.
“…Maaf.” Tak tahu harus bereaksi seperti apa, ia hanya ingin merasakan pergi ke klub malam sekali seumur hidup. Tak menyangka Faten akan merespons seperti ini.
Mobil terus melaju. Udara di dalam mobil terasa lebih dingin. Taran beberapa kali mencuri pandang. Sesekali, mata mereka bertemu. Dan setiap kali itu terjadi, Faten tidak menghindar, justru menatap balik.
Di salah satu momen itu, sudut bibir Faten terangkat pelan, membentuk senyum.
“Tadi kamu gemetar waktu saya sentuh.”
“Gue… cuma kaget. Itu aja.”
Ia mengulurkan tangannya dan dengan gerakan pelan, ia menyelipkan beberapa helai rambut Taran ke belakang telinga. Jemarinya mengusap lembut sebelum turun ke pipinya.
Taran terpaku, d**a terasa sesak.
“Kamu bisa lihat saya,” ucap Faten pelan. “Jangan takut.”
Taran akhirnya menatapnya lalu berkata pelan, “Gue… sebenernya lebih nyaman manggil lo… ‘Om’.”
Faten langsung menoleh sedikit.
“Om?” ulangnya, suaranya dalam dan pelan. “Hmm… kenapa?”
Taran menggigit bibir. “Karena… kalo gue panggil nama lo, rasanya kayak… gak nyaman.”
Faten menahan tawa kecil. “Dan kalau kamu panggil saya ‘Om’?”
Taran menunduk sebentar sebelum menjawab. “Rasanya… lebih dekat. Lebih aman. Dan… gue ngerasa nyaman.”
Faten mengangguk pelan.
“Kalau itu bikin kamu nyaman,” ucapnya tenang, “kamu boleh panggil saya begitu.”
Ia kembali menyentuh wajah Taran, kali ini gerakannya lambat.
“Tapi ingat,” lanjutnya, matanya kembali mengunci tatapan Taran, “kamu bukan bilang itu karena takut kan? Dan Om-om ini suamimu.”
Taran tak langsung menjawab.
“Om…” panggilnya pelan.
Faten menutup matanya sebentar, menikmati bagaimana kata itu terdengar dari bibir istrinya.
Ketika ia membuka mata lagi, tatapannya lebih hangat… tapi lebih dalam.
“Ya.” Faten mengalihkan pandangannya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Hm? Kamu mau bilang apa?”
Taran menggigit bibir. “Om jangan nakal lagi.”
Faten mengerutkan alis sedikit. “Nakal? Apa maksud kamu?”
Taran tidak menjawab langsung. Ia mengangkat tangannya pelan, menunjuk lehernya tepat di bagian samping, di bawah rahang. Kulit di sana menunjukkan bekas kemerahan, sedikit ungu.
Faten melihat sekilas, lalu kembali menatap jalan sambil tersenyum kecil.
“Itu bukan nakal. Itu hukuman.”
Taran memutar badannya seperti anak kecil yang protes karena tidak dapat permen.
“Hukuman apaan?” protesnya.
Faten menjawab dengan sangat tenang. “Hukuman untuk istri yang kabur tanpa izin.”
Taran memutar bola matanya dramatis. “Gue kan nggak kabur…”
Faten mengangkat alis. “Pergi tanpa bilang ke suami… itu apa, kalau bukan kabur?”
Taran manyun, bibirnya maju sedikit, dengan ekspresi tersinggung yang lucu. Ia menyilangkan tangan di d**a, menatap keluar jendela.
Faten tertawa pelan.
“Kamu marah?”
“Enggak,” jawab Taran cepat.
Tapi nada dan pipinya yang mengembung sedikit mengatakan sebaliknya.
Faten tersenyum kecil. “Yakin?”
Taran berpikir… lalu berkata dengan suara kecil:
“…Gue sebel.”
Dan tanpa memperdebatkan lebih jauh, ia meraih tangan Taran dan menggenggamnya hangat.
“Kalau kamu sebel,” katanya pelan, “kamu bilang.”
Taran masih manyun, tapi genggamannya membalas.
“Ya… tapi Om jangan gigit lagi.”
“Kita lihat nanti,” jawab Faten singkat.
Taran langsung menoleh, mata membesar.
“Om, ih…” Taran membuang wajah dan mulai tertidur lelap di mobil.
Mobil berhenti pelan di depan rumah. Lampu teras masih menyala. Taran membuka sabuk pengamannya dan baru setengah berdiri ketika Faten membungkuk sedikit, siap mengangkatnya seperti biasa.
“Om jangan!” Taran langsung mundur setengah langkah sambil menutupi lehernya. “Om nakal. Suka gigit.”
Faten berkata, “Saya hanya bantu kamu turun.”
“Gue masih bisa jalan,” jawab Taran cepat, terdengar seperti protes. Faten hanya mengamati tanpa komentar, tapi ada senyum kecil di ujung bibirnya.
Begitu mereka masuk ke teras, pintu rumah terbuka.
Dua orang berdiri di sana.
Bu Siti, wajah datar, sorot mata tajam.
Dan Rina menyilangkan tangan di d**a sambil memandang Taran dari atas sampai bawah.
Gaun Taran malam ini memang pendek dan elegan… tapi di bawah cahaya terang ruangan, bekas merah di lehernya terlihat jelas. Dan keduanya langsung menyadari itu.
Bu Siti menghela napas. “Jadi benar,” menatap Taran dingin. “Faten harus menjemput kamu di klub malam.”
Rina tertawa pelan sambil menatap gaun Taran dengan tatapan meremehkan.
“Pantes aja. Pakaiannya juga kayak wanita murahan.”
Taran menegakkan punggungnya. “Oh iya,” katanya santai. “Gue yang minta dijemput. Dan lo tahu kenapa?”
Bu Siti menaikkan alis. “Karena kamu tidak tahu malu?”
Taran tertawa kecil dengan sorot mata tajam.
“Karena anak ibu itu…” ia menunjuk ke arah Faten tanpa melihat, “…nggak bisa diem kalo gue pergi tanpa bilang. Bahkan sampai ninggalin bekas kayak gini.”
Ia menarik rambut ke samping dengan sengaja, menunjukkan jelas tanda di lehernya. Rina langsung membelalak dan Bu Siti dengan wajah merah padam. Faten, di sisi lain, hanya memejamkan mata sebentar, pipinya memerah, merasa malu sekaligus tidak percaya istrinya seberani itu.
Namun Taran belum selesai.
“Dan satu lagi,” katanya sambil melangkah masuk dengan percaya diri. “Kalau ibu sama Rina mau protes soal gue, kenapa nggak protes dulu pas Faten yang notabene putra kesayangan suka lepas baju, tarik gue, dan ciuman kayak serigala kelaparan?”
Rina dan Bu Siti kehilangan kata. Faten menatap istrinya seperti pertama kali mengenalnya.
Taran melanjutkan, nada suaranya penuh kepercayaan diri.
“Jadi kalau mau nyalahin seseorang karena tampilan gue atau bekas yang kelihatan,” ia mengangkat dagunya sedikit, “salahkan anak ibu. Bukan gue.”
Sunyi.
Tidak ada yang bicara.
Kemudian, dengan senyum kecil yang penuh kemenangan, Taran menambahkan,
“Lagipula, bukannya ibu harusnya bersyukur? Jarang ada menantu secantik ini… dan masih balik rumah sama suaminya.”
Ia melirik Faten sambil berbisik penuh kebanggaan.
“Bener kan, Om?”
Faten menatapnya. “…Benar.”
Rina akhirnya tak tahan lagi. Ia meletakkan tangan di pinggang dan menatap Taran dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan sinis.
“Kamu itu cuma benalu di hidup kakak,” katanya tajam. “Sebelum kamu datang, hidupnya gak pernah serumit ini.”
Suasana langsung sunyi.
Bahu Faten tegang, matanya menyipit siap memotong perkataan adiknya. “Rina…”
Tapi Taran mengangkat tangan lebih dulu, menutup mulut Faten.
“Oh iya?” Wajahnya tenang dengan senyum kecil. “Gue benalu?”
Rina menantang, “Iya. Karena kamu cuma ngandelin kakak.”
Taran tertawa. “Sayang banget lo lupa satu hal,” ucapnya sambil mendekat setengah langkah, suaranya rendah tapi jelas. “Kalo Faten itu suami gue. Dan suami itu BERKEWAJIBAN menanggung kebutuhan istrinya. Itu bukan benalu. Itu hak gue.”
Rina terdiam sebelum balas menyerang. “Tapi kamu gak cocok buat keluarga ini!”
Sebelum kata lain keluar, “Lucu ya,” Taran maju lebih dekat seperti singa kecil siap menyerang, “karena setahu gue, yang dipilih Faten jadi istri itu gue. Bukan cewek lain.”
Rina refleks melangkah maju ingin membalas, dan Taran refleks pula mengangkat tangan siap menjambak rambutnya seperti pernah terjadi sebelumnya. Tapi Faten dengan cepat memegang pergelangan tangan Taran.
“Taran,” ucapnya rendah. “Tidak.”
Taran menatap Faten kesal. “Gue cuma…”
“Aku tau,” Faten memotong lembut. “Saya tidak mau kamu terluka.”
Tatapan Taran melembut sedikit, meski bibirnya masih cemberut.
Bu Siti akhirnya angkat bicara, suaranya dingin.
“Kami menginap malam ini. Aku mau bicara besok.”
Faten tampak ingin menolak, tapi Taran justru tersenyum terlalu manis.
“Tentu, Bu,” katanya lembut. “Silakan. Rumah ini juga rumah ibu…”
Rina mendengus kesal. Beberapa menit kemudian, rumah sudah lebih tenang. Tapi atmosfernya masih panas.
Taran masuk kamar sebentar, lalu keluar lagi dengan gaun tidur tipis. Kainnya lembut dan nyaris tembus cahaya saat terkena lampu.
Rina langsung bergumam pelan. “Tuh kan… pakaian itu kayak pelacuur aja.”
Bu Siti menatap tajam, tapi Faten hanya mengangkat alis tipis, sementara Taran berpura-pura tidak mendengar.
Ia berjalan melewati Faten, seperti ingin duduk di kursi kosong di seberang mereka. Lalu, tanpa peringatan, ia berbalik dan duduk di pangkuan Faten, santai, natural, terlihat itu seperti tempat resminya.
Tangan satunya melingkar bahu Faten, sementara kakinya menyilang rapi seperti seorang istri yang sangat comfortable.
Faten tertegun karena Taran jarang berani sedominan itu di depan orang lain.
Bu Siti meletakkan cangkir keras sampai terdengar bunyi tek!
“Taran,” nadanya tegas, “kamu harus tahu batasan dan sopan santun.” Matanya menyipit melihat paha menantunya dan gaun terlalu terbuka.
Taran menoleh pelan, menatapnya dengan seringai yang mengerikan. “Kenapa, Bu? Kadang malah Faten yang di bawah sini?” Tangan Taran menyentuh pahaa.
Rina berteriak. “ITU GAK SOPAN!”
Taran memainkan ujung rambutnya sambil menjawab santai, “Oh? Kalo gitu doang gak sopan, mau tau yang lebih gak sopan lagi?”
Faten menahan tawa kecil, bahunya bergerak pelan. Ia akhirnya meletakkan tangan di pinggang Taran.
Taran kemudian menyandarkan kepala di bahu suaminya, lalu berkata sengaja cukup keras, “Om, tidur yuk…?” Gesturnya mengusap mata.
Rina memotong cepat. “Jangan bilang ‘Om’ kayak gitu!”
Taran menoleh ke arahnya, mata setengah menyipit. “Kenapa? Kalo suami gue senang dipanggil begitu, kenapa lo yang panik?”
Rina membuka mulut… lalu menutupnya lagi karena tak menemukan balasan yang cukup tajam.
“Faten,” ucap Bu Siti lembut pada putranya, “kamu membiarkan perilaku seperti ini?”
Faten akhirnya angkat suara. “Saya tidak melihat masalah. Taran istri saya. Yang dia lakukan masih batas normal dan wajar.”
Taran baru saja selesai duduk manja di pangkuan Faten ketika tiba-tiba lengan kuat laki-laki itu menyelip di bawah pahanya.
“Eh… Om… lo mau ngapain?!”
Taran belum sempat turun atau protes ketika tubuhnya terangkat dengan mudah, seperti mengangkat bantal kecil.
Rina dan Ibu Siti hanya bisa melongo.
Faten tidak berkata apa pun selain satu kalimat pendek: “Kita ke kamar.”
Taran langsung berbisik panik sambil menepuk bahu Faten pelan.
“Eh, maksud Om apaan! Gue cuma bercanda! Om… om turunin gue!” Tapi Faten tetap berjalan menuju kamar.