2. Rencana Meminta Restu

1507 Kata
"Apa kamu sudah pikirkan untuk memberitahu orangtuamu?" lanjutku selembut mungkin, takut amarahnya yang menjawab. "Aku sudah pikirkan, bagaimana kalau kita nikah sirih saja? yang penting kita sah sulu suami istri, nanti kita pikirkan kedepannya. Bagaimana?" sontak aku terkejut mendengar penuturannya. Aku terdiam sesaat. Pikiranku melayang-layang. Apa dia tidak mencintaiku? Apa dia akan menceraikanku setelah melahirkan? Ini tidak boleh terjadi, pikirku. "Aku tidak mau mas, aku mau kita sah di muka agama dan negara, aku enggak mau nikah sirih" kataku sambil menahan air mataku. "Setidaknya kita udah menikah, bagaimana kedepannya, itu kita pikirkan nanti saja, sebelum perutmu membesar" katanya sambil mengelus perutku. Kuhempaskan tanganya kasar, "Apa kamu berpikir akan menceraikanku, kamu menikahiku lalu meninggalkanku? Supaya tidak ada yang tau kalau kita sudah menikah, begitu maksud kamu?" Teriakku sambil sesenggukan. Air mataku tak bisa kubendung lagi. "Aku mencintaimu Dia, aku tidak mungkin menceraikanmu, tapi aku tidak berani mengatakannya pada mama. Mama tidak akan setuju, karena memang dari awal mama belum mengizikanku untuk menikah. Aku tidak menghubungimu selama ini bukan karna aku tidak cinta, tapi aku memikirkan cara supaya kita tidak pisah. Supaya kita bisa nikah seperti apa yang kamu bilang. Tolong mengerti aku Dia" tuturnya sambil menangis memelukku. Aku terdiam mendengarkan penuturannya. "Jadi ini yang membuat Rei memintaku menggugurkan anakku? Tapi bagaimana mungkin tante Renata tidak setuju, dia juga seorang ibu. Dia pasti akan mengerti keadaanku dan Rei. Pokoknya aku harus berusaha meyakinkan Rei untuk menikahiku secara resmi, kami harus meminta restu orangtuanya dan orangtuaku. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya" Batinku. "Tetap aku tidak mau kalau kita nikah sirih" Rei melepaskan pelukannya dan menatapku. "Kita harus meminta restu orangtua kita supaya kita bisa nikah secara resmi" lanjutku. "Sayangg" katanya dengan nada memohon. "Apa salahnya kalau kita mencoba Rei, jangan menyerah sebelum mencoba" "Kamu tidak tau mamaku sayang" katanya menggegam tanganku. "Kita hadapi sama-sama. Jangan di bahas lagi, kita akan pikirkan cara untuk meminta restu" ku eratkan genggamanku meyakinkan. "Baiklah, aku akan memikirkanya, kamu juga. Kita juga harus meyakinkan orangtuamu" katanya lalu memelukku. Aku menganggung mengiyakan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi orangtuaku jika mereka tau aku hamil. Tapi apa boleh buat, aku harus berani mengungkapkannya supaya aku dan Rei bisa menikah secara resmi. Aku bingung dengan diriku sendiri, sekarang aku semakin berani dalam hal apapun. Entah apa yang merasuki diriku. Setelah dua hari kami berpikir, Rei memintaku untuk menunggunya sepulang kerja. Kami akan membahas mengenai rencana kami. Mobil Rei berhenti tepat di hadapanku. "Apa yang kamu rencanakan?" Tanyaku setelah mobil melaju menuju rumahku. "Nanti saja di rumah, tidak baik membicarakannya di mobil" dia mengelus kepalaku. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Sesampai di rumah aku membersihkan diri. Rei duduk di sofa sambil menonton TV. Aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri Rei. "Bagaimana, apa rencanamu?" Tanyaku mulai penasaran. "Kita menemui orangtuamu dulu, kita ceritakan semuanya. Apapun yang akan orangtuamu lakukan, kita harus siap dang tangung bersama. Kamu juga harus membantuku saat di depan orangtuamu" Jelasnya. Aku tidak keberatan. Tapi tunggu "kenapa harus ke rumah orangtuaku dulu, harusnya ke rumah orangtuamu dulu baru kerumah orangtuaku. Kita harus membawa orangtuamu untuk meyakinkan orangtuaku" protesku "Aku sudah bilang, kamu tidak tau bagaimana mamaku. Bahkan meminta izinnya pun sangat sulit. Setidaknya jika orangtuamu menyetujui, kita sudah memiliki lampu kuning. Nanti kamu akan tau bagaimana mamaku. Tapi tolong, baik-baiklah sama mamaku. Bagaimanapun dia mamaku" Pintanya. Memang aku tidak pernah bertemu dengan keluarga Rei. Dia tak pernah mengajakku kerumahnya. Mungkin karena tante Renata tidak mengizinkannya menikah. Rei hanya sesekali menceritakan keluarganya. Tapi aku baru tau kalau mamanya begitu. Rei juga bercerita tentang papanya yang lumpuh akibat kecelakaan. Jadi sekarang dialah punggung keluarga. Mungkin itu alasan mamanya tidak mengizinkannya menikah. Tapi menurutku mamanya terlalu egois. Tapi yasudalah, semoga saja aku bisa akur dengan calon mertuaku seperti yang kuharapkan. "Baiklah, aku setuju" aku menyetujui. "Kapan kita akan pergi?" lanjutku. "Minggu depan" "Kenapa tidak lusa saja, itu terlalu lama sayang" protesku "Aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan minggu ini, tolonglah untuk bersabar. Tinggal sebentar lagi, kita akan menikah" dia meyakinkanku. Aku hanya mengangguk tanda setuju. "Apa aku boleh bekerja setelah kita menikah nanti?" Tanyaku "Tidak. Kamu di rumah saja. Kamu harus jaga kesehatan. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada kalian." Dia memelukku "Maaf, aku sempat memintamu untuk menggugurkannya, saat itu aku benar-benar buntu" lanjutnya "Aku mengerti. Terimakasih karena telah memilih berjuang bersamaku" kataku tulus. Dia hanya mengangguk dang mencium keningku. Aku berangkat kerja seperti biasanya. Meski sedikit mual, aku tetap semangat karena Rei akan menikahiku. Kulangkahkan kakiku sambil senyum-senyum sendiri ke ruang kerjaku. Teman-temanku yang melihatku heran dan menghampiriku. "Apa kau salah minum obat Dia?" tanya Sarah salah satu temanku. "Sepertinya dia kejedot tembok sebelum kesini" timpal Asih. "Aku akan meninggalkan kalian, aku malas berteman dengan kalian" candaku yang membuat Sarah, Asih dan Wulan melongo. "Yasudah kalau kau malas berteman dengan kami, kau pikir hanya kau yang mau menjadi teman kami. Pergi saja, seenaknya saja bilang malas. Kau pikir kau sidah hebat?" kata Sarah sedikit emosi. "Jangan begitu Ra, mungkin Dia punya alasan ngomong gitu. Bisa saja kita ada salah" kata Wulan menenangkan Sarah lalu menatapku. "Kami ada salah apa Dia, sampe kamu ngomong begitu? Kalaupun kami ada salah, kita kan bisa bicarakan baik-baik. Bilang sama kami apa salah kami Dia, biar kami bisa memperbaiki" lanjut Wulan lembut. Wulan memang selalu menjadi penengah buat kami. Sebelum aku menjawab "Pergi saja kalau mau pergi. Entah setan apa yang merasukimu tiba-tiba bicara begitu. Kami tidak akan mengganggumu" kata Asih. Kutebak dia sedang menahan tangisnya. itu terlihat jelas dari nada bicaranya. Asih memang paling cengeng diantara kami.Sontak aku tertawa "Hahaha... Aku hanya bercanda, kenapa kalian serius sekali. Apalagi kau Asih, tidak akan menggangguku lagi? Kau kan hantu yang ada di film horor ASIH, bagaimana bisa kau tidak mengganggu? Kau kan sentan pengganggu. Hahahaha" kataku tak kuat menahan tawa. "Aku memang akan meninggalkan kalian disini, karena aku akan menikah" Lanjutku setengah berbisik. "Hei orang gila, kau saja yang menjadi hantu, namaku sangat bagus dibuat oleh ibuku. Asih Agustianingsih" protes Asih. "Tapi serius kau akan menikah? Kau akan melepas masa lajangmu? Kau akan sulit bertemu kami bodoh" lanjutnya. "iya aku serius" "Tapi kenapa tiba-tiba? Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari kami kan?" Selidik Sarah. Aku terdiam. "Tidak usah kau tutupi, ceritakan pada kami. Siapa tau kami bisa membantu. Percayalah, kami ini temanmu, tidak mungkin menjerumuskanmu. Sepulang kerja kita ke cafe tempat kita biasa nongkrong. Kita akan membahasnya disana. Sekarang kita kerja, sudah waktunya" kata Wulan. Aku hanya menganggung mengiyakan. Memang merekalah yang paling mengerti aku setelah kluargaku dan Rei. Aku berpikir tak apa aku mengatakannya pada mereka. Setelah pulang kerja, kami menuju cafe tempat dimana kami biasa nongkrong. Kami memilih tempat paling pojok. Kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah pelayan pergi, kami mulai membahas pernikahanku. "Memangnya ada masalah apa sampai kau buru-buru nikah? Apa kalian di paksa orang tua kalian harus cepat nikah?" Asih langsung ngerocos. "Atau jangan-jangan kau hamil? Tapi tidak mungkin, Rei bukan orang seperti itu" lanjutnya. Aku mengangguk. Sontak mereka bertiga terperanjat. Sebelum protes, pelayan datang mengantarkan pesanan kami, lalu pergi. "Untung pelayan sudah datang, aku butuh air" kata Sarah dengan ekspresi syok. "Kau serius Dia? Bagaimana bisa?" tanya Wulan. "Bukankah Rei bilang akan selalu menjagamu? Tapi kenapa dia merusakmu?" Lanjutnya. "Memang b******k si Rei. Dia hanya di luar saja lembut, nyatanya dia penjahat kelamin" kesal Asih. Sebelum aku menjelaskan "Kamu hamil berapa bulan?" Lanjutnya. "Jalan 3 bulan" jawabku. "Apa? Sudah sebesar ini kau baru mau menikah? Kau baru kasih tau kami? Apa Rei berencana meninggalkanmu makanya baru nikah sekarang? Dasar si b******k itu, awas saja kalau ketemu?" gerutu Sarah kesal. "Biarkan Dia jelasin dulu, mungkin mereka punya alasan" Wulan menenangkan. Lalu aku menceritakan semua yang terjadi. "Apa? Gila tuh si Rei minta gugurin, di kira gampang. Nyawa taruhannya dan itu dosa besar. Masa mau bunuh anak sensidiri. Memang dia itu POLTAK, keliatan polos tapi tak berotak" kesal Asih. "Lalu bagaimana dengan mertuamu? Apa dia akan merestui kalian, secara mata pencahariannya akan hilang" itu Sarah. "itulah yang kami takutkan. Makanya kami akan kesana meminta restu. Doakan semoga kami di restui dan tidak terjadi apa-apa. Aku sebenarnya takut juga, tapi kami harus melakukannya" kataku. "Berpikir positif aja, kami mendoakanmu. Apapun yang terjadi, kabari kami. Kami siap membantumu" Wulan menenangkan. "Trimakasih Lan, kau memang seperti bidadari Nawang Wulang seperti di dongeng-dongeng" godaku. "Kami juga akan membantumu, kenapa hanya berterimakasih pada Wulan?" protes Asih. Dia memang ceplas ceplos kalau bicara. "Iya iya, trimakasih juga buat kalian berdua. Apa aku juga harus memanggilmu bidadari nawang Asih? Tapi tidak cocok, kau kan sudah jadi hantu Asih" candaku dan kami tertawa bersama. "Aku bukan hantu" protes Asih kesal. "Beritahu juga pada kami kalau mertuamu macam-macam. Kami siap mendampingimu. Firasatku mengatakan tidak akan lama lagi kita akan perang" lanjutnya. "Setuju" Sarah menyetujui membuatku tertawa. Mereka memang sebelas dua belas. "Perang apanya, kau pikir ini zaman penjajahan? Kau pikir mertuaku setua itu" protesku sambil tertawa. Kami pun bercanda ria sambil menyantap pesanan kami. Setelah selesai, kami pulang masing-masih karena arah rumah kami beda-beda. Aku memainkan handphoneku sambil menunggu taxi. Ada notif pesan masuk dari Rei. Rei : "Kamu siap-siap ya sayang, besok kita kerumahmu" "Iya sayang" balasku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN