PART 6 - Dari Kejauhan

1404 Kata
Dua puluh tahun yang lalu... "Hari ini Ayah akan mengenalkanmu pada tunanganmu. Kau pasti sudah tahu, kan? Cucu pertama Gabino Gelael. Jadi jaga sikapmu dan jangan mempermalukan Ayah, Benedict," ucap ayahnya sebelum membuka pintu mobil dan keluar. "Jaga sopan santun dan pasang senyummu. Jangan memasang wajah dingin seperti sekarang. Kau mengerti?" kata Margareth sambil merapikan kerah kemeja anaknya. Ben keluar dan menatap rumah besar itu cukup lama. Akhirnya sebentar lagi ia akan bertemu tunangannya. Gadis yang selalu dibicarakan ayahnya sejak ia berumur sepuluh tahun. Ayahnya selalu berkata bahwa dewasa nanti, ia harus menikah dengan gadis bernama Aalisha itu. Bahwa ia sudah terikat sejak kecil. Ben sebenarnya tak peduli. Ia tak penasaran sama sekali dengan gadis yang menjadi tunangannya itu. Tapi sekarang - ketika sudah berada di depan rumah besar itu - Ben sedikit ingin tahu tentangnya. Rajah dan Margareth berjalan lebih dulu di depan Ben. Seorang pelayan mengantar mereka melewati ruangan besar rumah itu yang tak ada ujungnya. Ben melihat kolam renang besar, taman dengan pohon-pohon yang tinggi, dan banyak lukisan kuno yang menghiasi rumah itu. Saat melewati kolam renang, Ben melihat seorang gadis bergaun hitam duduk di tepi kolam renang. Ben melihat ayah dan ibunya berhenti dan mengobrol dengan seorang pria tua, lalu anak itu berjalan ke kolam renang. Mungkin saja gadis bergaun hitam itu adalah tunangannya. Bukankah lebih baik memperkenalkan dirinya di bawah sinar rembulan yang cantik daripada di ruang makan? Itu jelas pertemuan pertama yang lebih indah untuk seseorang yang akan menjadi istrinya nanti. Ben melihat perempuan itu dari samping. Ben baru saja akan memanggilnya, tapi tatapan kosong anak itu membuat Ben berhenti. Ben tahu wajah kosong itu. Ben sudah sering melihatnya. Wajah orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Kenapa gadis kecil itu duduk di tepi kolam renang dan terlihat ingin terjun ke dalamnya? Apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan? "Hei," panggil Ben lirih. Gadis itu mendongak kecil dan Ben tertegun. Wajahnya yang tertutupi rambut hitam panjangnya kini terlihat jelas. Air matanya yang sudah mengering juga terlihat jelas. Termasuk juga tatapan lelah dan bibirnya yang pucat. Gadis itu tak berekspresi dan kembali melihat air kolam di depannya. Ben mendekatinya perlahan, takut tiba-tiba gadis itu jatuh ke kolam karena kehadirannya. "Siapa namamu?" tanya Ben sambil duduk di dekat gadis itu. Gadis itu memasukkan tangannya ke air kolam yang dingin. "Aku bukan tunanganmu," katanya. Kening Ben berkerut. "Kau tahu siapa aku?" Gadis itu menoleh pada Ben dan kali ini Ben bisa melihatnya dengan jelas. Gadis itu jelas lebih muda darinya. Matanya bulat berkaca-kaca dengan bibir merah muda yang memiliki garis indah. Alisnya tebal, tapi tak berlebihan dan gadis itu memiliki hidung mungil. Ben tak bisa melepaskan matanya dari wajahnya yang cantik. "Pergilah ke ruang makan karena kakek sudah menunggu dari tadi," kata gadis itu lagi. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa namamu?" "Kau bisa berenang?" tanya gadis itu tiba-tiba. Ben tak menjawab dan gadis itu berkata lagi. "Kalau aku jatuh dari sini, apa kau bisa menolongku?" tanyanya. "Aku bisa berenang, tapi belum tentu aku mau menolongmu. Apalagi kau belum memberitahu siapa namamu," kata Ben. Gadis itu tersenyum kecil, sama sekali tak tulus. "Namaku Renata - adik Aalisha. Kau pasti Benedict. Tamu yang tunggu kakek sejak tadi. Kau sudah tahu namaku. Jadi, apa kau mau menolongku, Benedict?" "Aku tak bisa. Orang tuaku akan memarahiku jika pakaianku basah." "Sayang sekali, harusnya aku belajar berenang sejak dulu," kata Renata dengan air mata yang tiba-tiba jatuh ke pipinya. "Kenapa kau menangis, Renata?" tanya Ben. Gadis itu menghapus air matanya. Menundukkan kepalanya dan terisak pelan. Ben melihat air matanya jatuh ke air kolam. Isakan kecil gadis itu membuat hati Ben terusik. Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu? "Apa kau pernah kehilangan orang yang sangat kau cintai, Benedict?" tanya Renata di tengah isakan tangisnya. "Aku pernah." Jawaban Ben membuat Renata menatapnya lagi. "Berarti kita sama. Karena kau pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang, kau tak akan menyalahkanku jika aku ingin tenggelam di kolam renang ini, kan? Kau tak perlu menolongku jika tak ingin pakaianmu basah. Itu lebih baik." "Jangan berpikir hal bodoh, Renata. Kau harus masuk dan berhenti menangis. Dimana orang tuamu?" tanya Ben sambil melihat sekelilingnya yang sepi. Gadis itu tertawa kecil. Tawa sedih yang membuat Ben bungkam. Seperti ada hal salah yang tak seharusnya Ben ucapkan. Ben ingin menyentuh bahu gadis itu, berharap bisa menenangkannya, tapi sebuah suara menghalanginya. "Benedict! Apa yang kau lakukan di sini? Ayo ikut Mami!" kata Margareth yang di depan pintu kolam renang. Ben berdiri, mendekati ibunya. "Tapi, Mi - ada seorang anak -" Ben melihat kembali ke kolam renang dan gadis itu sudah tak ada. Seketika tubuh Ben menegang. Dengan langkah panjang dan wajah pias, Ben melihat ke dalam kolam renang dan bernapas lega ketika tak melihat gadis itu. Ben pikir gadis itu benar-benar terjun ke kolam renang. Lalu dimana gadis itu sekarang? "Ayo masuk! Semua orang sudah menunggumu!" kata Margareth sambil menarik Ben masuk. Mereka berjalan ke meja makan - dimana dua keluarga itu sudah berkumpul. Ben melihat mereka satu persatu - dari pria tua di meja tengah yang pasti Gabino Gelael - karena Ben sudah beberapa kali melihatnya di televisi. Kemudian dua pasang semua istri yang pasti orang tua tunangannya. Seorang anak laki-laki kecil dan gadis bergaun putih yang diam menunduk sejak tadi. Ben tak melihat gadis bergaun hitam yang ditemuinya di kolam renang tadi. "Dimana Renata? Apa kau sudah memberitahunya untuk keluar, Rachel?" tanya Gabino pada menantunya. Rachel mengangguk, "Aku sudah memberitahunya, Yah. Tapi sepertinya Renata masih tak ingin keluar." Rachel menatap kedua orang tua Ben dengan sedih. "Mohon mengerti, Renata baru saja kehilangan orang tuanya dua hari yang lalu. Keluarga kami masih berduka sekarang," kata Rachel. Ben terkejut mendengar perkataan Rachel. Jadi gadis tadi baru saja kehilangan kedua orang tuanya? Karena itu dia terlihat sangat sedih. Tentu saja - tentu saja gadis itu menangis seperti tadi. Dan perasaan Ben seketika tidak nyaman - seperti ada menggelayutinya. Entah perasaan bersalah atau simpati untuk gadis itu. Ben ingin melihatnya dan memastikan dia baik-baik saja. Tapi sepanjang makan malam itu, gadis itu tak keluar sama sekali. Renata tak terlihat - dimanapun Ben mencoba mencarinya. Hingga ketika ia kembali ke kolam renang pun, Renata tak ada di sana. "Kak Ben, suka melakukan apa?" tanya Aalisha di sampingnya. Ben menatap Aalisha datar. Gadis yang menjadi tunangannya itu menatapnya dengan ragu. Ben tahu Aalisha gadis yang manis - tapi entah kenapa, Ben tak bisa menghilangkan Renata dari pikirannya. Dan ia sungguh ingin bertemu gadis itu dan menghiburnya - meskipun ia baru bertemu dengannya malam itu. "Aku tak suka melakukan apapun," jawab Ben datar. Aalisha masih menunduk. "Kak Ben sepertinya tak menyukaiku. Sejak tadi Kak Ben tak pernah menatapku ataupun berbicara denganku," kata Aalisha. "Aku -" Aalisha tersenyum, "Tak apa. Aku juga merasa pertunangan ini hal bodoh. Kita masih kecil, aku bahkan tak tahu apa itu cinta. Tapi keluargaku sudah menetapkan kalau aku harus menikah dengan Kak Ben nanti," kata Aalisha. Ben tak menjawab Aalisha dan tetap fokus melihat sekelilingnya. Berusaha mencari sedikit saja petunjuk keberadaan gadis itu. "Kalau Kak Ben tak ingin mengobrol lagi denganku, aku akan ke atas. Adik sepupuku - Renata - baru saja kehilangan orang tuanya. Aku harus menemaninya agar tak melakukan hal bodoh. Dia akan menangis sepanjang malam," kata Aalisha. Ben menatap Aalisha ketika menyebut nama Renata. "Apa aku boleh ikut denganmu -" "Benedict!" panggil Rajah. Ben menoleh pada ayahnya yang sudah berpamitan dengan keluarga Gelael. Mereka saling tertawa lalu ibu Aalisha memberikan sekotak makanan untuk ibu Ben. Rajah menarik tangan Ben mendekatinya. "Ayo kita pulang," kata ayahnya sambil berjalan ke arah pintu keluar. Ben menatap ke dalam rumah itu - berharap melihat gadis bergaun hitam itu sekali lagi - sebelum ia benar-benar pergi dari rumah itu. Tapi Ben tak melihat apapun. Renata tak terlihat dimanapun. Dan Ben tak menyangka bahwa malam itu adalah pertama dan terakhir kalinya Ben berbicara dengan Renata. Karena setelah itu, Ben tak punya kesempatan untuk berbicara dengan perempuan itu lagi. Saat Ben berkunjung di rumah Gelael, Ben tak pernah melihatnya. Saat tak sengaja Ben melihatnya, Renata menghindarinya. Tak pernah menyapanya bahkan saat mereka bertemu di jalan. Apalagi saat makan malam keluarga, perempuan itu hanya diam dan tak pernah menatap Ben. Renata menganggap Ben orang tak dikenal dan Ben - tak memiliki keberanian untuk mendekati perempuan itu. Karena Renata bukanlah gadis yang harus ia nikahi nanti. Karena Ben sudah bertunangan dengan adik sepupunya - dan yang paling penting - Karena Ben sudah merasa cukup, hanya dengan melihat perempuan itu dari kejauhan - selama dua puluh tahun ini.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN