Bab 2

2193 Kata
Nila memejamkan matanya memandang langit-langit kamar kostnya. Pikiranya menerawang jauh di sana. Memikirkan nasib kuliahnya dan juga keluarganya. Sebentar lagi dirinya wisuda. Tapi, bagaiman ia harus membayar uang kuliah dan juga wisudanya. Akan sangat disayangkan jika selangkah lagi menuju wisuda dirinya tak dapat melanjutkannya. Waktunya selama enam tahun akan terbuang sia-sia. Drt ... drt ... Lamunan Nila buyar ketika ponselnya yang berada di atas meja nakas bergetar. Menandakan jika terdapat sebuah panggilan masuk. Nila menegakkan tubuhnya, mengambil benda pipih itu yang kini menyala-nyala. Kening Nila mengernyit membaca nama yang mengambang di atas sana. Jingga Adiknya Seingatnya baru sabtu kemarin adiknya menelepon, tapi kenapa sekarang sudah menelepon lagi. Sudah menjadi rutinitas bagi mereka jika setiap seminggu sekali dirinya atau adiknya akan saling menghubungi satu sama lain. Memberi waktu untuk Ibunya berbicara pada dirinya yang tak bisa sering-sering pulang ke rumah mereka. Hanya sekedar untuk mengobati rindu melalu suara. Tak ingin berburuk sangka, Nila dengan cepat mengangkat panggilan dari adiknya. "Hal--" belum sempat berucap, kalimat Nila sudah terhenti saat suara Jingga yang terdengar sedang menangis dan cemas secara bersamaan masuk di gendang telinganya. "Halo mbak! Mbak Nila, Mbak, Ibu mbak ... ibu mbak ..." ucapan Jingga yang disertai tangisan itu membuat Nila cemas. Ada apa dengan ibunya? Kenapa Jingga sampai seperti itu. "Ibu kenapa? Ibu kenapa, Ngga? Kamu tenang dulu," Nila berusaha menenangkan adiknya di seberang sana, walau dirinya sangat penasaran dengan apa yang terjadi dengan ibunya. Bahkan, tubuhnya kini sudah menggigil takut akan kabar yang akan adiknya sampaikan. "Ibu mbak--Ibu tadi pingsan ... terus pas diperiksa sama dokter katanya salah satu ginjal Ibu--salah satu ginjal Ibu bermasalah ... " ucapan Jingga terpotong karena gadis itu kembali menangis histeris. Sebelum kemudian dia melanjutkan ucapannya kembali. "Katanya Ibu kena gagal ginjal kronis dan harus melakukan transplatasi ginjal secepatnya ... kalau nggak segera nyawa Ibu bisa jadi taruhannya ..." lanjutnya yang kembali terdengar tangisan yang meraung-raung. Mendengar itu, Nila limbung. Apa lagi kali ini? Ujian apa lagi yang kau berikan, Tuhan? Gagal ginjal kronis? Transplantasi? Dan kenapa harus Ibunya yang mengalaminya? batin Nila menjerit histeris. Menarik nafas dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya yang entah kenapa terasa sesak. Nila mulai bertanya pada adiknya dengan suara bergetar. "Kamu tanya berapa biaya untuk transplantasi ginjal Ibu?" Nila tahu, saat ini yang terpenting adalah operasi untuk Ibu cepat dilakukan. Ia tahu, Ibunya tak akan bisa dioperasi jika belum membayar biaya administrasi. Jadi, ia harus membawa uang untuk biaya operasi Ibunya terlebih dahulu, kan? Bukannya segera menjawab pertanyaannya, tangisan Jingga malah terdengar semakin pecah. "Kata dokter ..." terdengar tarikan nafas Jingga yang berusaha meredam tangisannya. "Kata dokter tiga ratus juta ..." Lalu tangisan Jingga kembali pecah. "Gimana ini, Mbak ... uang darimana kita ..." Rasanya, Nila tak dapat mendengar apa-apa lagi setelah mendengar jumlah nominal yang baru saja adiknya sebutkan. "Mbak--aku nggak mau kehilangan Ibu, mbak ..." suara Jingga yang terus-menerus memanggil namanya berhasil menyadarkan Nila yang tanpa sadar kini sudah menangis. Menarik nafas dalam-dalam sekali lagi, Nila berucap. "Mbak akan--" Nila menutup mulutnya yang hampir menjerit tak yakin. Setelah berhasil menguatkan dirinya, Nila kembali berujar. "Mbak akan usahain buat bawa uang operasi Ibu secepatnya. Kamu tunggu Ibu, ya? Mbak janji Ibu bakal dioperasi segera," ujarnya, berusaha menenangkan hati Sang Adik. Padahal hatinya sendiri pun saat ini sedang bergelut resah dan ketakutan. Dari mana dirinya akan mendapatkan uang sebanyak itu? "Iya Mbak ..." Setelah itu sambungan terputus, yang membuat tubuh Nila langsung limbung ke lantai. Ia mulai menangis histeris, memukul-mukul dadanya. Kenapa nasibnya seperti ini? *** Berusaha menguatkan hatinya yang saat ini masih merasakan perasaan resah akan keadaan Sang Ibu yang sedang sakit. Nila bersiap untuk ke kafe tempatnya bekerja, ia akan meminjam uang dari Bos-nya. Mungkin Bos-nya mau berbaik hati meminjaminya uang untuk operasi transplantasi ginjal Ibunya. Sebelumnya Nila berpikir akan meminjam uang pada Bos-nya untuk membayar biaya kuliahnya. Tapi, setelah mendengar kabar dari adiknya. Nila mulai berpikir untuk tak peduli lagi dengan kuliahnya. Saat ini yang terpenting baginya hanyalah keselamatan Ibunya. Masa bodoh dengan kuliahnya. Tak masalah dirinua dikeluarkan, asalkan Ibunya tetap bersamanya dan Sang adik. Mematut diri di depan cermin, Nila memandang kantung bawah matanya yang sembab karena dirinya yang terlalu banyak menangis. Ia kemudian mengambil bedak bayi di atas nakas, memakainya berharap dapat untuk menutupi sedikit sembab di wajahnya, walaupun nyatanya tak bisa. Menghembuskan nafas secara perlahan, Nila mengambil tas selempangnya lalu disampirkannya di pundaknya. Ia kembali menatap ke arah cermin untuk kembali melihat dirinya. Sebelum kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar kostnya dengan harapan hatinya akan mendapat ketenangan. Saat keluar dari kostnya Nila melihat Tita yang merupakan penghuni kamar kost di sebelahnya. Tita sama sepertinya yang hanya seorang anak perantau. Gadis itu juga tengah kuliah di sini. Hanya saja mereka berbeda kampus, standard kampus gadis itu jelas berada jauh di bawah kampus yang Nila masuki. Karena memang Tita bukanlah anak beasiswa seperti dirinya. Dia anak rantau yang bekerja dengan menyambi kuliah. "Eh, Nil, udah berangkat kerja? Biasanya juga habis magrib," ujar Tita, menghentikan kegiatannya menyapu lantai. "Iya, Ta, takut macet," jawab Nila dengan senyum hangat yang mendapatkan anggukan dari Tita. "Ya udah, kalau gitu aku duluan ya, Ta." Nila berlalu dengan melambaikan tangannya pada Tita. "Iya, hati-hati!" teriak Tita, karena Nila yang memang sudah berjalan cukup jauh. *** Saat ini Bima dan ketiga temannya tengah nongkrong di salah satu kafe yang memang menjadi tempat tongkrongan anak-anak muda. Padahal bukan malam minggu, tapi tempat ini terlihat terisi penuh dengan anak-anak muda milenial. Keempat pemuda itu saat ini terlihat asik dengan gadget masing-masing. Mereka saling mengumpat satu sama lain. Ternyata mereka saat ini tengah bermain permainan firefly dengan bertanding bersama-sama. "Mati lo! Mati!" seru Dimas dengan bola mata yang terfokus di layar ponselnya. Jemarinya semakin gencar menekan-nekan di layar. "Sialan Lo, Dim!" umpat Andre. "Jangan mati! Anying gue mati!" Andre berseru kesal kemudian memandang Dimas sinis--penuh permusuhan. Bima dan Dimas sama-sama terkekeh mendengar u*****n dari Andre yang kemudian mati. Sedangkan itu, Fano hanya tersenyum tipis. Memang diantara keempat lelaki itu, hanya Fano yang paling kalem. Kesal karena sudah mati, Andre memakan kentang goreng yang berada di hadapannya. Ia memandang teman-temanya yang masih asik menyelesaikan permainan mereka. Lalu pandangannya memandang ke seluruh penjuru kafe. Andre mengangguk-angguk, melihat suasana kafe malam ini. Mata Andre menyipit saat netranya menangkap pemandangan seorang gadis yang tengah mengikuti langkah kaki seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu terlihat kesal, sedangkan Si gadis terlihat--terus memohon. "Eh, Bim, Bim! Lihat, deh, bukannya itu cewek kampungan tadi, kan?" tanya Andre menunjuk ke arah Nila yang masih setia mengikuti langkah lelaki paruh baya itu. Tidak hanya Bima, Dimas dan Fano, pun ikut mendongak. Mengikuti arah telunjuk Andre. Benar saja, pandangan mereka kini mendapatu gadis yang siang tadi bermasalah dengan Bima, kini terlihat tengah mengikuti langkah kaki laki-laki paru baya, mereka berjalan keluar kafe. Melihat itu, Bima menjadi penasaran. Wajah Nila sesaat dia lihat seperti memohon--mengemis bahkan. Mendadak kemenangan yang akan dia raih dari permainan barusan tak berarti lagi. Kini Bima sudah meletakkan ponselnya dan bangkit berdiri. "Mau kemana Lo?" tanya Dimas melihat Bima yang bangkit berdiri. "Gue ada urusan bentaran," ujar Bima melenggang, berjalan ke arah dimana dirinya tadi melihat Nila keluar. Sesampainya di luar Bima dapat mendengar kekesalan lelaki paruh baya itu dalam menanggapi permohonan Nila. "Saya mohon pak," suara Nila terdengar memohon dengan telapak tangan yang ditangkup di depan d**a. "Tiga ratus juta itu tidak sedikit, Nila. Itu uang yang sangat banyak. Bahkan keuntungan kafe ini saja tak seberapa. Saya tidak bisa meminjamkan uang sebanyak itu kepada kamu. Pinjam kepada orang lain saja," ujar lelaki itu kesal, sudah berkali-kali dia memberikan pengertian pada gadis di hadapannya tapi gadis itu tetap saja memaksanya. "Tapi pak, Ibu saya harus dioperasi. Cuman bapak harapan saya satu-satunya," Nila masih terus merayu. "Bukannya kamu kuliah di kampus orang kaya. Kamu bisa, kan pinjam ke teman kamu. Saya yakin mereka anak-anak orang kaya. Jadi lebih baik kamu pinjam dengan teman kamu saja," "Tapi pak--" "Sudahlah, saya sudah katakan kalau saya tidak bisa meminjamkan uang kepada kamu. Saya harus pergi!" Lelah berdebat, lelaki itu memilih masuk ke dalam sebuah mobil, yang Bima yakini memang milik laki-laki itu. Nila langsung terduduk di aspal saat mobil yang dikendarai Bos-nya sudah melaju pergi. Bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan? Ibunya harus segera dioperasi dan Bos-nya tak mau meminjaminya uang. Jadi, kepada siapa dia harus meminjam uang. "Gue bisa bantu Lo," Nila langsung mendongak saat mendengar suara seseorang. Mengusap air matanya, ia bangkit, menatap laki-laki di hadapannya penuh curiga. Mau apa Bima di sini? Ia sedang malas untuk berdebat dengan lelaki itu. "Bahkan gue juga bakal bayarin biaya kuliah Lo," lanjut Bima. Nila tak menyahut. Dia hanya memandang lelaki di hadapannya saat ini dengan pandangan sayu. "Tapi, seperti yang gue bilang siang tadi. Cuman semalam dan Lo bisa bayar operasi Ibu Lo dan bayar biaya kuliah Lo sampai wisuda," Bima mengatakan seolah tawaran yang dirinya berikan adalah sebuah penawaran yang sangat menggiurkan untuk wanita itu. "Sebenarnya apa maumu?" tanya Nila lirih, setelah dapat mengumpulkan kembali suaranya. Bima memandang Nila dengan sorot tak terbaca. Lalu dia menunduk, berbisik tepat di telinga Nila. "Gue pengen," jeda sesaat. "Lo hancur," lanjut Bima. Setelah mengucapkan itu, Bima berlalu meninggalkan Nila yang kembali terduduk setelah mendengar ucapan lelaki itu. Ia kembali terisak. Apa salahnya sehingga lelaki itu ingin ia hancur? *** Seorang pemuda berseragam putih biru, dengan percaya diri melangkah ke arah seorang gadis yang saat ini terlihat tengah membaca buku disebuah bangku taman. Saat ini jam istirahat, setelah menunggu sekian lama ia ingin mengungkapkan perasaanya kepada adik kelasnya itu. "Hai!" sapanya pada gadis itu. Gadis yang disapa langsung mendongak saat mendengar suara. Ia memandang sosok kakak kelas yang saat ini berdiri di hadapannya. Keningnya mengernyit saat menyadari jika kakak kelas yang berada di hadapannya kini adalah sosok kakak kelas yang sangat terkenal akan ketampanannya dan berasal dari keluarga kaya raya. Yang dia dengar dari temannya, kakak kelasnya ini merupakan siswa pindahan dari sekolah elit dan pindah ke sini. Aneh, pikirnya saat itu. Dia tersenyum kemudian pada kakak kelasnya. "Boleh aku ngomong sesuatu?" tanya pemuda itu. Walau bingung, tapi pada akhirnya Si gadis mengangguk. "Aku suka sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar aku," ujar pemuda itu menatap yakin pada adik kelasnya yang saat ini ditembaknya. Mendengar itu, si gadis terkejut. Sebelum kemudian dapat menguasai dirinya kembali. "Mm ... maaf ya kak, aku nggak bisa," jawabnya dengan raut wajah bersalah. Pemuda itu terkejut karena sebelumnya dirinya tak pernah ditolak. "Kenapa?" tanyanya tak dapat menutupi nada suaranya yang kesal. Dia terbiasa mendapatkan apa yang dirinya mau sedari kecil. Jadi untuk pertama kalinya ditolak, dia merasa harga dirinya terluka. Sempat terkejut dengan nada yang ia dengar, tapi si gadis dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. "Aku nggak pengen pacaran, Kak. Aku mau fokus belajar," ujarnya memberitahu. "Tapi aku suka sama kamu! Kamu harus mau jadi pacar aku!" paksa pemuda itu. Gadis itu kembali terkejut saat sosok kakak kelas yang banyak digilai di sekolahnya itu ternyata seorang pemaksa. Ia menggeleng pelan lalu bangkit berdiri dari kursi yang dia duduki. "Tapi aku bener-bener nggak bisa, Kak. Maaf," ujarnya berlalu meninggalkan kakak kelasnya itu. Pemuda itu memandang kepergian gadis yang telah menolaknya dengan pandangan yang tak dapat diartikan. "Lo cuman orang miskin, Lo bakal nyesel karena udah nolak gue." ucapnya memandang tajam punggung gadis yang baru saja menolaknya. "Gue bakal bikin hidup lo hancur," ucap Bima saat mengingat masa SMP-nya yang pernah ditolak oleh seorang gadis, yaitu Ayu Nila Saputri. Walaupun sudah bertahun tahun yang lalu. Tapi penolakan itu masih sangat jelas diingatan Bima. Karena Nila, lah dulu dia memaksa orang tuanya untuk memindahkannya ke sekolah gadis itu. Bima tak tahu kenapa saat itu dia senekat itu untuk ukuran seorang anak SMP hanya karena seorang gadis yang dia lihat di pinggir jalan. Bima pindah ke sekolahan itu pada saat dirinya kelas sembilan dan ternyata gadis itu masih merupakan siswi tahun ajaran baru. Memiliki sifat optimis sedari kecil, tak butuh waktu lama untuk Bima memutuskan menembak Nila saat itu. Tapi, siapa sangka dia mendapatkan penolakan yang berakhir kebencian darinya untuk gadis itu. Seolah alam memang memihak dengannya. Dia kembali dipertemukan dengan Nila, dengan gadis itu sebagai juniornya. Nila yang hanya seorang mahasiswi beasiswa memudahkan Bima untuk menindasnya. *** Nila kembali di kostnya dengan pikiran kacau. Air mata kembali lolos dari pelupuk matanya. Bahkan kini isakan-nya mulai terdengar. "Ibu bertahan ya, Nila bakal bawa uang untuk operasi ibu ..." ujar Nila membayangkan wajah tenang Ibu. Nila mulai berpikir pada siapa kini dia harus meminta bantuan? Dirinya jelas tak memiliki kenalan orang kaya untuk membantunya. Meskipun kuliah di kampus dengan mayoritas mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari keluarga kaya. Nyatanya dirinya yang hanya mahasiswi beasiswa tetap saja dikucilkan, yang hanya dapat berteman dengan sesama mahasiswi beasiswa. Atau tawaran Bima? Cepat-cepat Nila menggeleng mendapati pemikiran itu. Tidak dengan cara itu pikirnya. Ibunya pasti juga tidak akan senang jika dia membiayai operasinya dengan uang haram. Nb. Gimana perasaan kalian kalau dibully sama orang yang cinta sama kalian? Biar kuberitahu, rasanya nggak enak. Tetap aja dibully itu nggak enak walaupun alasannya karena dia suka sama kita hanya karena biar kita nggak sama yang lain? Follow ** ? cucokstory untuk informasi cerita menarik lainnya❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN