Seorang gadis cantik tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, sudah dua jam matanya tertutup dengan tenang, seakan-akan ia sangat enggan untuk membuka kedua bola matanya.
Kedua orangtua yang terlihat begitu khawatir menatapnya, air mata jatuh di pelupuk sang bunda, ketika ia melihat keadaan buah hatinya yang kini tengah terbaring tak berdaya." Sudahlah mah, anak kita sudah baik-baik saja sekarang, dia hanya perlu istirahat." Pak Satrio menenangkan istri tercintanya, padahal ia sendiri sangat mengkhawatirkan keadaan putri bungsunya itu.
"Tapi pah, anak kita hampir saja kehilangan nyawanya, gimana mama tidak khawatir pah,?" Mama Gisel berucap dengan deraian air matanya, sungguh ia sangat takut kehilangan putri bungsunya itu.
"Kita harus sabar mah, kita berdoa kepada Tuhan, semoga Cristy segera sadar." Pak Satrio memeluk tubuh sang istri, ia berusaha untuk menenangkan istrinya.
Mama Gisel tidak menyahut, ia hanya menangis dalam pelukan suaminya, ia benar-benar tidak bisa membayangkan jika dirinya harus kehilangan putri bungsunya tersebut.
***
Markas Deadly Devil.
Disinilah Arga berada, ia tengah duduk di kursi kebesarannya dengan tangan yang menjepit sepuntung rokok, matanya menerawang jauh entah kemana, " Sudahlah istri orang tidak pelru kau pikirkan lagi." Tiba-tiba terdengar suara menyebalkan dari arah belakang, Arga menoleh sambil memberikan tatapan matanya yang tajam.
"Ck ... Sejak kapan lo disana.?" Arga berucap sambil melangkahkan kakinya menuju sofa, ia menatap sahabat sekaligus anggota gengnya. Dia adalah Rama Giornino laki-laki tampan berusia 32 tahun, ia sahabat Arga sedari kecil, namun karena urusan keluarganya, Gio pindah ke luar negeri dan menetap disana, hingga suatu ketika mereka di petemukan kembali ketika kedua orangtua Gio meninggal.
"Gw baru saja tiba," Gio berjalan menghampiri sahabatnya." Gw denger lo di jodohkan sama Teresa putri kesayangan om Satrio?"
"Tau darimana lo.?"
"Sony yang memberitahukan gw."
"Sudah gw duga ..."
"Jadi, apakah lo akan menerima perjodohan itu.?"
"Tanpa lo tanya, lo pasti tau jawaban gw apa."
"Menurut gw, sebaiknya lo terima saja."
"Kalau lo mau, lo boleh ambil."
"Ck ... Sory gw tidak suka barang milik teman."
"Sialan, lo pikir gw mau menerima perjodohan ini.?"
"Santai bro, daripada lo memikirkan istri orang yang sudah bahagia, lebih baik lo pikirin diri lo sendiri, sampai kapan lo akan terus seperti ini Jay?, umur lo udah 35 tahun, dan lo masih saja terbelenggu dengan cinta pertama lo itu, ck .. Benar-benar menyedihkan."
"Daripada lo mikirin masalah pribadi gw, lebih baik lo pikirin diri lo sendiri," Ucap Arga sambil sesekali menghisap rokoknya, " Sialan." Arga mendengus kesal ketika dirinya kembali mengingat kejadian tadi.
"Ada apa lagi.?" Tanya Gio yang menyadari perubahan wajah sahabatnya.
"Bos, penyerangan kali ini ada hubungannya dengan geng Cobra, mereka sudah merencanakan semuanya untuk menjebak dan membunuh anda." Sony tiba-tiba datang membawa informasi untuk bosnya.
"Geng Cobra?," Arga menyeringai menakutkan, akhirnya ia bisa melampiaskan emosinya." Baiklah kita berangkat ke markas mereka sekarang." Ucap Arga sambil mematikan puntung rokok yang tinggal setengahnya.
"Ba ..."
"Tunggu dulu, kau sudah memeriksa gadis kecil itu Son.?" Tanya Arga menyela ucapan Sony.
"Maafkan saya .."
" Ck .." Arga berdecak kesal." Cari tau secepatnya, kau harus menemukan gadis itu Son. Mengerti" Perintah Arga mutlak tak terbantahkan.
"Mengerti bos." Sony hanya mampu menuruti perintah sang bos, kali ini ia harus benar-benar menemukan gadis itu, bagaimanapun caranya.
"Siapa yang lo maksud Jay.?" Gio yang sedari tadi diampun sangat penasaran.
"Gadis yang tidak sengaja gw tembak." Jawab Arga dengan rasa bersalahnya.
"Astaga ... Bagaimana bisa.?"
"Mmm bos, apakah kita jadi berangkat sekarang.?" Tanya Sony mengalihkan pembicaraan mereka berdua.
"Baiklah kita berangkat."
"Hey lo belum menjawab pertanyaan gw."
"Lo mau ikut atau lo duduk disini."
"Sialan ... Gw ikut, gw penasaran siapa pemimpin geng Cobra yang berani memprovokasi iblis macam lo."
"Siapapun itu, malam ini akan gw pastikan mereka menikmati kematiannya."
"Ngeri gw."
Arga tidak menyahuti, ia berjalan dengan langkah kakinya yang cepat, sungguh ia tidak sabar untuk memberikan pelajaran kepada geng Cobra yang sudah berani memprovokasi dirinya.
***
Dua hari kemudian, keadaan Cristy jauh lebih baik dari sebelumnya, ia kini tengah memakan sepotong buah apel yang sudah di kupas oleh sang mama, meskipun perutnya sedikit masih sakit akibat tembakan dua hari yang lalu, namun Cristy tetap tersenyum ke arah sang mama.
"Mah kapan aku boleh pulang.?" Tanya Cristy dengan lembut.
Mama Gisel menghentikan kegiatan tangannya yang sedang mengupas buah apel, kemudian ia menatap anak kesayangannya dengan dalam." Tunggu sampai kamu benar-benar sembuh sayang," Ucap Gisel kembali mengupas buah apelnya.
Cristy menghela nafasnya dengan pelan, ia sungguh sudah merasa bosan berada di rumah sakit." Mah aku sudah tidak apa-apa kok, lukaku juga sudah sembuh."
"Sayang kamu habis melakukan operasi, bagaimana mungkin lukamu sembuh secepat ini?, sudahlah sayang, kamu jangan keras kepala lagi, tetaplah disini sampai lukamu benar-benar sembuh. Mengerti."
"Tapi mah, aku bosen .."
"Cristy jangan keras kepala, kamu tau betapa khawatirnya mama sama papa ketika mendengar kamu masuk rumah sakit akibat terkena tembakan.?" Dengan ucapan lembutnya mama Gisel berbicara, ia menatap sang anak yang terlihat bersalah karena waktu itu tidak mendengarkan ucapan sang mama.
"Maafin Cristy mah, kalau saja waktu itu, Cristy tidak ngotot untuk pergi ke .."
"Sudahlah sayang, semuanya sudah terjadi, mama harap kamu tidak lagi melakukan hal yang membahyakan nyawamu sendiri, dan mama minta, kamu jangan lagi pergi ke tempat berbahaya itu lagi. Mengerti."
Cristy menganggukkan kepalanya, ia memeluk sang mama dengan erat. " Kak Tere gak kesini mah.?"
Gisel melepaskan pelukannya," Kakak kamu itu sibuk sayang, sekarang dia lagi ada pemotretan di Bali, mungkin besok lusa dia pulang."
Cristy tersenyum lembut," Yasudah mama pulang saja, aku gak apa-apa kok sendiri disini mah."
"NO sayang, mama akan menemanimu disini."
"Mah ... Mama juga perlu istirahat, disini juga ada perawat mah, jadi mama tidak perlu mengkhawatirkan aku."
"Tapi sayang..."
"Mama please ... Mama pulang ya, mama istirahat dulu di rumah, besok mama bisa kesini lagikan." Cristy memotong ucapan sang mama, ia tidak ingin membiarkan sang mama terus menerus mengkhawatirkan dirinya.
Gisel menghela nafasnya dengan kasar, ia sendiri memang merasa sedikit kurang enak badan." Baiklah sayang, mama akan pulang, dan besok mama pasti akan datang lagi kesini ok."
"Iya mah, mama hati-hati di jalan ya."
Gisel memeluk tubuh anaknya dengan hangat,kemudian ia melepaskannya dan mencium kening putri bungsunya itu." Iya sayang, kamu juga istirahat ya."
Cristy menganggukan kepalanya sambil memperlihatkan senyuman cantiknya, setelah itu Giselpun pergi melangkahkan kakinya keluar, sementara Cristy kembali memejamkan kedua bola matanya guna untuk menghilangkan trauma kejadian yang di alaminya dua hari yang lalu.
Baru saja Cristy memejamkan kedua bola matanya, tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah pintu, Cristy membuka kedua bola matanya, ia menatap dua mahluk yang sudah mengganggu ketenangannya." Kita ganggu ya Crey.?" Tanya Stela sahabat Cristy.
"Hmm kemana aja lo Stel, lo baru nongol.?"
"Santai dong Crey, gw baru pulang dari Bali nih, dan sebagai sahabat yang baik hati dan tidak sombong, gw langsung mendatangi lo kerumah sakit."
"Ck ... Yayaya terserah."
"Maafin gw sayang, gw kan udah ada disini, jadi lo jangan kesel lagi ya." Rayu Stela sambil mencium kening sahabatnya.
"Iya gw gak marah kok."
"Ekhm .. Gw di kacangin dari tadi." Jastin berucap sambil memperlihatkan wajah cemberutnya.
"Kedua wanita cantik itu terkekeh dengan pelan," Jastin muka lo gak lucu kalau lagi cemberut,"Ucap Stela dengan santainya.
"Jangan ngajak berantem, gw gak mood." Jastin mendengus kesal ke arah Stela sahabatnya, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Cristy." Bagaimana keadaanmu Crey?, sudah baikan?, apa masih ada yang sakit?," Tanya Jastin terdengar begitu lembut.
"Gw udah baik-baik aja kok, lo udah balik aja, bukannya seharusnya lo pulang minggu depan ya.?" Tanya Cristy sambil mengernyitkan keningnya, karena yang ia tau, Jastin sedang melakukan perjalanan bisnis bersama asistennya keluar negeri.
"Yaelah lo gak tau aja, kalau si Jastin in ... Emmh." Stela menggeram kesal, ia belum sempat memberitahukan alasan Jastin yang pulang lebih cepat dan meninggalkan pekerjaannya demi sahabatnya Cristy.
"Emm kerjaan gw sudah selesai kok Crey, makannya gw pulang cepet." Jastin membekap mulut lemes sahabatnya, ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya pulang sebelum kerjaannya kelar, bisa-bisa dia mendapat ceramah yang panjang dari Cristy sahabat sekaligus kekasih hatinya.
Cristy hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti, sedangkan Stela mendelik kesal ke arah Jastin yang sedang menatap Cristy dengan intens.
"Kalau suka kenapa di pendam, di sosor sama orang aja baru tau rasa." Tiba-tiba saja Stela berucap seperti itu, ia sungguh sangat geregetan dengan sifat sahabatnya itu yang menurutnya terlalu mengulur waktu untuk mengungkapkan perasaannya kepada Cristy.
"Lo kenapa Stel?, kok lo tiba-tiba ngomong gitu?," Tanya Cristy yang tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya.
"Jangan di dengerin Crey, dia itu lagi nunggu di tembak sama gebetannya." Jastin berucap sambil menatap kesal ke arah Stela." Si Maemunah satu ini, gak bisa jaga bacotnya." Batin Jastin kesal.
"Beneran Stel,?"
"Jangan di percaya ucapan si Bambang satu ini, jelas-jelas dia yang mau menyatakan perasaannya..."
"Jangan becanda Stela gak lucu."
"Dih apaan sih Jas, gw lagi ngomong lo maen bekap aja." Stela mencebikan bibirnya dengan kesal.
"Jadi Jastin sudah punya orang yang dia sukai?, hmm ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan ya." Cristy membatin dengan kecewa, ia sendiri memendam perasaan lebih terhadap Jastin sahabat kecilnya itu." Sudahlah kenapa kalian tidak pernah akur sih?, lagian gak ada salahnya kok kalau Jastin menyatakan perasaannya kepada perempuan yang di cintainya Stel."
Bersambung.