Say it louder

1486 Kata
Asha menatap ayam geprek miliknya dengan mata berbinar, seolah lupa dengan kejadian yang sempat menghebohkan seisi aula beberapa saat lalu. Sepanjang perjalanan menuju kantin, telinga Asha sudah kebal dengan para mahasiswa yang asik berbisik-bisik. Bahkan, sebagian orang tak segan untuk berbicara dengan lantang tentang kelakuan Asha yang mereka nilai sangat berani dan tidak tau malu tentunya. Namun, ada sebagian juga yang beranggapan bahwa Asha hanya ingin mencari sensasi saja. Ia sama sekali tidak mempedulikan gunjingan tersebut. Karena sekarang, urusan perutnya-lah yang lebih penting. “Gue yakin kalau kak Mahesa itu baik,” Celetuk Asha di sela-sela kegiatannya mengunyah makanan, hingga membuat lelaki yang ikut makan di hadapannya tersedak. Brian menatap Asha tak percaya. Setelah kejadian Mahesa yang hampir menjambak rambutnya tadi, sekarang gadis dengan senyum manis itu berkata bahwa Mahesa adalah lelaki yang baik. Padahal, perilakunya sangat tidak pantas untuk disebut dengan laki-laki baik. "Kalau menurut lo baik itu kayak kak Mahesa, berarti gue udah berada jauh di atas level orang baik, Sha. Otak lo butuh perbaikan sedikit kayaknya," komentar Brian kembali fokus dengan seporsi makanannya. Tidak mempedulikan tatapan mengejek beserta cibiran dari lawan bicaranya. Tak berapa lama kemudian. Lain kali, agaknya Brian harus lebih sering mengingatkan Asha agar lebih cepat menghabiskan makanan, dan tidak membuang waktu untuk membicarakan orang lain. Dengan berat hati, karena harus kembali berkumpul di aula setelah mendengar suara interupsi dari toa kantin, Asha harus meninggalkan ayam geprek yang masih tersisa setengah. Deru nafas yang tersengal-sengal jelas terdengar, hampir seluruh mahasiswa berlari dari kantin menuju aula yang terletak di lantai dua. Baru 15 menit mereka bisa mendapatkan udara segar dan keluar dari suasana yang mencekam, sekarang mereka kembali menghadapi wajah senior yang terkesan sangat jauh dari sifat ramah. Di barisan depan, telah berdiri Mahesa bersama 2 anteknya, Banyu dan Yeremias. Ketiga lelaki itu menatap angkuh dengan kedua tangan di belakang. Layaknya algojo yang sudah siap mengeksekusi para mahasiswa baru. “Saya minta kalian untuk mengumpulkan 750 tanda tangan dalam waktu 3 hari,” ujar Mahesa tanpa basa-basi. Sontak semua mahasiswa terkejut setelah mendengar perintah dari lelaki tersebut, termasuk juga dengan Asha yang kini membuka mulutnya sambil menampilkan ekspresi tidak percaya. Dengan cepat ia mengangkat tangan sembari berdiri. Seakan lupa bahwa Mahesa sempat membuatnya ingin menangis tadi. “Ashafa ID 0067. Maaf, Kak, saya rasa waktu 3 hari tidak cukup untuk mengumpulkan 750 tanda tangan,” ujarnya hingga membuat seluruh mahasiswa bersorak setuju. “Sudah mencobanya? Hal kecil semacam ini saja kamu anggap sulit, bagaimana nanti kalau menghadapi sesuatu yang lebih besar? Ini perintah dan wajib kalian lakukan,” tukas Mahesa kemudian pergi keluar aula diikuti oleh Banyu dan Yeremias. Kepergiannya secara mendadak bertujuan agar tidak ada lagi mahasiswa yang protes seperti Asha, hal itu sangat menjengkelkan sekaligus menguras tenaga Mahesa. Asha mendesis pelan ketika melihat tingkah laku semena-mena Mahesa. Sembari menerima buku untuk mengisi tanda tangan dari senior tahun kedua, ia menghela nafas kasar. Gadis itu sangat menyesal pernah berkata bahwa Mahesa sebenarnya baik. Wajahnya memang sempurna layaknya Hermes. Namun sifatnya yang tidak punya hati, membuatnya lebih layak dipanggil sebagai Hades, dewa dunia bawah. *** 30 menit berlalu, Asha dan Brian kini kembali duduk di bangku kantin setelah meminta tanda tangan kepada para kakak tingkat. Asha menelungkup-kan wajah di atas meja. Sementara Brian sibuk mengipasi kepala sahabat kecilnya sembari meminum es teh yang berada di dalam plastik. Lelah hati dan fisik sudah pasti mereka rasakan karena harus menuruti semua permintaan senior agar bisa mendapatkan tanda tangan. Rasa lelah mereka berdua tak sebanding dengan rasa lelah yang dirasakan oleh mahasiswa lain berkat Brian. Lelaki itu menargetkan senior perempuan untuk dimintai tanda tangan. Dengan parasnya yang tampan, Brian hanya bermodal nomor ponsel serta sedikit gaya untuk selfie, dan Asha sebagai tukang foto, membuat mereka mendapatkan 100 lebih tanda tangan di hari pertama. Pencapaian yang cukup besar. “Eh, bukannya kita wajib buat minta tanda tangan ke ketiga pencabut nyawa itu ya?” celetuk seorang perempuan yang entah sejak kapan sudah duduk di samping Asha. Asha yang mendengar hal itu langsung menoleh ke arah perempuan berkulit eksotis tersebut. Wajahnya tampak bingung karena tak mengerti siapa tiga pencabut nyawa yang ia maksud. “Siapa?” Tanya Brian seakan mengerti kebingungan Asha sembari menyeruput es tehnya menggunakan sedotan. Perempuan asing yang melihat raut penasaran di wajah Asha dan Brian, mulai mendekatkan diri. Ia berbisik sembari mengarahkan tangannya ke ketiga senior yang juga tengah duduk di kursi seberang. “Dia, yang pakai kacamata keturunan China Indonesia, namanya Kak Yeremias. Orangnya kalem tapi tegas banget, dia wakil ketua BEM.” Jelasnya menunjuk lelaki berperawakan kecil, berkulit putih, dengan senyum yang bisa dibilang sangat manis. “Yang itu, namanya Kak Banyu, dia ketua UKM basket. Kak Banyu sama Kak Yeremias tuh udah kayak satu paket. Banyak yang ngira kalau mereka ada something gitu.” Seketika Asha dan Brian langsung melotot tak percaya. Keduanya kembali menatap dua lelaki yang dimaksud oleh perempuan tadi. Semuanya tampak normal, sebelum Banyu tiba-tiba menyuapi Yeremias satu buah strawberry yang langsung membuat Brian meringis geli. Perempuan misterius yang melihat tingkah laku jijik dari kedua teman barunya itu, justru tertawa dan kembali melanjutkan perkataannya. Ia menunjuk seseorang yang sedang fokus dengan telepon genggamnya. “Yang terakhir, yang dari tadi debat sama lo,” ucapnya menatap Asha. Membuat gadis itu meringis kecil, lalu tak lama kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke Mahesa. “Udah kenal dong, namanya Kak Mahesa. Dia emang terkenal dingin dan kejam banget. Bahkan, katanya dulu waktu dia masih jadi maba, dia juga pernah protes ke senior kayak lo tadi,” lanjutnya dengan penuh semangat seolah mendapatkan bahan baru untuk kegiatan menggunjing siang ini. Asha kembali membulatkan mata. Ia kira, Mahesa adalah orang yang kaku dan taat akan tata tertib. Ternyata dia juga pernah memberontak saat masih jadi mahasiswa baru. Ini merupakan informasi penting bagi Asha untuk memancing amarah Mahesa sekali lagi. “Oh iya, sampai lupa kenalan. Kenalin, gue Maya.” Ucap Maya mengulurkan tangannya ke arah Brian, dan berganti ke Asha. Setelah acara perkenalan singkat itu, Asha kembali menatap Mahesa. Jujur saja, wajah sempurna itu memang layak untuk ditatap. Apalagi jika tersenyum, mungkin Asha akan lebih betah menatapnya. Di satu sisi, Mahesa juga sadar bahwa gadis yang dari pagi sudah merusak suasana hatinya itu sedang menatapnya sekarang. Awalnya, ia kira hanya sebuah kebetulan. Sampai tiga kali mata mereka bertemu, Mahesa berpikir bahwa Asha dengan sengaja menatapnya. Karena ia adalah tipikal orang yang sangat tidak suka apabila diperhatikan oleh orang lain. Mahesa akhirnya berteriak, "Ashafa nomor 0067, kemari!!" Asha yang merasa terpanggil langsung membuyarkan lamunan dan berdiri. Sejenak mengesampingkan rasa bingung ketika Mahesa ternyata menghafal nomor absennya. Ia berjalan pelan ke arah 3 senior itu dengan kepala yang tertunduk. Sebenarnya, apa salah Asha kali ini? Ia sangat yakin bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun selama di kantin. “Lo belom punya tanda tangan kita, kan?” tanya Mahesa sedikit melembut. Asha seketika mengalihkan atensinya untuk menatap wajah pangeran tersebut. Ia mengangguk semangat, berharap yang lebih tua akan memberinya tanda tangan dengan senang hati tanpa harus melakukan hal-hal aneh. Mahesa yang tersenyum samar setelah mendapat anggukan kepala dari Asha, membuat Banyu dan Yeremias saling melempar tatapan bingung. Sangat jarang mereka melihat Mahesa bertingkah lembut kepada mahasiswa baru. “Caranya gampang. Gue minta lo bilang ‘aku cinta Kak Mahesa' tiga kali,” ujar Mahesa kelewat santai, hingga mengakibatkan Banyu tersedak minumannya. Dua kali menjadi panitia ospek, baru kali ini mereka berdua melihat Mahesa menyuruh adik tingkatnya untuk berkata seperti itu. Asha yang mendengarnya juga tak kalah terkejut. Bahkan seisi kantin pun sempat berteriak, namun kini bersiap merekam kejadian langka itu untuk dimasukkan ke dalam base kampus. Ini merupakan berita panas. Sebenarnya, Asha agak sedikit malu untuk berkata demikian. Tapi mengingat citranya yang mungkin sudah buruk dimata semua orang karena kejadian tadi, ia akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulutnya dan berbicara. “Ngomong yang keras!" bentak Mahesa membuat Asha sedikit berjingkat. Kemudian dengan satu tarikan nafas, gadis itu pun berteriak. “Aku cinta, Kak Mahesa!” Kata-kata tersebut terulang hingga tiga kali. Sangat keras dan jelas. Seketika seluruh pengunjung kantin tak luput dengan para pedagang pun kembali berteriak histeris, seakan telah mendapatkan acara hiburan gratis di siang hari yang melelahkan ini. Wajah Mahesa kini bisa dipastikan memerah. Bukan karena malu, tapi karena marah. Ia kira, Asha akan memilih pergi atau menasehatinya seperi di aula tadi, tapi ternyata Mahesa salah. Gadis menjengkelkan itu justru menerima tantangan Mahesa dengan sangat sangat baik. “Loh Kak, mau kemana? Ini belom di tanda tanganin,” protes Asha saat melihat Mahesa berdiri dan hendak pergi dari kantin. Lelaki itu menoleh sekilas, ia menaikkan sebelah alisnya, “Emang tadi gue bilang mau ngasih lo tanda tangan? Gue kan cuma nanya,” jawabnya lalu berjalan meninggalkan Asha dan kedua temannya. Asha baru sadar bahwa perkataan Mahesa memang ada benarnya. Mahesa tadi tidak menjanjikan apapun sebagai balasan setelah menyuruh Asha berteriak seperti itu. “Dasar Hades!” Ucapnya lirih, kemudian kembali ke bangku dimana teman-temannya duduk tanpa menghiraukan godaan dari orang-orang yang berada di kantin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN