Begin Again

3181 Kata
"Maaf. Tapi, kalung itu lebih menyegarkan mataku yang seratus persen terinfeksi polusi karbon monoksida di jalan raya." Daisy tidak tahu dimana letak kalimatnya yang salah. Karena sepasang iris kelam itu bagai lubang tidak berdasar. Membuatnya terpaku, dan berdeham untuk kembali fokus. "Ingin pesan apa?" "Kenapa lama sekali, Drew? Berhenti menggoda kasir seksi itu. Kemari!" Suara MyoujinLaka membuat Daisy tersinggung. Dia tidak merasa seksi sama sekali. Bokongnya tipis, tidak setebal LivelyRose. Bahkan, keduanya kalah dengan b****g lebar Regan Kairo. Si pria montok yang gemar menebar pesona pada pelanggan perempuan. Bermaksud untuk memikat, tapi berakhir dengan cibiran. Daisy mendengar dengusan samar. Lalu, Drew tidak lagi menunjukkan seringai nakal yang membuat lutut Daisy lemas. Seperti kedipan mata DeomyDwayne tadi. Para pria ini punya aura pembunuh hati perempuan yang harus dihindari. Status siaga satu akan Daisy terapkan jika menemui pelanggan predator yang berkamuflase menjadi manusia seksi. "Tiga cappucRose dingin. Tanpa gula dan es normal." Daisy menghitung semua total minuman yang telah ia hapal. Menyebutkan berapa total yang harus pesepakbola seksi itu bayar dan menerima kembalian. Drew kembali berbalik. Daisy menghela napas panjang. Memutar tubuh untuk berjongkok, merasakan dadanya berdebar dan kedua lututnya gemetar. "Daisy?" Rose berbisik setelah membungkuk. "Kau tidak apa? Melihat Drew dari jarak sedekat itu, nanti malam pasti mimpi basah." "b******k," Daisy mendesis. Mengusap celemek bertuliskan The Gold Coffee berwarna hijau tua dan mendengus. "Hati-hati kalau bicara. Mimpi erotisku hanya bersama Rei Zico." Mata biru itu memutar bosan. Kairo bergegas mendekat. Memberikan Daisy segelas air dingin dalam botol. "Katakan padaku manis, kalau kau tersinggung dengan salah satu pria kaya di sana, kau bisa memintaku untuk menyeret mereka pergi." Daisy bangun. Menerima botol itu dengan cibiran keras. "Kau perlu latihan keras satu tahun lagi agar ototmu setara mereka semua." Kairo memutar mata dan Rose terkekeh. Daisy menaruh botol itu di atas meja. Menyeka pelipisnya sendiri dan kembali menatap meja yang satu-satunya diisi dengan deretan pria tampan berdompet tebal. Paket lengkap yang membuat perempuan normal menjerit histeris. Tidak apa-apa b******n, asal tampan. Tidak apa b******k, asal tampan. Tidak apa gemar memukul, asal tampan. Persetan. Pria rusak kenapa harus dicintai? Daisy menunduk untuk merapikan lembaran uang yang berantakan. Memajukan bibirnya dengan masam, lalu melirik ke arah meja. Merasakan kembali dadanya bergemuruh karena menemukan tatapan dingin Rei Zico menusuk ke arahnya. Diikuti tatapan menilai tajam dari AlexanderDrew yang membuat jantung Daisy melepas turun ke lambung. Sialan! *** "Kau tidak mau bekas bibir Rei Zico?" Kairo meledek dengan mengendik pada minuman milik Zico. Membuat Daisy mencibir, membuang pandangannya ke arah parkiran yang semula penuh dengan mobil mahal. "Suka boleh saja, tapi tidak dengan meminum bekas ludah pria itu juga. Otakmu terjengkang, Kairo?" "Kapan lagi!?" Kairo berlebihan, membersihkan bekas minuman setelah mengelap meja. Mendekati Daisy yang duduk di dekat mesin kopi. "Dasar sinting!" Rose balas berteriak. Membiarkan pria itu pergi ke dapur untuk membuang sampah. Daisy memegang dadanya yang masih berdentam keras. Seringai nakal AlexanderDrew tidak mau lepas dari ingatannya. Dan tatapan tajam Zico benar-benar membuat Daisy mati rasa. Keduanya kombinasi yang bagus untuk membuat jantungnya berhenti berdetak. "Ya Tuhan, perkuat imanku. Amin." "Halah. Tidak perlu membawa nama Tuhan. Kucing bertemu ikan, mana menolak?" Kairo muncul dengan teko s**u yang baru matang. Saat melihat beberapa pelanggan muda yang duduk untuk bersantai. "Beruntung, mereka datang setelah sekumpulan pria seksi itu pergi. Coba kalau tidak? Ini kafe bisa berubah menjadi pasar." Rose menggeleng miris. Ingin memukul sahabatnya dengan gelas kaca, dan Kairo dengan gesit menghindar. "Berhenti, Lively. Aset berhargaku akan terluka kalau kau macam-macam." "Aku tidak peduli," balas Rose mencela. Perdebatan konyol di antara keduanya berlalu begitu saja. Kehadiran dua dementor itu berhasil menyedot jiwa Daisy sampai ke akar. Kakinya masih lemas. Seringkali melihat Rei Zico dari televisi, memandang sosoknya langsung membuat Daisy tidak berkutik. Yang tidak tanggung-tanggung, kehadiran Billionaire's Boy Club yang melegenda membuat Daisy ingin tenggelam dalam Samudera Pasifik sekarang. "Sebentar." Kairo mengangkat kedua tangannya. Menelisik Rose dengan tatapan menuding. "Selain Daisy, kau sadar kalau kau juga mendapat perhatian lebih?" "Siapa?" Daisy mulai tertarik. "Atlit volly seksi kita," Kairo menyeringai lebar. "Ah! Dwayne juga. Dia boleh menebar pesona pada Daisy, tapi sedari tadi dia menatap Rose. Mencuri pandang ke arah manusia berisik ini." Daisy meringis. "Jadi, tidak hanya aku yang merasa?" Kairo bingung. "Merasa apa?" "Kalau Drew dan Zico sejak tadi memandangiku?" Kairo jelas berusaha menahan tawa. Sedangkan Rose, menggeleng kecil sembari menepuk lengannya sendiri. "Sialan, Daisy. Semalam kau mabuk? Aku tahu Drew baru saja menggodamu. Notabene dia jarang sekali mau menggoda perempuan karena dia lebih senang menjadi pemeran utama. Tapi, lihat? Kau pasti bercanda." "Aku serius." Daisy menggeram jengkel. Kairo tertawa lepas. Menepuk bahu sahabatnya agak keras dengan gelengan kepala masam. "Terlalu lama sendiri, otakmu sedikit miring. Ini karena kau kesepian atau butuh teman tidur?" Daisy bangun. Tidak segan-segan memberi mereka pukulan keras sampai keduanya mengerang. Dan kembali ke meja kasir, menunggu sampai pelanggan lain datang. Daripada mendengarkan dua iblis yang sering melempar lelucon dibanding serius. *** Mereka baru benar-benar kembali selepas jam sebelas malam. Daisy merentangkan tangan ke udara. Setelah Kairo memeriksa semuanya di dalam dan siap untuk mengunci pintu, mereka baru bisa meninggalkan kafe yang sepenuhnya tutup dan gelap. Menyisakan lampu teras dan lampu parkiran yang menyala. "Kita harus cepat kembali sebelum hujan." Rose mendongak. Meringis membayangkan mereka akan basah sebelum sampai di apartemen. "Aku akan pulang dengan bis terakhir. Aku harus pergi ke supermarket. Persediaan mie instanku habis." Kairo memutar mata. "Besok masih bisa, kan?" "Aku lapar." Daisy menepuk perutnya dengan senyum. "Tidak ada yang bisa mengalahkan ganasnya orang lapar. Aku galak jika sedang lapar." "Yah, terserah. Ada supermarket dua puluh empat jam di dekat apartemenmu, kan?" "Hooh." "Ayo, kita pulang." Daisy berbalik. Menemukan bis yang berhenti di halte. Dia segera mengejar. Bersama Rose dan Kairo yang menyusul. Karena jam malam, bis tampak sepi. Mereka kedapatan tempat duduk. Melepas penat barang sejenak saat bis membawa mereka pergi menjauh. "Lututmu masih lemas?" Daisy berpaling dari deretan pohon penghijauan di pinggir jalan. "Tidak lagi. Senin nanti, aku berharap tidak bertemu mereka karena ini liburan musim." Kairo meringis. "Sumpah. Aku tidak tahu bagaimana bisa mereka datang ke kafe kita? Maksudku, tongkrongan mereka seharusnya lebih berkelas?" "Heh? Mereka juga manusia. Punya teman yang sering bergosip satu sama lain. Kafe kita membidik kalangan premium. Jelas saja kalau mereka datang." Daisy menghela napas. "Rose benar. Kalau saja kafe kita mengincar dompet anak sekolah, mereka tidak akan datang." Kairo menatap Daisy. "Daisy, kau seharusnya meminta tanda tangan Zico tadi. Kau terlalu gugup sampai nyaris salah mengembalikan." Daisy mendesah panjang. "Bagaimana bisa? Sekedar menatapnya saja kepalaku sakit." "Aneh," guman Rose. "Apa ini rasanya jatuh cinta? Dia sangat boyfriend-able sekali. Jantung ini menjadi tidak sehat." Daisy meringis. Memegang dadanya sendiri dengan kedua mata terpejam. Daisy turun lebih dulu. Dari mereka berdua, letak apartemennya hanya lima belas menit dari kafe. Melambai turun, Daisy menghela napas panjang. Memperbaiki ikatan rambut panjangnya dan berjalan masuk ke supermarket kota. Tidak memilih memakai troli, Daisy menarik keranjang. Langsung bergegas untuk membeli telur, daging cincang, dan jamur enoki. Sampai ke tempat aneka mie instan, Daisy tanpa berpikir membeli sepuluh rasa. Menatap keranjangnya yang penuh, dia tersenyum puas. "Ah, cokelat." Daisy berbalik. Terkesiap saat dia nyaris menabrak punggung tegap seseorang. Napasnya tercekat. Menemukan siapa sosok yang hampir dia tabrak. "Maaf." Daisy melarikan matanya ke arah kalung salib pria itu. Menahan napas saat Drew menunduk memperhatikan keranjangnya. "Kau belanja sebanyak ini?" "Ini bukan untuk sehari. Biasanya cukup untuk satu minggu atau kurang." Daisy heran. Kenapa dia harus menjawab? Dia melihat Drew membeli dua bir dan dua daging kemasan. Daisy mengernyit. Pria itu bisa memegangnya sekaligus tanpa perlu keranjang? "Kau melihat apa?" "Hm?" Daisy berpaling. "Kau membeli bir dan daging untuk apa?" "Makan." Daisy menghela napas. "Kau kelaparan di jam malam? Kenapa tidak memesan makanan cepat saji?" "Kenapa harus?" Daisy mengangguk skeptis. "Oke." Memilih untuk tidak berpura-pura melihat, Daisy beranjak ke barisan rak cokelat. Memekik kecil melihat banyaknya aneka cokelat, sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak boros. Mencari mana kebutuhan dan mana untuk camilan. Meski gajinya cukup sekali pun, Daisy punya target untuk menyisihkan uang. "Selamat malam." "Selamat malam," sapa Daisy ramah. Mendorong keranjangnya ke atas saat kasir menghitung totalnya. Kasir itu memekik kecil. Melihat Drew menaruh dua bir dan dua daging kemasan bersama dua lemon ke dalam keranjang Daisy. "Hitung semuanya." Daisy terkejut. Mengerutkan dahi saat dia melirik pria itu, dan tidak mendapat penjelasan apa-apa selain rautnya yang datar. "Totalnya menjadi tiga puluh delapan dolar." Daisy membuka dompetnya. Dan kalah dengan Drew yang mengulurkan kartu premium miliknya. Daisy menahan napas, mengira kartu hitam yang akan Drew berikan pada kasir, tapi ternyata tidak. "Bedakan plastik daging ini, dua bir dan dua lemon. Ini bukan milikku," kata Daisy. Menghentikan gerakan tangan kasir muda itu mencampur barang belanjaan mereka. Drew tidak lagi bicara apa-apa. Daisy berjalan menuju pintu luar. Menghela napas panjang dan memanggil pria itu yang tampak santai menuruni tangga. "Sebentar, kita belum selesai." Drew menoleh dengan alis terangkat. "Selesai? Aku tidak punya hubungan apa pun denganmu." Daisy memutar bola mata. Bergerak turun dengan bibir terkatup rapat. Berdiri di depan pria itu yang tingginya mengalahkan tinggi badannya. Daisy yakin, dia bukan kalangan kecil. Dia dan Rose ada di tinggi yang sama, seratus enam puluh sembilan. "Aku akan membayar belanjaanku. Karena aku tidak ingin punya hutang apa pun padamu." Daisy mengeluarkan dompetnya. Mengabaikan aroma parfum yang berasal dari tubuh pria itu. Entah, Drew dengan segala pesonanya yang memikat atau Daisy merasa malam ini dia terlihat cocok seperti eksekutif muda? Drew mendengus masam. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Simpan saja untuk nanti." Gerakan tangan Daisy terhenti. "Apa maksudnya?" "Aku tidak terbiasa membiarkan perempuan membayar. Aneh. Dan terkesan tidak jantan," balasnya acuh. Daisy benar-benar bingung sekarang. "Aku tidak pergi berkencan denganmu," gertaknya jengkel. "Aku akan membayar tiga puluh dolar. Untuk delapan dolar, anggap saja itu semua total barangmu." Drew mengangkat alis. Gadis ini benar-benar membayar. Mengulurkan uang padanya, dan Drew memilih diam untuk tidak mengambil tiga lembar uang itu darinya. Mendengus, Daisy bersikeras memasukkan uang itu ke dalam saku celananya. "Bye!" Gadis itu berbalik. Berjalan pergi meninggalkannya sendiri seperti pria i***t. Berjalan berbaur bersama kegelapan tanpa rasa takut. Saat Daisy merapatkan mantelnya, menerjang angin yang berhembus karena sebentar lagi hujan untuk sampai ke apartemennya. *** Daisy meringis. Menemukan hujan begitu deras melanda Tokyo malam ini. Beruntung karena ini jam tidur, banyak orang yang sudah terlelap dan tidak terjebak di jalan. Terkecuali pegawai kantoran yang lembur. Daisy melompat ke sofa barunya. Mengusapnya seperti anak sendiri dan tersenyum. Lalu, duduk di atas karpet untuk menyantap semangkuk mie instan bersama jamur dan potongan daging. Menuangkan segelas air dingin ke dalam gelas, siap menonton drama di tengah malam. Ponselnya berdering. Daisy membukanya dan menyalakan speaker agar makannya tidak terganggu. "Daisy! Kau sudah sampai rumah?" "Aku baru saja seleOrlan mandi dan membuat mie instan. Aku lapar sekali, ya Tuhan. Rasanya seperti mau mati saja," balas Daisy. "Minggu kita akan tetap pergi, kan?" "Tentu. Aku akan menemanimu. Kita akan makan malam di yakiniku? Tidak tempat lain?" "Tidak, tidak, tidak. Keputusanku bulat. Apa uangmu habis?" Daisy memutar bola mata. "Tidak. Kau tenang saja. Aku tidak seboros dirimu." Rose terkekeh geli. "Berhenti menyindirku kalau kau memang temanku, sialan." Daisy tertawa. Meminum air dingin dalam gelas dan menggeleng. "Sialan kau. Di dalam lingkar pertemanan kita, asas hakim-menghakimi akan terus ada." "b******k Kairo." Daisy terus tertawa. "Kudengar dari suara televisimu, kau menonton drama kacangan dibanding melihat berita olahraga. Siapa tahu idolamu ada di sana, kan? Terlibat skandal panas dengan para model majalah dewasa?" Bitch. Daisy memaki dalam hati. Daisy menggerutu dan Rose tertawa. Memakan mie dalam sumpit dan mendengus. "Kau lebih baik diam. Tidak ada berita bagus selain prestasi mentereng dari pria-pria muda ini." "Yah, bagaimana lagi? Pria dan seks tidak bisa dipisahkan. Lagipula, siapa yang menolak pesona mereka? Tampang ada, uang apalagi. Sayangnya, kaum jelata seperti kita seharusnya tahu diri." "Melihat mereka duduk di kursi kafe, sudah cukup membuat lututku lemas." "Para gadis akan bermasturbasi masal di dalam kafe kalau mereka datang." Daisy menahan pekikannya agar Rose menjaga mulutnya untuk tidak terlalu vulgar. "Bedebah." Rose tertawa. Mematikan sambungan telepon mereka dan melambai. Membiarkan Daisy menghabiskan makan malamnya sembari mendengar suara tangis membosankan dari layar televisi yang menyala. *** Daisy menunduk, menghitung uang di dalam mesin kasir dengan helaan napas panjang. Ini hari kedua setelah akhir pekan, tanggal merah yang membuat Daisy hibernasi sebelum bangun untuk menemani Rose belanja. Matanya melirik ke arah meja yang ramai. Suara tawa Dwayne begitu renyah. Sampai ke telinganya. Daisy meringis, mengintip apa yang Rose lakukan di saat Kairo pergi untuk buang air kecil. "Mereka datang lagi," Rose berbisik. Menggeleng kecil sebagai bentuk antisipasi. "Aku heran. Mau apa mereka datang?" "Tidak mungkin mencuri," balas Daisy asal. Salah satu laki-laki muda usia dua puluhan bangun dari kursi. Berjalan dengan seringai khas mendekati meja kasir. "Bisakah, aku memesan satu Green Tea Iced lagi?" "Tentu. Ukuran apa?" "Sedang. Tanpa gula dan es normal." Daisy mengangguk. Menekan tombol angka dan laki-laki itu membayar. Dia meninggalkan meja kasir, bersiap untuk membuatkan minuman saat tatapan laki-laki itu lurus pada rambutnya. Rose menggeleng kecil. Saat Daisy kembali, mendorong gelas itu bersama sedotan hitam dengan kedipan mata. "Nikmati minumanmu." "Terima kasih, cantik." Daisy mendengus. Memutar mata sembari mengusap telapak tangannya pada celemek. "Dia sepertinya player. Terlihat sekali dari tatapan mata." "Gadis di sana?" "Friends with benefit," gerutu Daisy. Terpaku mendengar suara tawa Zico. Ini pertama kalinya Daisy mendengar Zico tertawa secara langsung. Pria itu bukan jenis yang mudah tersenyum. Meski puluhan kamera wartawan membidik ke arahnya, Zico pengecualian. Dia terkesan misterius dan dingin. Seperti pria yang cepat bertindak dan sedikit bicara. "Ya Tuhan." Mendengar Kairo mengucapkan nama Tuhan, mereka menoleh pada pintu masuk. Daisy menggeram pelan, menggaruk pelipisnya saat keluar dari meja barista untuk pergi ke pintu kaca. "Kuberi kesempatan sampai hitungan ketiga untukmu lari. Kalau tidak, aku akan menyirammu dengan air bekas ampas kopi." Damian menggeleng. Pria berusia tiga puluh lima yang terinfeksi seratus persen p*******a. Banyak kabar berhembus di sekita pertokoan, kalau anak pemilik restauran laut itu ternyata pecinta sesama jenis. Tapi, Daisy tidak percaya semudah itu. Karena Damian datang ke kafe ini untuk menggoda para gadis. Agar mau tidur di apartemen bersamanya. Terkadang, melakukan pelecehan seksual yang berakhir damai. Sial. Daisy muak melihatnya. "Tenang dulu, cantik." Daisy mengerang jengkel. Dia bisa saja mendorong pria tua tidak tahu diri untuk pergi. Tapi, melihat siapa orang tuanya, Daisy tidak akan berani macam-macam. "Kenapa harus dirimu yang mengusirku? Apa Kairo tidak bisa? Ah, aku lupa. Dia itu perempuan, bukan pria. Tidak jantan." "Aku tuli. Aku tidak dengar apa pun." Daisy mendorong d**a itu menjauh. Meminta Damian untuk pergi sebelum dia berlari masuk, menutup pintu dan mengacungkan jari tengah padanya. "Pergilah ke neraka!" Saat Daisy berbalik, semua mata terarah padanya. Mendadak dia membeku. Senyum laki-laki yang memesan Green Tea Iced. Dan pada Dwayne yang memberikan seringai menawan. Tapi, tidak membuat Daisy terkesan. Lantaran Zico dan Drew sama-sama datar menatapnya. Pertunjukkan tadi tidak mengesankan mereka. Well, Daisy berlagak galak juga bukan untuk membuat mereka terkesan. "Biar aku tebak," Dwayne berhasil membuat Daisy berhenti melangkah. "Pria di luar sana sengaja mencari perhatian karena dua barista di sini sangat cantik. Benar?" "Dia penjahat kelamin," balas Daisy dingin. "Bukan karena kami." "Ah, tidak," Dwayne menggeleng. "Dia mencari perhatian padamu. Lain kali, kau hanya perlu memanggil keamanan setempat dan menyeretnya pergi. Semua urusan selesai." Daisy menggeleng dengan tatapan marah. "Kalau saja semudah itu. Kami sudah melakukannya berulang kali dan tidak ada harapan. Dia pria pembangkang." "Aku pikir, dia mantan kekasihmu." Daisy menatap Zico sekilas. Pria itu bicara setelah sekian lama. Daisy menelan ludahnya gugup, menurunkan sikap siaga dan berubah gelisah. "Tidak, bukan. Dia jelas bukan—," "—seleramu?" Daisy beralih untuk menatap sepasang iris kelam milik Drew. Dengan dengusan pelan, Drew memangku dagunya. Menatap lekat pada sepasang manik yang bersinar tegas dan rahang yang kaku. "Hah! Terserah aku tidak peduli!" Daisy berbalik. Tidak ada gunanya bermain-main bersama predator pembunuh hati perempuan macam mereka. Saat Daisy berlalu kembali ke meja barista. Dan Rose dengan baik menyodorkan segelas kopi dingin dengan ekstra banyak es batu. "Minum dulu. Kau bisa membakar bunga Daisy ini kalau kau marah." Rose merujuk pada rambut sahabatnya yang kusut. Terkadang, mengusir Damian perlu kemarahan besar. Rose pernah melempar pria itu dengan sapu, dan berakhir dengan lemparan batu yang membuat dirinya sendidi terluka. Dan Kairo, jangan salahkan mereka kalau Kairo terluka. Kairo terkadang jantan, tapi dia memilih untuk menghindari perkelahian demi nama baik. Daisy menghela napas. Memilih untuk menuangkan cream ke dalam wadah sampai tuntas. Dan baru membenahi rambut panjangnya yang kusut. Menggigit ikat rambutnya, membuat ikatan tinggi dalam satu waktu dan mengikatnya kencang. Kairo berdeham. Membuat Daisy menoleh ke arahnya. "Apa?" "Pemandangan bagus saat kau mengikat rambut. Mata gelap si seksi striker kita, tidak pernah lepas darimu." Daisy mendengus dengan cibiran. "Aku tidak pernah dengar ada gadis yang terlihat cantik saat sedang mengikat rambut. Kau melantur?" Kairo menggeleng. "Kau berbeda." "Mungkin, aku lebih pantas dengan julukan beauty behind the madness. Dibanding kecantikan itu sendiri. Sudah. Jangan pedulikan mereka. Kembalilah bekerja." Kairo kembali masuk ke dalam. Saat Rose memberikan dua gelas berisi cappucRose whipe cream pada dua gadis yang memesan dan memilih untuk pulang daripada duduk santai. Daisy kembali ke meja kasir. Menunduk untuk membuka tisu baru saat dia bangun, terkejut melihat Drew sudah berdiri di meja kasir. Dan meja yang sebelumnya dihuni dua manusia tampan lain telah pergi. "Kau butuh bantuan?" Drew menggeleng. "Aku sama sekali tidak terkesan dengan kebaikanmu," mengembalikan tiga puluh dolar uang milik Daisy. Daisy mencibir keras. Memberanikan diri menatap mata pria itu dingin. "Aku berniat baik karena tidak ingin punya hutang terutama pada pria sejenis dirimu. Jadi, aku ambil kembali uangku. Aku harap di masa depan, kau tidak akan membahas ini. Karena ini memalukan. Benar?" Daisy mengambil uang miliknya. Memasukkannya ke dalam saku celemek dan kembali berlalu. "Aku ingin pesan." Daisy mendengus dengan memutar mata. "Hazelnut Coffee Iced dengan s**u dan float." Drew kembali bersuara. "Ukuran sedang dan ekstra es." Daisy mengangkat alis. Menatap sekilas pria itu dan berpaling kembali ke mesin kasir. "Lima belas dolar." Drew mengeluarkan empat lembar uang dari saku celananya. Daisy menerima dalam diam, mendorong kembalian dan membuatkan pesanan pria itu sendiri dengan tangannya. Setelah menyodorkan tisu dan sedotan, Drew menegakkan punggung bersiap pergi. "Ambil saja. Itu untukmu." Daisy mengerutkan alis. "Hah?" Mata hijaunya bergantian menatap gelas dan Drew bergantian. Setelah mengerti, dia mengerang keras dengan gelengan kepala. "Dengar, aku tidak peduli apa yang coba kau lakukan. Tapi, untuk merayu dengan kopi kau jelas bukan orang pertama," kata Daisy masam. Drew membalas dengan senyum tipis. Seakan Daisy harus membunuh dalam-dalam dugaan bahwa raut datar adalah harga mati pria itu. "Aku tidak terkesan sama sekali." Drew mengangkat bahu acuh. "Aku membelikan itu tidak untuk membuatmu terkesan. Minum saja. Kau terlihat kehabisan tenaga setelah memarahi pria aneh tadi." Daisy menggaruk pelipisnya. Mendesah keras saat Rose baru saja muncul dari dapur. "Rose." Gadis pirang itu mendekat. Menatap Drew bingung dan sang sahabat bergantian. "Apa?" "Minum ini," Daisy mendorong segelas kopi untuk sahabatnya. "Pemain bola ini membelikan kopi untukmu." "Yang benar saja!" Rose terlihat terkejut. Dan Drew sama sekali tidak menunjukkan ekspresi berarti seperti tadi. Semakin masam terlihat kala menemukan Rose menarik gelas kopi itu untuk dia minum. "Kau puas?" Membiarkan Daisy tersenyum puas dan melambai riang saat pria itu pergi dengan perasaan menahan jengkel setengah mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN