PART 1 - Darinya yang Tak Renata Suka

1710 Kata
Sejak Aalisha memberitahunya bahwa ia sudah memberitahu Ben tentang penyakitnya dua hari yang lalu, Renata sudah menduga akan ada konflik besar antara Gelael dan Oetomo. Dan Renata tak pernah tertarik ikut campur dengan urusan itu. Hanya saja, sejak dua jam yang lalu, Aalisha terus meminta pulang. Mengatakan bahwa keluarga Oetomo akan datang dan Renata harus ada di rumah. Renata hanya mendengarkan dan tak menjawab perkataan Aalisha. Perempuan itu berniat tak akan pulang dan hanya akan pergi ke apartemennya. Menenangkan diri di studionya dan menggambar beberapa desain pakaian yang beberapa hari ini ia pikirkan. Renata harusnya mematikan ponselnya. Tapi perempuan itu tak melakukannya, hingga ia mau tak mau harus menjawab telepon yang masuk sekarang. Karena Gabino Gelael yang meneleponnya. Untuk pertama kalinya - setelah beberapa tahun, kakeknya meneleponnya. Sudah sangat lama hingga Renata tak bisa mengingatnya apa yang mereka bicarakan di telepon terakhir mereka. "Halo, Kek?" ujar Renata. "Pulang," kata pria tua itu dengan nada berat yang dingin tak terbantahkan. "Tapi, Kek -" "Kubilang pulang, Renata Gelael!" kata pria tua itu dengan lebih tegas. "Baik, Kek," kata Renata lalu mematikan teleponnya. Tak ada yang bisa membantah Gabino Gelael, orang yang paling dihormati di Indonesia. Bahkan presiden yang sekarang menjabat pun menghormati orang yang membuatnya menang pemilihan presiden empat tahun yang lalu itu. Selama hidupnya, pria itu sudah memenangkan lima presiden melalui partainya dan seperti dewa - setiap kata Gabino Gelael akan menjadi perintah bagi semua orang di dunia perpolitikan. Begitu juga dengan Renata. Tapi tak seperti orang lain, Renata patuh pada pria tua itu bukan karena ia takut. Tapi karena pria itu adalah orang yang menjaganya puluhan tahun ini. Tempat Renata berlindung saat kedua orang tuanya meninggal dua puluh tahun yang lalu. Meskipun pria itu sangat keras mendidiknya, tapi Renata tahu pria itu menyayanginya. Gabino Gelael menyayangi semua cucunya - tapi tak lebih besar dari ia menyayangi partainya. Bagi Gabino - partai dan kekuasaannya adalah nomor satu. Bahkan mungkin lebih penting dari dirinya sendiri. Renata memutar balik mobilnya menuju rumah Gelael. Menginjak pedal gas dengan kuat melewati beberapa mobil di depannya. Tak lama kemudian, ia sampai di rumah yang lebih terlihat seperti istana negara itu. Rumah yang berdiri hanya dua lantai - tapi sangat luas dan tinggi. Perempuan itu membunyikan klakson mobilnya ketika sebuah mobil menghalanginya di parkiran. Sudah banyak mobil di depan rumah Gelael, entah mobil siapa saja, dan mobil BMW putih di depannya itu membuat Renata tak bisa masuk. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya Renata bisa lewat dan perempuan itu memarkirkan mobilnya dengan cepat. Renata keluar dari mobil. Dan seketika matanya menoleh ke samping. Tahu ada yang memperhatikannya dari samping - dan benar, Renata melihat Ben keluar dari BMW putih yang menghalangi mobilnya tadi. Laki-laki itu tak menampakkan ekspresi apapun hingga Renata tak bisa menebak apa yang ia pikirkan. Laki-laki itu hanya berjalan mendekati Renata, lalu berhenti. Menatap Renata dengan mata coklat datarnya. Renata tak pernah sungguh-sungguh memperhatikan Ben, tapi laki-laki itu memiliki rahang yang sangat indah. Dengan bibir tipis yang membentuk garis, tegak lurus dengan hidung mancungnya. Laki-laki itu lebih seperti pangeran dalam buku-buku dongeng daripada manusia biasa - dan Renata tak menyukainya. "Bisakah kau menunjukkanku toilet terdekat dari sini?" tanya laki-laki itu dengan suara rendah. Renata mengangguk lalu berjalan mendahului laki-laki itu. Renata menuntunnya ke sebuah toilet yang dekat dengan kolam renang. Melewati pintu samping hingga mereka tak akan terlihat oleh orang-orang yang sudah berkumpul di ruang tamu. Renata berhenti di depan toilet dan berniat langsung pergi ketika laki-laki itu menyentuh tangannya. Hanya sentuhan ringan. Tapi Renata langsung menepisnya. "Tunggu aku. Kita masuk bersama," kata laki-laki itu. Renata menatap ragu, "Kenapa aku harus menurutimu?" tanya Renata dingin. "Setidaknya, tenangkan dirimu di sini sebentar sebelum mendengar pertengkaran di dalam sana," kata laki-laki itu lagi dengan wajah datarnya. Laki-laki itu masuk dan entah kenapa, Renata menurutinya. Perempuan itu bersandar pada dinding toilet. Menatap kosong air biru di kolam renang yang tak bergerak sama sekali. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya Ben berbicara padanya. Renata sudah mengenalnya selama lima belas tahun, sejak laki-laki itu dijodohkan dengan Aalisha. Keluarga Oetomo sering datang ke rumahnya beberapa bulan sekali dan Ben selalu ikut. Renata sudah melihatnya selama lima belas tahun, tapi baru sekarang ia berbicara dengan laki-laki itu. Karena selama ini, Ben hanya diizinkan dekat dengan Aalisha. Dan tak ada alasan Renata berbicara dengan laki-laki itu. Renata pun, tak pernah tertarik dengan Ben. Sebagai manusia, laki-laki, maupun orang yang akan menikahi saudara sepupunya. Renata tak menyukai laki-laki itu. Bukan karena penampilannya, bukan juga karena ia dari keluarga Oetomo, Renata hanya tak suka dengan laki-laki itu. Ketika melihat Ben, Renata seperti melihat versi laki-laki dari dirinya. Seseorang yang dingin, tak tersentuh, ambisius, dan kadang Renata melihatnya - tatapan lelah yang membuatnya seperti orang paling tersiksa di dunia. Renata sering melihat dirinya dalam laki-laki itu, karena itu Renata tak menyukainya. Karena Renata juga sering membenci dirinya sendiri selama ini. Pintu toilet dan laki-laki itu keluar. Matanya langsung menatap Renata, seperti peluru yang cepat dan tepat. Renata mengalihkan tatapannya dan berjalan lebih dulu. "Jadi, apa yang akan kau lakukan, Benedict?" tanya Renata beriringan dengan suara hak sepatunya yang cukup keras. "Panggil aku Ben." "Tidak. Semua orang yang dekat denganmu memanggilmu Ben dan aku tak mau menjadi salah satunya," balas Renata. "Apa yang harus kulakukan agar kau mau menjadi orang terdekatku?" tanya laki-laki itu. Renata tersenyum kecil, merasa Ben tengah berbasa-basi padanya. "Tidak ada. Jangan melakukan apapun. Katakan saja padaku, apa yang akan kau lakukan tentang pernikahanmu yang berantakan sekarang," pinta Renata. "Aku tak tahu. Yang pasti ayahku sedang marah besar sekarang," kata Ben. "Aku sudah menduganya." "Ayahku merasa ditipu dua puluh tahun ini." "Aku tak menyalahkannya." "Ayahku pasti menolak Aalisha dan meminta putri Gelael lain." "Itu pun - sudah kuduga." Laki-laki itu berhenti. "Jadi kau juga sudah menduga, kalau kemungkinan kita akan menikah?" tanya Ben. "Kemungkinan selalu ada. Tapi juga selalu ada cara untuk menghindarinya, Benedict," kata Renata tanpa menghentikan langkahnya. "Kau tak suka menikah denganku," kata laki-laki itu. Renata tak menjawab, membuat Ben menarik tangan perempuan itu. Membawa Renata berdiri di depan Ben cukup dekat. "Apa aku harus menjawab? Sedengarku kau tak mengucapkan kalimat tanya, jadi aku merasa tak perlu menjawabnya," kata Renata. "Baiklah aku ulangi. Apa kau tak suka menikah denganku, Renata?" tanya Ben. Renata menepis tangan Ben. "Tidak. Tidak suka," ucapnya. "Kenapa?" "Kenapa? Bukannya alasannya sudah jelas?" Ben menggeleng kaku. "Jelaskan padaku," katanya datar. "Aku tak mengenalmu." Renata berhenti ketika melihat kening Ben berkerut. "Baiklah, aku sudah mengenalmu dua puluh tahun ini. Tapi aku hanya melihatmu, Benedict. Aku hanya melihatmu, seperti melihat patung atau lukisan di dinding. Kita tak pernah berbicara sama sekali. Kau pikir aku mau menikah dengan orang yang tak kukenal?" tanya Renata. "Lukisan di dinding?" tanya Ben dengan wajah tersinggung. "Maaf. Tapi itulah yang kurasakan." "Berarti kau tak menyukai lukisan." Ben memaksakan senyumnya. "Desainer mana yang tak suka lukisan?" tanya Ben. Renata cukup terkejut ketika Ben menyebutnya sebagai desainer. Tak semua orang tahu Renata pernah sekolah fashion. Renata melarang keluarganya menyebarkan berita itu karena Renata ingin terkenal dengan usahanya sendiri, bukan karena nama Gelael di belakangnya. Dan Renata yakin keluarganya juga tak memberitahu keluarga Oetomo. Karena meskipun mereka akan menjadi besan, Gelael tak pernah terbuka dengan siapapun. Keluarganya memiliki banyak musuh dari partai lain dan musuh politik lainnya. Dan Gabino sadar, menyebarkan informasi keluarganya akan menjadi bumerang bagi partainya nanti. Jadi, apakah Aalisha yang memberitahu Ben tentang Renata yang bermimpi menjadi desainer? Bisa saja itu terjadi. "Kata siapa aku tak suka lukisan?" tanya Renata dengan tajam. "Kau bilang tak menyukaiku. Lalu kau bilang selama ini melihatku seperti lukisan di dinding. Jadi bisa disimpulkan kalau kau tak menyukai lukisan, kan?" tanya Ben. "Ada lukisan yang aku suka dan ada lukisan yang aku tak suka. Dan kau adalah salah satu yang tak ku suka, Benedict. Itu saja," kata Renata. "Sayang sekali, aku turut sedih karena kau akan menikah dengan lukisan yang kau tak suka ini," kata Ben dengan senyum kecil. "Kenapa kau begitu yakin aku yang akan menikah denganmu? Biarku beritahu, Benedict." Renata mendekatkan dirinya ke Ben yang berdiri kaku. "Menikah denganku tak akan membawa keuntungan apapun untukmu. Paman Marist yang menjadi ketua Partai Kanisius. Kalau kau butuh kekuatan, kau harus menikah dengan anaknya, bukan denganku," kata Renata. "Bukannya kau juga anggota keluarga Gelael?" "Tapi aku bukan anak Paman Morist. Aku hanya bawahan Paman Marist. Orang yang melakukan apapun yang diperintahnya." Renata menjauhkan wajahnya dari Ben. "Kakek pun begitu, dia hanya mendengarkan Paman Marist. Bukan aku," kata Renata. Ben tersenyum miring. "Kau mengatakan ini hanya karena tak ingin menikah dengan lukisan yang tak kau suka, kan?" tanya Ben. "Aku hanya membantumu memilih orang yang tepat, Benedict." "Tapi Phoebe sudah memiliki kekasih. Anak presiden, kau kira aku bisa mengalahkannya?" tanya Ben dengan tajam. "Kenapa tidak?" Renata menyilangkan tangannya di d**a. "Sepertinya kau masih awam soal perpolitikan. Biar kuberitahu, presiden sekarang sudah dua kali menjabat dan enam bulan lagi masa jabatannya akan habis. Kau pikir, kakek akan memilih anak mantan presiden daripada anak orang terkaya di negara ini? Kau salah! Uang selalu menjadi yang utama dalam segala hal. Kakekku bahkan bisa membuat ayahmu menjadi presiden. Dan mantan presiden hanyalah mantan presiden - bukan siapa-siapa. Presiden sekarang, bukan apa-apa tanpa kekuatan kakekku, kau paham?" Melihat Ben hanya diam, Renata kenbali berkata. "Kau paham betapa penting siapa yang akan kau nikahi nanti?" tanya Renata. Ben hanya tersenyum kecil. "Aku belum bisa memahaminya. Tapi kini aku paham kenapa tak ada yang berani mendekatimu, Renata," kata Ben. "Apa maksudmu?" "Karena kau begitu dingin, ketus, dan begitu sialan pintar. Semua yang kau katakan tadi hanya caramu menggagalkan kemungkinan kita menikah, kan? Katamu, selalu ada kemungkinan, tapi selalu ada juga cara untuk menghindarinya. Kau pikir kau bisa menghindarinya hanya dengan membujukku seperti ini?" tanya Ben. "Kau salah. Aku tak mencoba membujukmu." "Lalu apa tujuanmu mengatakkan ini semua?" "Aku hanya memberitahumu apa yang sedang terjadi sekarang, Benedict. Karena kau terlihat tak tahu apa-apa." Renata mendongakkan kepalanya menatap Ben yang lebih tinggi darinya. "Aku tak akan membujukmu, karena aku tahu kau tak punya kuasa. Ayahmu yang punya kuasa. Kau hanya melakukan apa yang ayahmu putuskan, seperti aku yang melakukan semua yang kakekku putuskan," kata perempuan itu lalu pergi mendahului Ben. Laki-laki itu menyusul Renata dengan langkah besar. "Sepertinya aku harus banyak belajar berdebat. Agar aku tak selalu kalah jika kita menikah nanti," kata Ben dengan sedikit keras, seperti sengaja agar Renata mendengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN