"Kalian salah kalau menantang pria keras kepala seperti dia. Kau menantang raja jalanan? Wah, otakmu ada dimana? Katakan padaku. Biar kupungut kembali otakmu."
Deomy Dwayne menantang salah satu lawan Rei Zico yang mencoba untuk menarik perhatian si pembalap mobil itu. Dengan ledekan bahwa Zico hanya ampas, sampah yang tidak sengaja terpungut demi menjadi bintang.
Orlan memutar mata. Mendengar jeritan para gadis seperti sehabis berebut diskon pakaian dalam. Membuat telinganya sakit karena berdengung. Dia lebih baik mendengar suara mobil balap ini, daripada sekumpulan penjerit yang memecah sepinya malam.
"Aku tidak peduli. Kami bertaruh besar untuk ini."
Dwayne mendengus. Melepas cengkraman pakaiannya pada pria sok tangguh itu. Dengan tatapan sinis, mendorongnya untuk terlempar ke arah Mustang yang terparkir. "Kau mengusiknya terlalu jauh, Souma. Bagaimana kalau dia membunuhmu di jalan nanti?"
Souma mendesis. Memasang tampang dingin untuk membalas gerutuan yang khas seperti perempuan milik Dwayne.
"Aku tidak peduli. Zico menghancurkan karirku, aku pun harus membalasnya dengan pertandingan yang lebih pedih."
"Jadi, ini semua tentang dendam?" Orlan menggeleng miris. "Sia-sia saja aku datang. Seharusnya aku tidur untuk pergi ke tempat latihan besok pagi. Dan tidak membuang waktuku untuk menonton pria pecundang ini bermain."
Alexander Drew mengernyit. Menatap datar ke arah para gadis yang berusaha mencuri pandang ke arahnya, menggeleng pelan dan berbalik untuk menatap Souma yang terpojok karena Dwayne.
"Kau menghancurkan karirmu sendiri, sialan! Jangan libatkan Zico!"
Sebelum kepalan tangan Deomy Dwayne membuat wajah itu lebam, Drew menahannya. Membuat Dwayne terhuyung mundur ketika pria itu memasang badan sebagai tameng. "Ini bukan tempat yang pantas untukmu berkelahi."
"Ada Oricon. Kau lebih baik membantu Laka di sana," sahut Orlan saat turun dari Mustang kesayangannya. "Daripada membunuh pria tidak jelas ini."
Rei Zico turun dari Aventador miliknya. Memicing menemukan Souma sudah siap bertanding, dan mendengar pekikan dari para gadis membuatnya menolehkan kepala.
"Benar-benar," gerutunya sebal.
Saat Zico mendekat, Drew melempar kunci mobil balapnya. Memilih untuk menyimpang mobil mewahnya sendiri, Zico akan bertanding dengan mobil milik rekannya.
"Kau siap?"
Kunyahan permen karet di dalam mulutnya mulai terasa hambar. Zico mendesis, menatap Souma dengan pandangan sinis. "Kau masih punya waktu untuk membawa mobil sialan itu pergi dari sini. Kalau kau takut, merasa pecundang karena menantang orang yang salah."
"Aku tidak akan kalah."
Zico mendengus menahan senyum. Saat Souma dengan kasar mendorong bahunya. Membuat pemandangan panas di antara para penonton yang menonton jalannya pertandingan.
"Oke, we will see."
Souma menekan pedal gasnya terlalu dalam. Membuat asap dari knalpot Mustang miliknya menghampiri Drew yang duduk di bagian depan mobil mewah Deomy Dwayne.
"Dia rupanya mencari mati."
Zico bergerak mundur, pergi ke sisi mobil pekat lain yang tampak seksi dan berkilau. Mengundang histeris yang berlebihan dari para penonton kekurangan bahan pakaian.
Dwayne menarik napas. Memilih untuk mundur saat Zico memacu gasnya untuk memanaskan mobil milik Drew yang terasa pas di tangannya. Ketika dia maju, berada di garis putih. Bersisian dengan Souma yang siap bertanding.
Bendera itu turun setelah dua menit menyilang di udara. Drew memicing, menemukan mobil miliknya melesat jauh. Dia percaya dengan tangan Zico yang tidak lagi diragukan pada setir kemudi.
Baru berlangsung delapan menit, semua orang terkesiap menemukan kecelakaan besar dengan mobil Souma terguling ke tengah jalan. Dan mobil Zico mundur, menabrak mobil itu ke sisi jalan agar tidak memicu ledakan besar di tengah jalan yang akan mengganggu lalu lintas.
Semua mata terpaku. Memandang sinar terang yang berasal dari api yang meledak ke angkasa. Saat mobil yang Zico kemudian berbalik, memilih untuk menepi.
***
"Kalian melihat berita pagi ini? Balap liar kembali membuat resah. Lagi-lagi memakan korban. Kau tahu Souma Kano? Yang gagal mendapat tempat di hati para penggemar internasional karena kalah dari Rei Zico?"
Daisy mengangkat alis. Dan Rose menggeleng pelan. "Tidak. Siapa dia?"
Kairo menghela napas. Mengambil tempat di antara keduanya dengan decakan. "Zico berhasil membuat perbedaan tipis pada poin Souma saat itu. Jadi, dia dikontrak oleh Ferrari dengan bayaran tinggi. Karir Souma meredup. Dia juga beberapa kali tertangkap sedang mengumpat di televisi."
"Attitude buruk, pantas dia meredup."
Rose menghela napas panjang. "Ya Tuhan. Kalau kau bicara tentang olahraga, balapan, aku sama sekali tidak mengerti. Persetan dengan semuanya! Kembalikan saja kartun pagiku," keluhnya masam.
"Siapa lawannya?"
Alis Kairo tertaut. "Aku tidak tahu. Yang aku dengar, plat mobil itu sama dengan plat mobil Alexander Drew."
Daisy terdiam selama beberapa menit. Menyadari reaksi dari rekannya tampak berbeda, Rose mendesah pendek. "Drew dan reputasinya. Aku tidak menyangka kalau dia seganas itu di jalan."
Kairo menggeleng tidak setuju.
"Aku rasa, bukan Drew yang bertanding semalam."
Daisy memutar mata. "Kau yakin sekali? Bagaimana kalau benar dia? Kau tidak tahu, kalau Billionaire's Boy Club multitalenta? Yang aku dengar, Deomy Dwayne bisa bersepeda dari Tokyo ke Kyoto lewat jalur laut. Tanpa berpegangan pada stang sepeda."
"Ish, kau ini," sungut Rose masam.
Daisy menarik napas kasar.
"Aku beruntung karena menolaknya. Dia juga pantas mendapatkannya. Pria aneh dengan segudang masalah yang mengerikan."
Kairo bersidekap. Menatap sekeliling kafe yang sepi karena ini hari kerja. Dimana orang-orang sibuk bersama tumpukan kertas di meja mereka. Dan baru mampir setelah mendapat waktu luang.
"Aku terkadang miris pada diriku sendiri," ujar Rose tiba-tiba. "Mencari pria baik-baik, aku tidak mendapatkannya. Mencari pria sedikit nakal, aku menemukan jenis yang lebih dari nakal. b******k. b******n. Dan pembunuh hati perempuan. Kenapa kita menyedihkan sekali?"
"Aku semakin yakin kalau di kehidupan sebelumnya, aku adalah pengkhianat bangsa." Daisy menimpali dengan ekspresi murung.
"Kalau salah satu dari mereka mengajak kalian berkencan, apa kalian tetap bersikeras menolak?"
"Kami hanya ingin hidup normal," balas Daisy sarkatis. "Berkencan dengan mereka, sama saja kau mengorbankan privasimu. Media akan terus membuntuti. Belum lagi dari penggemar garis gila yang bisa bertindak aneh-aneh. Membayangkannya saja membuat kepalaku sakit."
Kairo mengangguk. Saat Rose mendesah pelan, memainkan rambut pirangnya. "Percuma dengan semua harta kekayaan. Kalau kau hidup dalam kebingungan. Kau tidak leluasa bergerak karena semua mata tertuju padamu."
Daisy membenarkan dan Kairo lagi-lagi hanya bisa menghela napas berat.
"Ah, sialan! Kenapa aku bodoh sekali," gemasnya pada diri sendiri.
Daisy mengangkat alis. "Kenapa?"
Rose menegakkan punggung. Berkacak pinggang dengan raut masam. Wajahnya tertekuk muram, menatap kedua sahabatnya dengan tatapan nelangsa.
"Pagi kemarin, sebelum duo racun itu datang, Bloom Orlan mampir untuk membeli kopi. Dia tidak duduk, hanya memesan dan berlalu."
"Lalu?" Kairo mulai tidak sabar.
"Dia meminta ponselku. Bermaksud meminjam. Karena dia bilang, dia lupa dengan pesanan kopi Rei Zico. Jadi, aku tidak berpikir panjang untuk meminjamkannya."
Daisy mengerutkan dahi.
"Kau tahu? Ternyata pria kardus itu menipuku. Dia tidak menghubungi Zico, tapi dia menghubungi nomor ponselnya sendiri."
"Apa begini cara pria jantan mendapatkan nomor gadis incarannya? Astaga dragon, murahan sekali. Aku mual mendengarnya."
Daisy mendengus. Menatap Rose dengan tatapan mencela. "Kau selalu meledekku karena kedua lututku lemas setiap kali berhadapan dengan sekumpulan pengikut satanis itu. Tapi, kau sendiri? Kau malah tertipu dengan trik murahan."
"Daisy!" Rose menjerit. "Aku memblokir nomornya. Yang paling penting, aku dan dia tidak berciuman."
"Sialan. Kenapa tiba-tiba membahas itu?"
Rose menunduk dengan mata menyipit tajam. "Jangan main-main denganku. Kau pikir, hanya kau saja yang alergi pada buaya darat? Aku juga! Siapa yang mau bermain bersama belut rawa seperti mereka?"
Kairo melerai dengan satu hembusan napas berat. Mendorong keduanya dengan gelengan kepala. "Sudah. Kalau begini, aku semakin yakin pada pepatah nenek moyang dulu."
"Apa?"
"Jodoh pasti bertemu."
Daisy mendesis. Bersiap bangun setelah melempar lap kotor ke wajah Kairo. Dan Rose menendang tulang kering pria itu, sampai Kairo meringis dan mengunpat pada kedua iblis jelmaan malaikat yang melarikan diri ke dapur untuk memindahkan pasokan s**u baru ke dalam teko.
***
Daisy nyaris tersedak churros miliknya sendiri saat melihat harga flat shoes cantik berwarna merah hati. Membuatnya meringis, dan berjalan mundur untuk tidak lagi melihat harga yang membuat jantungnya melorot jatuh.
Kairo baru saja keluar dari salah satu toko ternama. Bertulisakan Giorgio Armani yang mentereng. Saat pria itu menenteng salah satu bungkusan dengan raut congkak.
"Benar-benar," Daisy menggeleng. Masih menunggu Lively Rose yang tenggelam dalam salah satu toko busana dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri masa borosnya.
Karena malam ini mereka diperbolehkan kembali sebelum jam enam sore, Daisy memutuskan untuk berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan terbesar di Tokyo. Berniat hanya untuk memutar, berkeliling dan mencari beberapa benda lucu. Yang sayangnya, membuat dompetnya menjerit. Dia mungkin mampu membeli, tapi masih banyak yang harus ia pikirkan demu masa depannya.
"Kau tidak beli sesuatu?"
Daisy menggeleng. "Aku melihat harga sepatu cantik itu lima ratus dolar. Jantungku menjerit keras. Kalau aku masih berdebar sakit seperti ini, sepatu itu bukan untukku. Pasaran mereka bukan untuk kelas seperti aku."
"Cari saja yang lain."
Daisy menggeleng. "Aku ingin pindah dari apartemen lamaku. Aku butuh uang sewa lebih besar lagi. Aku harus menabung."
"Jadi, itu alasan kau hanya membeli camilan ini?"
"Aku ingin turun untuk membeli shihlin. Kau mau?"
"Aku sedang diet," balas Kairo bangga. Dan Daisy hanya memutar mata bosan.
Daisy kembali mengetuk sepatunya di atas lantai. Menunggu Rose dengan sabar. Yang menghabiskan nyaris separuh waktunya untuk tenggelam. Daisy tidak tahu apa yang gadis itu cari selain pakaian dalam dan celana ketat.
"Drew?"
Drew menoleh, menemukan ibunya tersenyum sembari mengendik pada salah satu sepatu yang terpajang cantik dalam etalase. "Mama menyukainya. Sayang sekali, itu tidak terlihat tidak pantas. Karena Mama terlalu tua."
"Mama bisa mencari yang lain."
Alexander Tari menggeleng. Kembali mencari-cari saat dia membiarkan putranya duduk dengan bosan. Menekuk wajahnya dan menarik napas.
Ponselnya berdering. Drew bangun dari kursi yang terbuat dari kulit buaya itu dalam diam. Mencari tempat yang lebih jauh untuk mendengarkan suara lawan bicaranya, dan terpaku selama beberapa detik menemukan sosok yang tidak asing sedang duduk bersama teman prianya. Tampak santai memakan churros keju di tangan.
"Ya Tuhan. Kalau saja harganya tidak lima ratus dolar, aku akan membelinya detik ini juga!"
Kepala Drew tanpa sadar menoleh. Menemukan sepatu berharga sama yang terpajang di dalam etalase kaca. Yang sebelumnya ditaksir sang ibu. Dan merasa berkelas karena lebih pantas dipakai oleh anak muda dibanding dirinya.
"Kau mau aku meminjamkan uangku untuk membeli itu?"
Kepala gadis itu menggeleng keras. Mendorong Kairo agar tidak keras kepala dengan memaksa akan membelikan kalau Daisy tidak mau menerima kebaikannya.
"Kau mau aku lempar dari lantai tiga ini, hah?"
Kairo meringis.
"Sekali tidak, tetap tidak!" Daisy kembali duduk. "Aku tidak miskin. Aku sedang menabung untuk tidak menghamburkan uang demi barang tidak penting."
"Sepatu itu penting," sahut Kairo masam.
"Oh, ya?"
Daisy mengangkat bahu. "Seingatku, yang penting adalah sandang, pangan, casan. Sepatu tidak termasuk."
"Terserah kau sajalah. Dasar aneh."
Daisy tersenyum lebar. Kembali menghabiskan churros keju miliknya dalam diam. Membiarkan Kairo berceloteh sesukanya dan Daisy akan mendengarkan sampai dia bosan.
***
Daisy tersentak saat dia baru saja kembali dari acara membuang sampah bekas botol kemarin yang belum sempat Kairo buang. Menemukan siapa yang baru saja turun dari mobil berbeda, kedua matanya memutar bosan.
Pemandangan Billionaire's Boy Club tidak lagi membuat lutut Daisy lemas seperti pertama kali. Kedatangan mereka malah berujung petaka. Daisy tidak tahu kesialan apa yang akan mengantri di depan pintu kamar apartemennya.
Daisy sempat berpikir akan berlaku jahat dengan memberlakukan harga mahal khusus untuk para buaya darat ini. Tapi, setelah berpikir panjang rasanya sia-sia saja. Karena mereka semua kaya, harga selangit pun bukan masalah. Kalau mereka bisa, dunia dan isinya akan mereka beli. Sayangnya, banyak yang setara dengan uang mereka. Bukan satu-satunya.
Daisy menarik napas. Menatap sinis ke arah Myoujin Laka dan Alexander Drew bergantian. Seakan siap memuntahkan semburan lahar panas, Laka sama sekali tidak terlihat peduli. Untuk kasus ini, Daisy berpikir kalau Laka telah memiliki kekasih atau gadis incarannya sendiri. Maka dari itu, dia tidak ingin bermain-main dan bersikap serius.
Ketika Laka masuk, hanya menyisakan Drew seorang diri. Yang menikmati apa yang ia lihat, tanpa memalingkan muka. "Kemana teman-temanmu yang lain?"
"Kenapa kau mencari mereka?"
Daisy mendengus. "Kalian seperti semut dan kepala suku, tidak bisa dipisahkan. Aku semakin lama merasa kalau kafe ini seperti sekolah. Seakan sudah menjadi keharusan kalian mampir kemari untuk absen," cibirnya jengkel.
Drew mendengus menahan geli. "Kau sepertinya tidak suka karena kami mampir kemari?"
"Dunia baik-baik saja tanpa kalian harus rajin datang untuk membeli kopi," ujar Daisy dingin. Melarikan tatapan matanya ke arah kalung salib pria itu dan tertegun. "Aku tidak tahu apa kau benar-benar pria berbakti pada Tuhan dan orang tuamu."
Alis Drew terangkat naik.
"Aku hanya punya ibu di rumah. Orangtua tunggal."
Tatapan mata itu merambat naik. Daisy menghela napas berat, berlalu masuk ke dalam kafe begitu saja tanpa membiarkan Drew berbicara lagi dengannya.
Bertemu dengan Laka yang duduk, menyilangkan kaki tampak santai dengan kopi di atas meja. Daisy mengernyit menatap pandangan biru pria itu tampk redup, lalu kembali berjalan ke dapur untuk mencuci tangan.
"Dia datang sendiri?"
Daisy menggeleng. Mengangkat alis dan mengintip Myoujin Laka yang duduk sendiri. "Tidak. Aku melihat Drew ada di depan kafe tadi."
"Serius? Kenapa dia tidak masuk?"
Daisy mengangkat bahu. "Mana kutahu? Apa mereka bertengkar? Berselisih paham?"
"Wah, aku pikir akan ada adegan kekerasan seperti yang kita tonton di Oricon malam itu," balas Rose sarkatis. "Kalau pun ada, aku tidak sabar ingin menontonnya secara langsung."
Kairo mendekat untuk menyenggol bahu Rose agak keras. "Kau gila? Mana mungkin mereka berkelahi di depan umum. Reputasi mereka dipertaruhkan."
"Oh?"
Daisy berbalik dari meja kasir. "Kalau mereka berpikir tentang reputasi, seharusnya mereka sadar diri dengan reputasi buruk sebagai penghancur hati perempuan."
Kairo memutar mata bosan. "Reputasi itu terkenal hanya pada DeomyDwayne. Selain itu? Tidak ada."
"Kalau aku tidak lupa, Bloom Orlan pernah tersangkut kasus karena mengemudi dibawah pengaruh alkohol. Lalu, Laka pernah bertengkar di depan umum. Itu sempat membuat geger satu publik."
Rose berdecak sembari menggeleng. "Aku berpikir mereka semua normal. Tapi, mengapa firasatku buruk tentang Myoujin Laka yang memiliki kelainan seksual?"
"Ya Tuhan," Daisy menutup mulutnya yang terbuka tanpa sadar. "Kalau bicara hati-hati. Dia bisa mendengar."
Rose menggeleng acuh. "Biarkan saja. Entah, dia terlalu tertutup dengan privasinya, atau memang ada yang ditutupi. Aku penasaran."
Kairo menghela napas.
"Semua anggota Billionaire's Boy Club pasti punya kisah mereka sendiri yang tidak tersentuh kamera media. Lagipula, seperti kita. Kita tidak mau kehidupan pribadi kita terusik. Begitu juga dengan mereka. Cukup menjadi diri mereka di lapangan, semua seleOrlan."
Daisy menahan napas kala menemukan pandangan biru langit Myoujin Laka mengarah pada meja barista. Kairo bergerak untuk mundur, berjongkok karena tidak tahan ditatap mata setajam itu. Sedangkan, Rose memilih untuk berbalik. Membiarkan Laka menatap rambut daripada matanya. Dan Daisy menggeleng miris, bersikap tidak peduli.
Daisy berdeham. Menatap mata biru membakar itu saat Laka bergerak mendekat dengan senyum ramah.
"Aku libur sampai satu minggu ke depan. Dan ini membosankan karena aku ingin sekali membunuh seseorang di atas ring sekarang," keluhnya dingin. Membuat ketiganya membeku.
Kairo bangun. Berpura-pura memperbaiki tatanan rambutnya.
"Kau bisa datang ke bar malam, cari masalah di sana. Mereka yang mabuk jelas akan mudah terpancing emosinya," balas Daisy asal.
Laka mendengus. "Berada di klub malam membuat kepalaku bertambah sakit," ujarnya dingin. Matanya menelusuri Rose dan Kairo bergantian. "Aku berpikir, efekku dan teman-temanku tidak berpengaruh pada kalian?"
"Sejujurnya, aku masih normal. Aku menyukai sepak bola, MMA, dan aku juga mengikuti jalannya balapan motor dan mobil. Tapi, aku masih tahu batas diriku untuk tidak menjerit setiap bertemu kalian. Sayang sekali, kedua sahabatku merasakan lutut mereka lemas saat pertama kali kalian datang."
"Ah," Laka terlihat berusaha keras menahan tawa. "Apa ini karena Alexander Drew? Atau Rei Zico?"
"Tidak keduanya," balas Rose datar.
"Kairo banyak membual. Ada baiknya, kau tidak perlu mendengarkan apa pun darinya."
Laka mendengus menahan senyum. "Baiklah. Aku bertanya-tanya apa alasan Drew tidak mau masuk dan memilih untuk kembali lagi ke rumah. Siapa yang dia hindari di sini?"
Rose mengangkat alis. "Mungkin, hanya perasaanmu saja. Tapi, kami tidak pernah membuat pelanggan tidak nyaman. Terkecuali, kalau mereka menyebalkan," ucapnya misterius.
Kepala kuning Laka terangguk dua kali. "Kau benar. Mungkin aku berlebihan. Karena yang aku lihat, kalian sangat ramah dan terbuka pada pelanggan lain, tapi tidak pada kami."
"Kami tahu bagaimana harus menempatkan diri," sahut Daisy datar. Mencoba menguatkan diri karena Myoujin Laka mencoba membela teman-temannya dengan menyudutkan mereka. Si pekerja malang yang merasa hidupnya terjungkal setelah kedatangan geng aneh ini.
"Baiklah. Sepertinya, reputasi kami tidak terlalu bagus di mata kalian. Aku tidak menyalahkan hal itu. Tapi, ada baiknya kalian mencerna baik-baik berita yang kalian dengar dan kalian lihat," Laka sedikit membungkuk ke arah meja barista. "Tidak semua yang media katakan adalah kebenaran. Mereka banyak melebih-lebihkan hanya demi keuntungan. Bisnis adalah bisnis. Tidak peduli reputasi siapa yang berusaha mereka bunuh."
Daisy terpaku diam. Begitu pula dengan Rose dan Kairo yang mendadak bisu.
"Kalau begitu, selamat siang. Aku sering datang bukan karena wajah ketus kedua barista cantik ini. Aku datang karena kopinya benar-benar enak. Ini pas dengan selera lidahku," Laka berdecak bangga. "Tempatnya cukup nyaman. Aku bisa memberikan nilai sempurna untuk tempat bagus ini."
"Sepertinya, tidak dengan temanmu yang lain?"
Laka mendengus dengan gelengan kepala geli. Kemudian, berjalan pergi membiarkan mereka termenung dalam diam.
"Aku rasa, dia mencoba meluruskan sesuatu. Antara kesalahpahaman, atau apalah itu."
Daisy mendesah panjang. "Entahlah."
"Media terlalu berlebihan hanya demi keuntungan?" Rose mengerutkan dahi. "Mereka mencoba menyalahkan media karena memberitakan berita buruk tentang reputasi mereka atau apa?"
Daisy menggeleng miris. Meraih dompet dalam laci dan mengangkatnya ke udara. "Aku akan pergi untuk mencari jajanan di depan kafe. Kau mau?"
"Sosis bakar."
"Aku ingin takoyaki dua porsi."
"Baik, akan aku belikan." Daisy melepas celemek hijau tuanya. Berjalan mendorong pintu kaca kafe saat dia tidak melihat adanya dua mobil mahal yang terparkir di halaman kafe. Selain hanya ada beberapa motor yang berbaris rapi.
Daisy mencari tempat untuk berjongkok. Menarik napas panjang guna menekan dadanya yang terasa sesak. Kalimat Myoujin Laka cukup membuatnya tertohok. Daisy tidak yakin, pria itu berkata seserius itu tanpa alasan.
Daisy berdecak samar. Menyadari kalau senyum Drew semalam menghantuinya sampai rumah, dan kembali tergambar jelas di dalam kenangan kepalanya, Daisy ingin mencari tembok untuk memukul dahinya dengan permukaan tebal itu. Sampai dirinya sadar dan kembali waras.
Tubuhnya meremang karena mengingat sentuhan kasar Drew di rumah sakit. Itu ciuman tidak terduga dan Daisy tidak ingin mengingat kenangan buruk itu. Terlebih, otaknya mulai tidak sinkron dengan hatinya yang bertolak belakang.
"Oh, kau di sini."
Daisy menahan langkahnya hendak menyebrang dan kembali diam melihat perempuan cantik yang sekiranya ada di tinggi yang sama dengannya, tengah berusaha keras menghalangi jalan masuk Drew ke mobilnya.
Perempuan itu memasang ekspresi dingin yang membuat Daisy bergidik. Merentangkan tangan agar Drew tidak bisa masuk ke dalam mobil mewahnya. "Aku belum seleOrlan denganmu."
Daisy pikir, akan ada adegan kekerasan. Tapi, yang ia dapatkan justru berkebalikan. Rahang Drew mengeras, bersamaan dengan sepasang manik gelapnya yang mulai memaku dingin. Daisy merasakan kedua mata itu bagai galaksi pekat yang tak memiliki ruang dan waktu. Benar-benar kosong tanpa ujung.
"Minggir."
"Cukup sudah Tari memperlakukanku seperti binatang, Drew. Aku tidak akan diam saja."
"Jangan bawa nama ibuku lagi. Kau seharusnya tahu diri. Siapa yang mengangkatmu sampai ke puncak. Sikapmu ini benar-benar menjijikan."
Daisy meringis. Memeluk dirinya sendiri saat dia lupa tujuannya keluar dari kafe untuk membeli camilan pengganjal perut.
"Kalau saja aku tahu kau punya kekasih, maka aku—,"
Daisy tersentak saat ponselnya berbunyi nyaring. Dering Both of Us melantun keras. Membuatnya membeku, terburu-buru mencari ponsel di dalam saku jaketnya dan bersiap mundur untuk melarikan diri.
Sialan, Kairo.
Daisy kembali menelan ludahnya kasar. Terpaku karena pasangan sejoli itu kini menatap ke arahnya. Satu jijik, satu lagi dingin.
Memilih untuk berpura-pura terbatuk keras, Daisy memukul dadanya sendiri dengan pelan, tersenyum malu pada keduanya. "Aku harus pergi untuk mencari obat batuk. Tidak sengaja terjebak di sini menunggu sampai lampu merah."
Bibirnya tanpa sadar mendesis. Menatap perempuan dengan dandanan mencolok yang menatapnya bagai kuman di dalam gorong-gorong.
"Kenapa menatapku seperti itu? Takut virus batukku menular padamu? Atau kau mau aku mencolok matamu?" Daisy meringis, membawa dirinya pergi dari hadapan pasangan aneh itu tanpa lagi melihat ekspresi dingin Drew yang perlahan-lahan luruh.
Menatapnya dengan pandangan dalam yang sulit diartikan.