second

1147 Kata
Sang Jenderal—Alterio Zedyn mendesis. Ketika sekali lagi, mantan tangan kanan Jenderal Saveri, Letnan Jaasir kembali bersuara berpendapat tentang keturunan dan pernikahan. Di dalam Andara, pernikahan memang diatur dalam pasal dan undang-undang. Pernikahan bisa terjadi saat usia si pihak perempuan sudah matang. Dalam batas usia minimal tujuh belas tahun. "Zedyn! Apa kau ingin mengikuti jejak Alterio Edzard? Keluar sebagai gen unggul dan melahirkan bibit baru sebagai pemberontak bertangan dingin? Lihatlah, siapa yang membunuh Jenderal Saveri!" Letnan Jaasir membentak. Sayangnya, bentakan kerasnya tidak mampu menggeser posisi Sang Jenderal yang statis dan kaku. Dia memutar mata, memandang mantan Letnan itu yang terengah-engah. "Lagi. Kau selalu membawa Alterio Edzard dan berakhir emosi." Kepala Sang Jenderal menggeleng samar. Panglima Reiki yang duduk lantas meremas lengannya, menahan emosi Letnan Jaasir semakin menjadi-jadi. "Kalau begitu menikah." "Lantas, apa yang kudapatkan jika aku menikah? Jika hanya berbicara tentang keturunan, aku bisa—" "Tutup mulutmu, Zedyn." Panglima Reiki menyela ucapan Sang Jenderal dengan rahang mengetat sempurna. Mereka adalah tangan kanan terbaik era Jenderal Saveri menjabat hingga dia tutup usia. Dan berakhir mundur setelah kekosongan kursi Jenderal turun pada putra bungsunya, Alterio Zedyn. "Dan aku akan dijodohkan?" Sang Jenderal tersenyum sinis. "Persetan dengan kalian. Aku hidup pada zaman setelah perang dunia kelima usai. Dan aku tidak ingin ikatan bernama perjodohan itu benar-benar terjadi." "Lalu, kau ingin menikah atas nama cinta, begitu?" Letnan Jaasir menyeringai keji padanya. Menusuk tepat di ulu hatinya. "Karena aku yakin, cinta pada dirimu telah terkuras habis hanya untuk keluargamu. Terutama ibumu." Sang Jenderal mengetatkan geraham. Dia membuka mulut hendak bersuara. "Kau berlagak seperti kau mengenal diriku dengan baik." "Memang. Itulah aku. Aku ada saat kau dilahirkan." Panglima Reiki menghela napas panjang. Dia mengeluarkan dokumen yang sejak tadi dia simpan di dalam laci. Melemparkannya pada Sang Jenderal yang hanya melirik tanpa minat berkas itu. "Buka itu. Aku menjamin saat kau membukanya, kau akan menarik semua ucapanmu." Letnan Jaasir mendesis tak sabar. Ketika tangan kekar Sang Jenderal membuka dan matanya memicing tajam menemukan beberapa gambar gadis dewasa yang cantik dalam berbagai bentuk. "Caris Adonia. Pejuang dari Distrik Lily. Lihat, tanda kupu-kupu pada pundaknya." Sang Jenderal mengangkat alis. Seraya menatap kedua Letnan dan Panglima itu tajam. "Tanda yang sama seperti ibuku." "Dia yang terpilih, Jenderal." Letnan Jaasir menghela napas pendek. "Gadis itu, gadis yang terpilih untuk menjadi istrimu." Sesaat terselip nada kesakitan dalam suara Letnan Jaasir yang mengalun tegas. Panglima Reiki lantas meliriknya, menemukan pandangan Letnan Jaasir jatuh pada sepatu boot yang bersih tanpa noda. "Tanda yang sama yang digariskan takdir untuk menjadi salah satu bagian dari Andara. Setelah Alterio Kaila, kini Caris Adonia. Yang berasal dari darah selain Alterio dan dia hanya pejuang kecil dari Distrik Lily. Dia hidup sederhana. Gadis itu terlalu sederhana." Letnan Jaasir berdeham. Memecah suara Panglima Reiki saat Jenderal menutup dokumennya dalam diam. "Cepat klaim dia sebagai milikmu. Karena jika Alterio Edzard datang untuk mengambil tahtamu, kau akan kehilangan segalanya bahkan harga dirimu sendiri." *** Dia sudah gila. Caris Adonia tidak tahan untuk tidak mengumpat berbagai macam kalimat u*****n yang pantas untuk Sang Jenderal. Semua pasang mata terarah padanya. Berbagai tatapan tak percaya, jijik, semua bercampur menjadi satu. Adonia menjadi objek yang pantas untuk mereka cela sekarang. Apa yang Jenderal itu lihat darinya? Selain tekad kuatnya sama seperti gadis lain untuk masuk militer hitam. Apa karena dia baru saja menantang Sang Jenderal untuk masuk ke dalam dua tubuh militer terkuat di bumi? "Jenderal. Ini terlalu cepat." Letnan Aristide akhirnya bersuara dan kepala Jenderal menggeleng samar. Panglima Sai menunduk guna menyoroti ekspresi kakunya. Sudut bibirnya tertarik menatap ekspresi gadis itu yang siap murka. "Aku tidak mau." Semua orang terkejut. Madava Fredella mengernyitkan alis saat dia mendengar bisik-bisik mengejek jatuh pada Caris Adonia dan dia mendesis pertanda mereka untuk tetap diam. "Kalau begitu, pergilah. Ankara tidak akan menerima kau, dan keluargamu lagi. Bermimpilah selagi kau bisa menyentuhkan kakimu di sini." "Kau mengancamku, Jenderal?" Sang Jenderal menipiskan bibir menahan diri dari sikap menantang terang-terangan gadis berambut merah muda itu. "Tentu tidak. Ada beberapa hal yang harus kau tahu." Letnan Aristide bergegas turun saat Komandan Rei bergeser dan dia membiarkan Sang Letnan mendekat, membuat Adonia bersikap waspada ketika dia mengangkat busurnya, siap memanah Sang Letnan tepat di jantungnya. "Selangkah saja kau mendekat, anak panahku akan menembus d**a hingga punggungmu, Letnan." "Di saat perempuan lain tanpa terkecuali ingin duduk di posisi tertinggi sebagai Nyonya Andara, dan gadis ini?" Panglima Sai berdecak. Dia menyenggol bahu Komandan Rei yang bersikap kaku. "Dia akan merepotkan nanti." "Jenderal hanya ingin bicara." Letnan Aristide sama sekali tidak merasa terancam dengan anak panah yang terbuat dari asahan bambu itu dengan sorot dingin. Meskipun, dalam sekali tarikan ancaman Adonia bisa menjadi nyata ketika pucuk anak panah itu menembus dadanya dan dia mati. "Aku tidak ingin bicara! Tidak pada siapa pun." Caris Adonia pada akhirnya menyerah. Dia menurunkan busur dan anak panahnya. Menarik napas panjang ketika Letnan Aristide menoleh, menatap dingin pada dua mantan petinggi Ankara di masa lampau. Letnan Jaasir dan Panglima Reiki yang masih memakai seragam militer hitam lama seperti zaman Jenderal Saveri. Sang Jenderal turun dari mimbar. Setelah Komandan Rei memberi instruksi pada kedua kapten untuk membawa calon pasukan mereka pergi dari lapangan menuju tempat yang disediakan pada alat yang terpasang di setiap telinga anggota militer hitam Ankara. "Bubarkan." Panglima Sai mendesah panjang. Dia ikut turun berjalan beriringan bersama Komandan Rei saat dia bertemu Madava Fredella tengah mengatur barisan. Ekspresi gadis itu tampak keras dan bersikap profesional seperti anggota militer hitam lainnya yang dididik tidak memiliki hati dan ampun. Mata perak indah itu melirik mereka. Dia memberi sapaan singkat dan tersenyum pada Komandan Rei yang mengangkat alis, kemudian mengangguk pelan padanya sebagai sapaan balasan. Panglima Sai lantas berjalan kembali. "Kau masih saja kaku pada tunanganmu sendiri." Komandan Rei menghela napas. "Ini sulit." "Karena Letnan Aristide?" Komandan Rei tidak menjawab dan Panglima Sai tahu dia tidak perlu jawaban glambang sebagai balasan pertanyaannya. Caris Adonia duduk di sebuah ruangan. Yang dia berani bertaruh adalah ruangan pribadi milik Jenderal Andara. Dia menarik napas, membuangnya kasar saat hendak berdiri dan sosok Jenderal yang ditunggu tiba di ruangan. "Duduk." "Kenapa aku harus—" Caris Adonia membuang napas kasar. Dia beringsut mundur dan duduk pada sofa yang nyaman. Sang Jenderal duduk di kursi kebesarannya tanpa melepas topi legam militer yang ketat sebagai simbol kekuasaan dirinya. Berbagai lambang bintang yang tersemat seakan menampar Adonia siapa pria yang duduk penuh kuasa di hadapannya. "Sepuluh tahun aku menjabat sebagai Jenderal, pernikahan sama sekali tidak ada di kamusku." Caris Adonia mendengus seraya menggelengkan kepala bosan. "Aku duduk di sini bukan untuk mendengarkan curahan hatimu. Aku tidak mau peduli kau ingin menikah atau tidak, aku hanya meminta penjelasan. Letnan Aristide bilang, aku akan mendapat semua penjelasan itu jika aku datang ke ruangan sialan ini." "Jaga bicaramu." Adonia seketika menutup rapat bibirnya. Dia lupa dengan aturan bahwa rakyat Andara dilarang berkata kasar atau memaki pada militer hitam jika mereka tidak berbuat kasar atau melakukan tindak kekerasan pada mereka. "Maaf."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN