chapter 2 - Kenangan kemarin

3147 Kata
Minggu hari dimana Tiffany benar-benar bebas dari rutinitas kesehariannya, tidak ke tempat Dojo, tidak ada masalah di restoran miliknya, serta tidak ada kegiatan lainnya. Namun hari Minggu adalah Hari sepesial dia akan berkunjung ke panti asuhan, tempat dirinya dulu hingga kini sebagai donatur tetap. Hawa dingin dan panas yang tak menentu membuat Tiffany menjatuhkan pilihan oufitnya ke sweatshirt cream dgan gambar bunga sebagai hiasan, jeans biru muda panjang menjadikan penampilan casual sederhana namun tubuh dibalut pakaian itu tetap menawan pemiliknya. Mobil sedan Honda berwarna merah miliknya, membelah jalan kota itu, hiruk pikuk macet serta lancarnya jalan sudah jadi rutinitas kesehariannya di jalanan kota besar, bersukur hari ini dia bisa langsung menuju tujuan tanpa hambatan. Memandang suasana jalan berkelok, di suguhi hamparan pohon rindang. Bad Romance lagu milik penyanyi wanita Amerika tersebut menjadi teman sepi di mobil sesekali ikut menyanyikannya di part high note walau pendengar Tiffany akan melihat dirinya berteriak asik tanpa mengikuti alunan lagu. Panti asuhan bunda kasih, tulisan besar tertera di papan, dekat gerbang masuk rumah ala peninggalan belanda menjadikan nilai estetik tersendiri, anak-ank berbagai usia tengah bermain dengan kawanan mereka, mobil mencolok baru memasuki halaman rumah panti membuat anak-anak berhamburan mendekati kendaraan baja itu. Tiffany melenggang keluar dari mobil, anak-anak panti memang sudah hafal wanita cantik itu langsung berhamburan menempeli Tiffany. " Kakak, kok lama sekali gak mampir," " Mbak Ffany repot ya, tapi jangan lupa sama Jamal ya mbak" kata anak lelaki berusia Kisar sepuluh tahunan itu. Sembari berjongkok serta merangkul dua sosok kanan kirinya adalah si kembar, Tiffany berujar. " Aduh adek-adek mbak Ffany kok lucu sih, emang gak nanyain mbak bawa apa" ungkapnya jail. Namun tak ada yang terlalu antusias mereka hanya tersenyum atau menggeleng. " Anya, gak minta kak Ffany beli barang buat kami. Kita semua gak papa kok kalau kak Ffany cuman mampir, kata bunda kak Ffany udah bantu buat Anya sama teman-teman makan udah cukup" Anya anak pertama menyambutnya tadi berujar bak orang dewasa di usiannya kini baru lima tahun, Tiffany memandang lainnya dengan wajah ceria. " Ya udah, ke dalem. Mbak bawa oleh-oleh, tolong bantu bawain ya" Serentak mengangguk gembira, membawa beberapa bungkusan, berisi makanan serta cemilan untuk anak-anak panti. " Loh! dek Ffany, kenapa gak bilang kemari biar pak Sapto bantuin bawa" Panik bunda Ani, pemilik yayasan panti tersebut, berlari kecil menyusul kedatangan Tiffany di dalam rumah. " Anak-anak, bawaannya mbak Tiffany tolong di bawa ke belakang ya. Setelah ini istirahat kalian semua, bunda sama mbak Ffany mau ngobrol dulu ya" titah bunda, di turuti sebagian anak-anak. " Yah, bunda. Kita masih mau main sama kakak" keluh anak tersebut cemberut. " Anya, kamu bisa main sama kakak Tiffany nanti, kan dia baru sampe. Biar istirahat dulu ya" ujar nya memberi pengertian pada gadis cilik itu. Maka dengan langkah ringan gadis kecil itu berjalan menjauh dari dua orang dewasa tersebut. . Suasana terasa hening, Tiffany menikmati lingkungan rumah panti, dirinya hanya terdiam sendiri di ayunan kayu, sosok wanita di pangil bunda terlihat tengah membawa nampan berisikan minuman serta snack. Bunda tersenyum maklum memangil Tiffany dari kejauhan agar mendekat ke beranda rumah sembari mengemil Wanita cantik itu bergegas mendekat, menyamankan diri duduk bersama bunda, wanita paruh baya tersebut sudah seperti ibu kedua bagi Tiffany. Pertanyaan sederhana serta hal-hal ngelantur khas anak muda curhat dengan kawannya Tiffany lontarkan percakapan mereka begitu asik sesekali menimbulkan gelak tawa ketika Tiffany melucu. " Astaga, anak-anak kan tadi kangen dengan mu. Pasti mereka mengira aku memonopoli mu" bunda melontarkan Kalimatan nya, baru ingat baru Minggu kemarin Tiffany mampir kemari dan menghabiskan waktunya bersama dirinya ia kena damprat anak-anak asuhnya, protes akan waktu minim di dapat mereka dengan kakak tercinta mereka. "Kita terlalu asik kayak nya Bun, ya sudah kita masuk saja. Mereka sepertinya selesai makan siang" Dua wanita itu berlalu dari sana, masuk di dalam hunian besar nan rapi, anak-anak polos itu terlihat riang mendapati kakak tercinta mereka hadir di sana. "Kak, ayok. Main sama adek" " Mbak Ffany sama aku" " Oii, kak Ffany tadi mau main sama kita" Tak banyak berbuat Tiffany hanya pasrah badannya di tarik ke-sana kesini, beruntung pak Sam pria dewasa di sana mengintrupsi kegiatan anak-anak, "biarkan kak Ffany main bareng kalian jangan di monopoli sendiri" " Baik pak " ucap mereka hampir serempak, Tiffany rasa pak Sam menjadi penolong baginya hari ini, sifat hubbel Tiffany memang memudahkan ia berbaur apalagi kecintaannya dengan anak kecil menjadikan dirinya favorit anak-anak di samping ia juga wanita paling sangar kalau di ring dan arena tanding, lupakan. Itu seperti aib baginya image anggun di bangunnya bisa raib melihat tingkah pecicilannya. "Tiffany mau menginap di sini?" " Ngak Bun, saya mau langsung pulang setelah ini" " Beneran gak papa, udah malam nih" " Udah ngak papa, Tiffany udah pamit anak-anak juga. Pergi dulu ya Bun" Dengan sopan Tiffany mencium tangan bunda serta berpamitan dengan pak Sam penjaga panti, mobil Honda merah itu kembali menembus dinginnya malam, terlalu asik bermain dengan anak-anak panti sempat membuat Tiffany terlena bahwa jam sudah mendekati Maghrib Lagu rock menemani perjalanan nya yang membosankan, hidup di kota membuat dirinya acapkali mendapati jalanan mancet. Mobil Honda itu masuk memarkirkan dalam perkarangan rumah kaki jenjang milik tifanny akhirnya menapaki rumah nya . " Sudah sampai, makan malam dulu yuk" Terlihat wanita itu tengah selesai mempersiapkan makan malam mereka, Tiffanny mengangguk menyamankan diri ke kursi. "Gimana anak-anak tadi fann?" Bunda memang biasanya ikut ke panti, kerepotan nya mengurus keperluan Restoran menjadi penghambat, tak mengapa, toh. Masih ada Tiffanny. " Anak- anak, sehat mah. Kapan-kapan kita mampir bareng ya, Mereka kangen loh." Bunda mengiyakan, raut wajahnya terlihat sedih tak bisa mengunjungi anak-anak asuhnya. Malam itu di habiskan obrolan ringan antara ibu dengan anak gadisnya, jam dinding menunjukan hampir pukul delapan malam. Tiffanny memilih berpamitan kembali ke kamar seusai membereskan peralatan kotor. 'brukk' Tubuhnya terlempar dalam empuknya springbad premium, Tiffanny terlentang melihat langit-langit kamar, hari ini ia merasakan di awasi. Terasa aneh sekali. Mobil merah di tumpangi Tiffanny terpaksa merasakan sedikit kendala mendapati mancet, kendati demikian suara musik dengan volume tinggi tak membuat Tiffany bosan. " Astaga, nanti pulang enak nya ngapain yah. Sparing aja deh." Monolognya Eh. Ekor Mata wanita itu menangkap pantulan mobil sedan hitam, tidak ada yang aneh dengan Mercedes Benz C200, wajar menemukan mobil mahal di jalanan. Keberadaan mobil itu selalu ada dalam setiap rute Tiffanny menjadikan sangat janggal. Seingatnya tak ada tetangga perumahan memiliki mobil type tersebut. " Masa tuh mobil ngikut terus?" Celetuknya mencoba mencairkan suasana. Tapi bukan hal yang tak mungkin juga kalau rute di ambil pengemudi sama dengannya, jalanan luas ini bukan miliknya. Tak niat se'uzon Tiffanny tetap menjalankan kendaraan miliknya menuju rumah, sesampainya ia mendapatkan sambutan hangat dari ibunya. Makanan malam terasa khitmad sembari membuka obrolan ringan mereka, pikiran wanita itu masih terus terbayang dengan hal janggal tadi. " Masa gua PMS jadi sensitif gini sih". **** " Tu.. wa... Ga...Tu..wa ." Sorakan penyemangat di lontarkan para anak lelaki pemain bola, mereka tengah pemanasan mengitari luasnya lapangan milik umum, Tiffanny barusan menyelesaikan pemanasan serta latihan fisik, ia duduk di pinggir stadion sembari melihat-lihat para penguna lapangan stadion itu. " Nih, buat kamu" gadis berambut sebahu itu memberikan sebotol minuman isotonik pada tiffanny. " Makasih ya" ia langsung menegak habis setengah isinya. "Tumben kamu latihan di lapangan gini, biasanya di tempat latihan" "Dulu aku suka di sini bareng ayah ku, dia yang ngajarin aku latihan fisik sampe aku bisa sampai kayak gini sekarang" Nana mengangguk sebagai balasan, ia tak tau harus merespon seperti apa. *** Suasana masih terbilang sepi untuk hari Minggu dimana akan banyak pengunjung stadion melakukan olahraga secara bebas di dalam lapangan kosong yang hanya membayar ketika ada acara sepak bola diadakan, namun dua manusia di sana sangat bersukur ketika mereka lebih leluasa memanfaatkan tanah kosong. " Ayah, fanny males. Ih, masa pagi-pagi bangunin cuman ngajak ke sini" keluh anak kecil itu, sembari menggerutu ia mengentak kan kaki, protes. " Fanny, kata nya mau sehat. Lagian kamu mau kan kayak ayah, jago banting orang" ujar pria itu sembari terkekeh melihat anak gadisnya menggerutu. " Iya Fanny mau, tapi langsung ajarin Fanny aja yah, gak perlu begini" " Yasudah" Yuda menjajarkan tinggi badannya menatap wajah lucu Tiffanny, " kalau bisa lari mengitari lapangan ini ayah belikan es cream tiga rasa, mau?" Tawarnya membuat anak itu mengangguk kegirangan. Satu putaran mengelilingi luas stadion masih bisa di lalui dua putaran masih dapat di lakukan tapi tiga, empat putaran tiffanny kecil sudah menyerah ia menyingkir dari tanah hijau melihat ayahnya masih dengan kuad melanjutkan larinya bahkan tiffanny telah kehilangan hitungan berapa kali ayahnya sudah mengitari stadion, lebih dari dua puluh kali mungkin. Yuda menghampiri bocah kecilnya yang tengah meminum air dari botol, melihat ayahnya datang dengan nafas terbilang stabil namun sudah di banjiri keringat kaus coklatnya pun terlihat sangat basah , Tiffanny langsung menyodorkan air mineral serta di sambut baik yuda. " Gimana asik nggak?" Tiffanny menggeleng menjawabnya, ia terlalu lelah untuk melakukan apapun. " Ya sudah ayah tetap belikan es buat kamu, tapi jangan bilang mamah ya" " Baikk!!" Sorak nya riang. . Keesokan harinya tiffanny menangis heboh membuat seisi rumah panik, ibunya bertanya ada apa gerangan pada diri anaknya, sembari menangis Tiffanny kecil mengadu bila tubuh serta bagian kakinya terasa sakit, di tengah kepanikan seroang ibu, Andini mendelik kesal mendapati sang suami malah berguling-guling di lantai sembari tertawa. " Mas, kamu gila!, Anak mu sakit loh." Dengan hati dongkol Andini melempar guling anaknya ke Yuda. " Aduh, aduh, maaf. Itu fanny ngak papa kok" sembari menenangkan istri nya ia mengaduh kesakitan walaupun tak sakit sekali mendapatkan pukulan dari bahan empuk, " tiffanny sayang, kamu gak usah kaget kaki sama badan mu itu gak kenapa-napa, otot kamu itu masih kaget belum biasa terlatih lari makanannya jadi begitu" sembari berdiri ia duduk di pinggiran ranjang putri mereka. " Kamu ngajak Fanny lari maraton" " Ngak maraton mah, masa fanny di suruh keliling stadion Deket kompleks itu" Ibu muda itu menggeleng, tak habis pikir anak serta suaminya sama-sama manusia heboh, apalah daya ia memang ditakdirkan bersama ayah dari anaknya itu. "Ya sudah kamu istirahat dulu, gak usah sekolah. Ayah, jangan sekali-kali bikin ulah" " Lah kenapa aku, emang kalau mau sehat harus banyak olahraga dong," Belanya tak terima di salahkan, ia juga ingin punya anak yang dapat meneruskan kariernya sebagai atlet kebanggaan bangsa, masih dengan menggerutu yoga mengekor pada Andini membiarkan tiffanny mengistirahatkan tubuhnya. . Walaupun awalnya sempat berhenti mengikuti kegiatan ayahnya dan hanya menjadi penonton ketika yuda tengah pemanasan, Tiffanny akhirnya ikut mencoba berolahraga seperti ayahnya walau tak seperti pertamakali, ia membuat progress luar biasa, setidaknya ia dapat mengitari lapangan lebih dari empat kali. " Bagaimana, tidak sesulit pertama kalinya kan?" Pria itu mengelus kepala Tiffanny dengan sayang melihat peluh membasahi serta nafasnya masih terputus-putus, belum terbiasa. " Lumayan yah, ngak secapek dulu" " Langkah pertama itu memang tak mudah, tapi yang tidak mudah itu akan menentukan masa depan kamu mau jadi kayak gimana. Lebih baik bodoh tapi rajin dari pada pinter tapi males apalagi sombong, orang bodoh kalau rajin bisa hidup kalau pinter tapi males bakal sulit hidupnya" Tiffanny kecil tak menyela ucapan ayahnya, kata-kata bijak seperti itulah menjadi pegangan hidupnya. " Ya sudah kita pulang yuk sudah siang" " Beli makan di pinggir jalan yuk yah" " Mamah kamu sudah masak di rumah" "Fanny bisa makan doubel, yang penting beliin bubur ayam di ujung jalan ya yah, ya.." rayunya sembari memberi tatapan memelas, Mana ada orang tua yang tega. " Ya sudah iya" pasrah nya, habis ini ia Kana di protes sang istri di rumah. *** " Yuk, Na. Kita cari bubur ayam" ajak Tiffanny, ia berdiri mendahului Nadia " Bayarin ya" " Iya beres, Lo numpang gue aja udah, kayak biasanya gua juga kan yang ngajak lu pagi-pagi ke sini" Gadis berambut pendek itu tertawa nyaring, memang Tiffanny adalah sohib nya paling suka melakukan sesuatu se-pontan, hanya wanita itu yang tiba-tiba di subuh hari mendatangi nya tanpa kabar sekedar mengajak lari pagi serta iming-iming bubur ayam gratisan. . Sesampainya memarkirkan mobil Honda nya, Tiffanny dengan semangat memesan dua porsi mangkok bubur buatan pak Toha, langanan keluarganya. Pria tua itu sudah hafal dengan Tiffany menyapa dengan ramah kedua gadis tersebut, mempersilakan sembari menunggu pesanan mereka Dari kejauhan pria paruh baya itu melihat Tiffanny tengah bercengkrama asik dengan temannya, pak Toha. Ia sudah hafal betul dengan ayahnya, sejak pertama kali buka, Yuda. Ayah dari anak itu adalah pelanggan pertama. *** Toha muda tengah menata dagangannya di gerobak kecil, Belum ada ruko dapat di sewa, masih belum punya banyak modal. Sejak beberapa hari lalu ia hanya memiliki sedikit pengunjung, mau menggerutu pun tak bisa seusai ia di PHK dari pabrik plastik, sambil tercenung Toha muda mengamati barang dagangan, masih cukup banyak dan hari kian siang, lebih baik pulang saja dulu. " Mas, beli Sop ayam satu" sebuah suara mengintrupsi kegiatan melamun pedagang itu. Toha muda mengernyit kan dahi, salah baca atau aku yang salah tulis, batinnya kebingungan akan pertanyaan dari pemuda dengan jaket tebal serta celana belel " Maaf, dek. Saya ngak jual sop ayam kalau bubur ayam memang iya" tuturnya memberi tahu Pemuda asing itu mengangguk angguk, Toha muda nelangsa membatin kalau pembelinya niat mengejek atau mengerjai dirinya sudah tak ada tenaga untuknya berdebat hari ini sama sekali tak ada pelanggan. " Ya sudah, kalau begitu, saya pesan tiga bungkus ya bang" Eh, beneran. " Ini beneran dek?" Yakin nya. " Iya, tiga buat di bungkus satu mangkuk di makan di tempat ya bang" anak itu langsung berjalan mendudukkan p****t ke kursi tersedia ia duduk di bawah pohon Hati penjualan itu sangat bersukur mendapatkan empat pesanan, sedang hari itu ia sama sekali belum menerima pelanggan. " Ini, dek. Mau sekalian minum nya" tawar nya. " Hehe," hanya cengengesan mendengar tawaran si penjual, ia sudah tak punya uang untuk membayar minuman, makanan nya saja dia beli berlebih "minumnya bisa di rumah" tolaknya halus, sembari menikmati makanannya Buburnya enak kenapa sepi ya, inernya " Di minum dek" penjual bubur tersebut menyodorkan segelas teh hangat kepada dirinya, " loh, bang. Saya kan ngak minta teh hangat" masa penjual nya budeg. " Ngak, perlu bayar dek, ini gratis buat pelanggan pertama hari ini" Anak itu mengangguk berterima kasih, memperhatikan mulut penuh dengan makanan. Seolah menjadi kebiasaan, yuda muda menyempatkan diri jika mampir ke gerobak penjual bubur ayam, terpaut umur cukup jauh tak membuat kedua pria beda usia itu canggung, yuda dan tiga muda berkawan lebih dari sekedar penjualan dan pembeli. Bahkan jika dagangan Toha laris yuda akan siap membantu menyajikan. Hubungan seperti adik dengan Abang nya. Belakangan yuda jarang mampir mengunjungi tempat jualannya, mungkin dia repot mengurus kuliah atau sedang sibuk kerja itulah isi pikiran pedagang muda tadi jika terbesit rasa rindu pada kawan karib nya. " Bang, gimana kabarnya" dengan gaya tengil minta di gampar, yuda muda datang ke pangkalan Toha, satu tangan sebagai sandaran gerobak usang sedang lainnya melepas kaca mata Rambo di kenakan nya, zaman itu kacamata seperti tokoh Rambo tengah populer di kalangan anak muda seperti dirinya. " Ya Allah, Yud. Masih hidup kamu" yang tadi berjongkok mencuci mangkok bubur ke bak milik nya spontan berdiri menyambut anak muda tersebut mereka saling merangkul melepas rindu seorang saudara yang tadinya hanya sekedar pelanggan dan penjual bubur. " Wih, ada mejanya sekarang" sanjung nya melihat meja panjang tertata di sana, bukan sekedar kursi-kursi plastik tiga biji ketika ia pertama kali mampir Kedua orang itu segera mendudukkan diri mereka ke kursi merah, masih kosong belum ada pembeli Toha muda dapat leluasa menemani pemuda tadi bercengkrama sembari memberi kabar. " Kalau mas bisa, mas pingin punya tenda buat jualan kaya orang jualan di Jogja gitu, angkringan gerobak" harapnya membayangkan. Yuda menggeleng sembari telunjuk bergoyang kiri kanan, menolak setuju. Toha muda mendekatkan kepala bulatnya ke arah yuda, " ngak pantes ya Yog? Iya sih cuman impian ku sih" katanya tanpa terdengar sedih. " Bukan gerobak kayak gitu bang, maksud ku. Abang bisa beli ruko atau buat warung makan yang jelas lebih gede" telunjuk yoga mengarah ke sebrang jalan, terdapat ruko-ruko berjejer di sana namun tempat di tunjuk yuda ada di pinggir ruko, rumah makan cukup besar bekas warung nasi Padang dulu. " Gila kamu Yud, mana ada duit segitu" Yuda terkekeh mendengar Toha muda terlihat malu-malu, Toha pergi sebentar kembali dengan membawa dua gelas es teh, yuda berterimakasih atas suguhan dari empunya dagangan. " Ya kan ngak papa bang, mimpi dulu siapa tahu jadi nyata" " Kira-kira segitu berapan harganya" " sepuluh jutan, kali" asalnya yang tak tau apa-apa. Masa itu sepuluh juta terbilang mahal mungkin jika pada masa kini hampir puluhan juta. Toha di buat merinding disko membayangkan kocek harus di bayar olehnya. " Ya udah atuh, jangan di pikir di kerjain aja bang" " Semoga aja Yud, eh. Ngomong ngomong kamu kemana aja? Gak nongol lagi ke sini, udah ada langganan bubur lain ya" goda bang Toha dengan wajah jail " Ya enggak lah bang, Abang kan satu-satunya di hati yoga. Yuda setia sama Abang" ujarnya dengan gaya sok gemulay, sial nya ada pembeli yang mau mampir langsung putar balik haluan mendengar percakapan kedua manusia berjenis kelamin jantan, tengah memadu kasih mungkin begitulah orang tadi menangkap kegiatan mereka adalah tindak asusila di muka umum. " Mbak... Eh, mba-" lesu Toha memangil wanita yang tak jadi beli. Ia yakin pelanggan tadi berfikiran yang tidak-tidak ketara jelas tadi ia menatap ngeri dirinya dengan yuda, manusia itu yang bikin orang salah paham. " Aduh Yud, jangan gitu ini muka umum nanti kalo di sebar gosip tak enak gimana" Oon atau memang tak tau situasi yuda menatap bingung malah kini tersenyum jahil menatap Toha muda, " kalau cuman berdua ngak papa dong bang" Toha hanya bisa mengelus d**a kalau gini, untung ia sabar. *** Kini sudah sekian tahun berlalu dan benar seperti kata yuda, kata-kata yang terdengar iseng dan ngaco malah menjadi kenyataan, ia dapat membeli Ruko di tunjuk pemuda tersebut, berawal dari menyewa hingga membeli tempat ia berdagang kini. "Ini mbak, bonus ayam nya banyak" Tiffanny tergelak tawa, pak Toha. Pria paruh baya itu selalu bicara dengan nada lucu terdengar lugu " Makasih pak, tau aja Fanny suka daging-dagingan". " Abis ini pulang aja, yuk" ujar Nana sambil menelan menunya. " Beneran nih? Gak mau jalan-jalan dulu" " Lo nyeret gua dari rumah, nyet. Belum juga sempet mandi. Lagian pacar gue mau ngapel nanti" bangganya, wajah Nana terlihat meledek manusia jomblo seperti Tiffany, wanita cantik itu hanya merotasi mata bulat miliknya, bosan. . " Mamah, Fanny! coming" teriakannya menggelegar ke penjuru ruangan, mamah beranak satu tadinya akan menyelesaikan acara mengepelnya sontak terganggu, ngomong-ngomong bukannya pelit, untuk ukuran orang berada seperti keluarga Tiffanny tak Punya pembantu, hanya ingin mandiri, itu prinsip Andini semenjak menikahi ayah Tiffanny. " Jangan bikin jantungan dong" omel mamah menghampiri anak gadisnya, sepertinya hanya dia sendiri sibuk protes, Tiffanny masih dengan santai selonjoran di sofa. " Ini, Mah" menyodorkan bungkusan dengan harum masakan menguar, Andini membuka bungkusan dari Styrofoam, bubur ayam. Ia menyuap bubur ayam tadi, rasa khas di hafal nya. " Dari tempat Bang Toha?" Tiffanny tersenyum sebagai jawaban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN