"Wa, cepet bawa minumannya ke sini! Para tamu sebentar lagi datang!" titah Bu Ratno, ibu mertuaku.
"Iya, Buk," jawabku yang dari tadi sibuk mengangkat tumpukan piring untuk hidangan para tamu.
Hari ini adalah hari pertunangan Risma, adik iparku. Istilah orang Jawa "sisetan". Katanya dia akan menikah dengan pengusaha properti kaya raya. Aku sedari subuh sibuk membantu Bik Lastri, ART kami, menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut kedatangan mereka.
Aku bergegas mengambil sewadah besar penuh sop buah yang sudah kusiapkan, lalu membawanya ke depan. Berulang kali aku menyeka keringat, karena belum beristirahat sedetikpun dari subuh.
"Jangan lupa, gelasnya juga kamu taruh sini, ya?" perintah ibu mertuaku lagi.
Aku mengangguk, lalu bergegas ke belakang untuk mengambil yang dia minta. Dalam perjalanan ke dapur, kulihat Mas Indra, suamiku, sudah berpakaian rapi bersiap menyambut tamu yang datang.
"Dek, Risma manggil kamu, tuh. Butuh bantuan dandan," titahnya.
"Tapi kerjaanku masih banyak, Mas," jawabku.
"Bantu Risma dulu, kasihan sebentar lagi calon suaminya datang," ucap Mas Indra lagi.
Aku membuang napas, lalu mengangguk. Aku bahkan belum sempat mandi. Bagaimana nanti aku akan ikut menyambut tamu?
Aku berjalan menuju kamar Risma. Risma terlihat sudah berdandan sangat cantik dengan balutan kebaya modern berbentuk gaun.
"Mbak, untung Emak cepet dateng. Tolong bersihkan sepatuku, dong, Mbak," katanya begitu melihatku.
"Loh, bukannya kemarin kamu beli yang baru, Ris?" tanyaku.
"Aku salah beli ukuran, Mbak. Gak nyaman banget dipakek. Aku mau pakek yang kubeli seminggu yang lalu aja," ucapnya.
Aku membuang napas, lalu pergi ke ruangan yang ada di sebelah kamarnya. Di ruangan itu penuh dengan berbagai macam gaun, tas dan sepatu mewah yang berjejer. Maklum, Risma adalah artis terkenal yang sedang naik daun.
Aku mengambil sepatu miliknya. Sejak dia jadi artis, sudah menjadi tugasku untuk menyiapkan segala sesuatu keperluannya. Katanya belum menemukan asisten yang bisa dipercaya, jadi lebih enak meminta bantuanku.
Setelah kubersihkan, aku memberikan sepatu high heels itu padanya.
"Pakein dong, Mbak. Nanti gaunku kusut," perintahnya lagi.
Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu memakaikan dia sepatu itu. Batinku perih, karena adik ipar yang seharusnya menghormatiku memperlakukanku seperti pembantunya. Aku hanya bisa bersabar saja.
"Najwa!"
Belum selesai aku memakaikan sebelah sepatu Risma, terdengar suara ibu mertuaku berteriak-teriak memanggilku.
"Iya, sebentar, Buk!"jawabku, sambil cepat-cepat menyelesaikannya.
Setelah selesai aku bergegas ke depan, menemui Ibu mertuaku.
"Kamu kemana saja, sih? Bukannya Ibuk menyuruhmu mengambil gelas minuman?" omelnya.
Aku hanya diam tak menjawab, percuma menjelaskan. Aku sudah sangat terbiasa dengan itu semua.
"Setelah menyiapkan gelas, kamu stand by di dapur. Nanti kalau para tamu butuh sesuatu kamu harus siap," ucap Ibu mertuaku lagi.
"Tapi, Buk...."
"Tapi apa? Bik Lastri akan kerepotan kalau sendirian! Lagian kamu gak perlu ikut ke acara, bisa malu-maluin suamimu nanti."
Aku langsung terdiam. Malu-maluin? Ya Allah, segitunya mereka.
Beberapa saat kemudian di luar sudah terdengar suara beberapa mobil berdatangan. Para tamu calon besan sudah datang. Mereka membawa berbagai macam seserahan. Lagi-lagi aku yang repot mengurus semuanya.
Ibu mertua dan suamiku langsung menyambut mereka dengan ramah. Memang benar-benar keluarga Sultan, terlihat dari penampilan mereka.
Risma juga menyambut keluarga besar calon suaminya itu, dan mengiringi mereka masuk ke dalam rumah. Ibu mertuaku bergegas mendekatiku yang masih sibuk mengurus barang-barang seserahan.
"Najwa, cepat kamu ke dapur sana," bisiknya.
Aku mengangguk, lalu perlahan berjalan menuju dapur. Masih bisa kudengar mereka semua saling berbicara.
"Loh, ini kakaknya Risma?" tanya calon besan ibu mertuaku sambil menunjuk ke arah Mas Indra. "Apa sudah menikah? Di mana istrinya?"
"Belum, Jeng," sahut ibu mertuaku. "Dia masih mau fokus berkarir, mau adiknya yang menikah duluan."
Mas Indra tampak mengangguk sambil tersenyum, mengiyakan perkataan ibunya.
Astaghfirullah, perih hati ini Ya Allah. Selama ini aku dianggap apa? Dengan hati hancur aku melangkah menuju dapur. Aku duduk bersandar di samping jendela, melepas kepenatan. Masih terdengar suara para orang kaya itu berbicara dan tertawa. Sesaat kemudian, gawaiku berdering. Aku segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, apa benar ini Nona Najwa Saraswati?"
"Benar, Pak," jawabku.
"Kami sudah melihat desaign yang anda kirimkan, dan kami tertarik. Kami berniat mengontrak Anda. Sebagai jaminan dan uang muka, kami akan segera mentransfer uang 500 juta langsung ke rekening anda."
Alhamdulillah ya, Allah, ternyata hasil usahaku yang kutekuni tanpa sepengetahuan suamiku dan keluarganya membuahkan hasil! Aku akan bangkit, aku tidak mau hidup seperti ini terus!