Eps.4 - Curahan Hati

1455 Kata
Hujan terus mengguyur desa hingga pagi buta. Jalan tampak sunyi, gelap, tak ada satu pun mahluk yang terdengar bahkan yang melintas. Ryan terbangun dari tidurnya. Ia terlelap semalaman di meja belajarnya hingga tak tersadar menahan foto keluarga Raini di lengannya. Ia mengambil foto itu, lalu menatap lama tanpa berkata-kata. Ia langsung menaruh foto itu ke dalam tasnya — ingin mengembalikan pada Raini. Ia memakai seragam, lalu menyiapkan perlengkapan sekolahnya yang akan di bawa. Ia duduk di teras, sambil menatap jalanan yang mulai terang, namun rintikan hujan masih berjatuhan. Pikirannya kembali terngiang di benaknya — bayangan momen yang pernah ia lalui bersama Raini. Ia menghela napas panjang, lalu batinnya berkata: "Mengapa semenjak akhir-akhir ini perasaanku selalu berubah-ubah enggak jelas? Dulu aku enggak pernah seperti ini. Sejak aku mengenal Raini, entah apa yang terjadi pada diriku tiba-tiba bersikap aneh bahkan saat aku menatap foto itu? Aku belum sepenuhnya mengetahui siapa dirinya, bahkan itu membuat pikiranku bertanya-tanya." Cahaya mentari pagi mulai benderang. Ryan memakai sepatu lusuh, lalu bergegas berangkat ke sekolah. Ia menyusuri jalan tanah basah menuju ke sekolah. Jalanan itu tampak licin, berkubang — jalan itu menghubungkan antardesa dan satu-satunya jalan menuju ke sekolah. Ia tiba di sekolah. Lumuran tanah menutupi sepatunya. Ia membasuh sepatunya hendak masuk ke kelas. Siswa lain berpapasan dengannya melirik lalu menahan tawa — tawa itu bukanlah ramah, melainkan hinaan. Saat jam istirahat, Ryan duduk terpaku di bangkunya. Ia termenung, memikirkan bayangan-bayangan yang selalu menghantui dirinya. Ia membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah foto — foto keluarga Raini. Ia menatap lesuh foto itu di bawah meja, namun hening. Pada saat itu, 10 siswa melangkah iringan masuk ke dalam kelas. Mereka sambil menyantap jajanan dari luar kelas, lalu duduk di atas meja. Mereka saling berbincang dengan suara keras hingga tertawa kencang. Mereka merupakan bagian sirkel, sekaligus teman sekelasnya Ryan. Sirkel mereka terkenal berbahaya, tidak ada satu pun siswa yang berani mendekatinya. Mereka selalu membuat kekacauan di sekolah maupun di luar sekolah. Salah satu dari siswa di sirkel itu melihat Ryan sedang menyendiri di pojokan. "Hei bro, ngapain lu disitu?" tanyanya dengan suara keras. Ryan tertegun, lalu menyembunyikan foto itu di laci dengan terburu-buru dan gemetar. "E-enggak apa-apa," jawabnya cepat, namun terbata-bata. Siswa itu menoleh ke laci Ryan dengan penasaran. "Apa yang lu sembunyikan disitu?" tanyanya dengan suara keras. Ryan tertekan, lalu mengambil kembali foto di laci buru-buru. "E-enggak ada apa-apa," jawabnya tertekan. Siswa itu melangkah cepat ke arahnya. "Apa yang lu pegang itu?" tanyanya sambil menunjuk arah yang digenggam Ryan. "Ini bukan apa-apa," jawabnya cepat, namun tertekan. Siswa itu berusaha merebut foto itu dari genggaman Ryan, namun ia melawan. "Jangan coba-coba lu merampas hak orang lain!" suara Ryan tegas, namun dirinya gemetar. Siswa itu menatapnya dengan tatapan marah, lalu tangannya mengepal. Teman-temannya menghampiri Ryan, seakan siap menyerang. "Oh, jadi lu berani melawan gue," ucapnya pelan, namun menantang. "Lu itu anak miskin, jangan belagu lu nantangin gue." Ryan terdiam. Hatinya mulai bercampur aduk kembali — marah, takut, sedih, khawatir. Kata-kata itu sebuah pisau yang menusuk dalam dirinya. Ia mengepalkan tangannya, lalu menyerangnya. Ryan terlonjak amarah. Ia memukul kepala siswa itu dengan kuat. Ia menyudutkannya di sisi kelas, lalu menghajar kembali. Teman-teman dari siswa itu menarik paksa Ryan, lalu dihajar di tempat. Sirkel itu berhenti menghajarnya, lalu meninggalkan Ryan keadaan terbaring. Ryan berusaha bangkit, meskipun keadaannya babak belur. Seusai pulang sekolah, Ryan duduk di warung sederhana itu yang pernah di kunjungi. Ia meringis kesakitan pada wajahnya. Pada saat itu, Raini pulang sekolah. Ia melihat Ryan sedang duduk di warung dengan kondisi yang berbeda. Ia melangkah cepat ke arahnya, lalu melihat wajahnya dengan tatapan iba. "Wajah kamu kenapa, Ryan?" tanyanya lirih. Ryan tertegun. Ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, lalu menatapnya. "Aku... enggak kenapa-napa," jawab Ryan pelan. Raini terdiam sejenak. Ia menatapnya lama, seakan ada yang disembunyikan darinya. "Beneran... kamu enggak apa-apa?" tanyanya lagi, namun ia tak percaya dengan jawaban Ryan. Ryan terdiam. Hatinya kembali terguncang setelah mendengar perkataan Raini. Ia ingin mengatakan sebenarnya, namun lidahnya kelu. "Sebenarnya... aku habis berkelahi tadi sama teman sekelasku," ucapnya akhirnya. Raini terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendengar Ryan bicara sebenarnya. Ia menatapnya sedang memegang wajah, namun berusaha menutupi rasa sakit itu. Ia seolah bisa merasakan sakit yang di alami Ryan. Raini membuka tas, lalu mengeluarkan obat merah dan plester sebagai pertolongan pertama. "Ini. Kamu gunakan ini untuk menyembuhkan lukamu," ucapnya lirih, lalu menyodorkannya. Ryan terdiam. Hatinya kembali berdetak kencang seakan ada perasaan yang kuat dari dalam. Ia menatap Raini lama, hingga tak dapat mengalihkan pandangannya. Bibirnya bergerak perlahan, seolah ia ingin mengucapkan sesuatu padanya. Ryan mengambil obat itu dengan lembut, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih," bisiknya lirih. Ia mengoleskan obat itu ke arah wajahnya yang luka, lalu memasangkan plester. "Raini..." suaranya pelan. Raini menoleh cepat. "Iya... ada apa?" tanyanya pelan. Ryan menatapnya lama, lalu berkata lirih: "Terima kasih... kamu sudah menolongku." Raini tersenyum tipis, berkata lirih: "Sama-sama. Kamu juga sudah menolongku saat sepedaku rusak." Ryan terdiam. Ia menunduk lalu tersenyum tipis, seakan ucapan itu sesuatu yang berharga baginya. Sore tiba, mereka duduk di pinggir sungai sambil menikmati sunset yang indah. Aliran sungai terdengar tenang, angin berhembus pelan membuat suasana semakin permai. Ryan mencurahkan isi hatinya yang selama ini terpendam, namun hatinya bergetar seolah belum siap mengatakannya. Ia mencoba memberanikan diri untuk mengatakannya. "Raini..." sahutnya pelan. Raini menoleh cepat. "Iya, Ryan," jawabnya pelan. Ryan memberanikan diri untuk bicara. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ucapnya lirih. Raini terdiam. Hatinya berdebar kencang seolah ada sesuatu yang besar yang ingin dikatakan oleh Ryan. Ia menatapnya lama, seakan ia penasaran. "Mau mengatakan apa?" tanya Raini lirih. Ryan menghela napas panjang, lalu mengatakannya. "Sebenarnya hatiku terasa ada yang berbeda. Entah kenapa semenjak aku mengenal dirimu perasaanku selalu berubah-ubah. Kadang jadi sedih, kadang jadi senang, kadang jadi marah, kadang jadi takut, kadang jadi khawatir, semua itu bercampur aduk. Kita memang baru berkenalan... belum ada ikatan ataupun pacaran, tapi seakan-akan perasaan itu begitu dekat denganmu. Aku juga bertanya-tanya mengapa diriku tiba-tiba emosional seperti ini? Bahkan saat kita bertemu itu selalu membayang-bayangi kehidupanku. Maaf aku mengatakan seperti ini. Tapi jujur, aku tidak bisa selalu memendam perasaan yang bercampur aduk seperti ini. Sekali lagi minta maaf atas perkataanku." ucap lirihnya. Raini terpaku. Ucapan itu seakan memanah hatinya yang lembut. Hatinya bergetar, mulutnya bergetar kecil seakan ia tidak percaya dengan kata-kata itu, namun ia juga menyadari hal yang sama. "Enggak apa-apa," suaranya pelan. "Justru itu bagus, kamu sudah mengungkapkan isi hatimu." Ryan terdiam sejenak. Hatinya kembali berguncang, lalu keringat mengucur bagian wajahnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya — foto keluarga Raini, lalu memberikannya dengan perasaan takut. "Maaf... tidak memberitahumu kalau aku menemukan fotomu ini," ucapnya pelan. Raini tertegun. Ia mengambil foto itu pelan lalu menatapnya lama. "Kamu dapat darimana foto ini?" tanyanya lirih. Ryan terkekeh. "Aku dapat di depan halaman rumahku setelah kamu pulang dariku," jawab lirihnya. Raini terdiam. Jantungnya berdetak kencang seakan ada perasaan yang kuat di dekat Ryan. Suasana itu mendadak hening, hanya terdengar hembusan angin meniup dedaunan di pohon. Cahaya matahari tenggelam, Ryan dan Raini beranjak dari duduknya. Mereka sambil berjalan perlahan menjauh dari bantaran sungai, lalu Raini menoleh cepat ke arahnya seperti ada sesuatu yang ingin di bicarakan. "Ryan..." sahutnya pelan. Ryan menoleh cepat ke arahnya. "Iya, Raini..." jawabnya pelan. "Kamu bisa gak kalau kita ketemuan lagi di sini lagi besok pagi. Ada sesuatu yang ingin ku ceritakan padamu?" tanyanya lirih. Ryan hening sejenak. Hatinya kembali berdetak kencang. Ia menatap Raini lama seakan penasaran yang akan di katakannya. Ryan mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Iya. Aku akan datang ke sini lagi besok," ucapnya pelan. Malam yang cerah, langit di hiasi bintang-bintang bertaburan. Bulan sabit menyinari langit malam. Malam yang tenang, hening tak ada satupun mahluk hidup yang lewat. Raini berada di kamarnya, berdiri di jendela sambil menatap langit malam yang kemilau. Ia sambil membayangkan kebersamaan dengan Ryan sebelumnya. Bayangan itu selalu terngiang-ngiang dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca, seakan sedang menahan rasa yang ingin ia ungkapkan — bahagia, khawatir, takut, ragu, dan malu. Ia mengigit bibirnya untuk menahan rasa tangisnya. Pada saat itu, mama datang ke kamarnya sambil membawakan makanan kesukaan Raini. Ia melihat Raini sedang berdiri termenung di depan jendela seakan sedang memikirkan sesuatu. Ia menghampiri Raini, sambil tersenyum tipis. "Raini..." sahutannya pelan. Raini tertegun. "Iya, ma," jawabnya lirih. "Kamu makan dulu, Nak. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu," ucap ibunya lirih. Raini terkekeh. "Aku belum mau makan," ucapnya pelan, namun menolak. Mamanya tertegun saat Raini menolak pemberiannya. Ia berusaha tenang, lalu tersenyum tipis. "Kenapa sayang? Pasti kamu memikirkan sesuatu?" tanya mamanya lembut. Raini terkekeh. "Tidak. Aku enggak kenapa-napa," jawabnya lirih. Mamanya menatap lama. Ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Raini, namun ia tak ingin mengganggu kenyamanan putrinya. "Iya sudah. Mama letakkan makananmu di atas meja, ya. Nanti kamu jangan lupa makan ya, Nak," ucap lirihnya, lalu hendak keluar dari kamarnya. Ia menatap kembali Raini sebelum ia menutup pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN