Chapter 3 : Kesialan

1240 Kata
“Aku masih berada di sekolah… Tugas ku masih belum selesai… Aku juga tau ini sudah jam sepuluh.. Ya jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah.”             Retta menghela nafas kasar. Sebelah tangan nya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, sebelah nya lagi ia gunakan untuk mencorat-coret buku yang berada di hadapan nya dengan sebuah pena di genggaman nya. Sekali lagi ia menghela nafas panjang dan merasa kesal dengan seseorang di seberang sana yang kini tengah mengoceh ria kepadanya.             “Kak, sudah dulu ya? Aku harus menyelesaikan tugas ku.” Retta menyela ucapan kakak nya dan lansung menutup telepon. Sejenak ia menatap kesal kearah ponsel nya. Sungguh orang terakhir yang ingin diajaknya bicara saat ini adalah Bagas, kakak nya. Tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti ibu-ibu kehilangan panci saja.             Ia melipat kedua tangan nya dan membenamkan wajah nya disana. Hari ini sungguh sangat melelah kan baginya. Tadi pagi ia sudah terlambat datang ke sekolah karena harus membantu seorang nenek yang mau menyebrang jalan, dan mengakibatkan ia melewatkan pelajaran pertama dari guru yang terkenal killer di sekolahnya itu, yang berujung dengan tugas yang sangat banyak. Ingin sekali ia menjedotkan kepala nya ke tembok perpustakaan ini. Tapi untunglah ia masih memiliki akal sehat, jadi ia tak akan melakukan hal sekonyol itu.             Ini bukan pertama kalinya ia harus berada di sekolah lebih lama. 2 hari yang lalu, ia harus merelakan waktu tidur nya hanya untuk mengerjakan tugas yang ia lupa kerjakan. Walau akhirnya ia harus dimarahi oleh hantu yang ia panggil Bunda karena sudah pulang terlambat. Ia merasa sangat lelah. Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang. Malam ini, ia harus berteman kembali dengan buku-buku yang membuatnya semakin pusing.             Hening sejenak, dan Retta masih tak bergeming dari aktivitas menenangkan pikirannya. Ia yakin sekali, selain kakaknya ia pasti mendapatkan ceramah tambahan dari Bundanya. Karena paginya ia sudah pamit akan tiba dirumah pukul 8, tetapi sampai jam 11 pun dirinya masih berada di sekolah. Beruntung anak-anak Osis menginap di sekolah, jadi sekolahnya tidak terlihat sepi. Hingga hembusan angin dingin menerpa tubuh nya, ia sedikit mengangkat kepalanya.             “ANJ-astaghfirullah nggk boleh ngumpat Retta.”              Seseorang- Jika saja bisa di katakan seperti itu- duduk di hadapan Retta dengan senyum lebar tanpa dosa nya.             “Halo kakak cantik”  Sapa nya             Sedangkan yang disapa hanya mengerjapkan matanya dan mengendalikan diri nya agar tidak terlalu lama dalam mode Shock.             “Pergilah. Aku sedang tak ingin meladeni mu.” Jawab Retta seraya mengemas buku-buku nya dan beranjak dari duduk nya berniat untuk meninggalkan seorang gadis di depannya. Dan dengan gerakan cepat gadis itu kini berpindah berada di hadapan Retta dengan tatapan memelas nya. Oh ayolah aku sangat lelah dan stress. –batin Retta             “Kumohon padamu.” Kata nya lagi dan kini dengan menyatukan kedua telapak tangan nya didepan d**a nya seolah sedang memohon.             Retta menatap gadis didepannya ini. Gadis dengan gaun putih dan rambut sebahu nya dan jangan lupakan kakinya yang tak berpijak pada bumi dengan tatapan berfikir. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia menuruti gadis ini? Atau mengabaikan nya saja?. Namun jauh dilubuk hatinya, ia merasa iba dengan gadis itu. Lagi, ia menhembuskan nafas lelah.             “Baiklah. Tapi ingat! Kau harus mengembalikan tubuh ku ke tempat nya lagi.” Final Retta             “Aku mengerti, terimaksih kakak cantik!!!” ***             “Akh badan ku sakit semua” Retta terbangun dengan keadaan yang bisa dibilang tak baik. Ia menatap sekeliling nya dan ia dapat menyimpulkan bahwa ini adalah Apartement sedehananya.             “Fiuh.. syukurlah gadis itu menepati janjinya.” Gumam nya. BRAK!!!             Pintu kamar apartement itu baru saja di buka dengan tidak manusiawi nya oleh seseorang yang kini tengah menahan amarah nya. “Ya!! kau mengagetkan ku bodoh!” kata Retta terhadap pelaku yang kini tengah mentap nya dengan tatapan tajam nya, oh jangan lupakan bahwa ia juga yang telah merusak pintu apartement nya itu. Melihat tatapan tajam yang dilayangkan untuk nya membuat nyali Retta menciut. “Maksud ku… kakak bisa mengetuk pintu itu tanpa mendobrak nya, aku kan harus membetulkan pintu itu lagi.” Kata Retta dengan nada yang sedikit takut. “Claretta Fredelina Beryl” Kata orang itu dengan penuh penekanan Mati aku –batin Retta “Aku ingin bicara dengan mu.” Setelah mengatakan itu, orang itu yang tak lain adalah kakak nya Bagas keluar dan menunggu Retta di sofa ruang tengah apartement wanita itu. Dengan berat hati ia bangun dan menyusul kakaknya. Ia melewati pintu kamarnya yang kini tak lagi berdiri dengan benar. Ia menatap miris pintu itu. Kasihinilah dompetku yang kini tengah menangis. Batinnya sedih. Ia berjalan menuju ruang tengah apartemennya. Dapat ia lihat punggung kakaknya yang tengah duduk membelakanginya. Sejenak ia berfikir, apa ia kabur saja? Menghindari amukan kakaknya itu. Atau ia pasrah dan menerima hukuman kakaknya itu? Ia pandangi punggung kakaknya. Sekilas nampak aura hitam pekat yang mengelilingi kakaknya itu. Ia bergidik ngeri. Sebaiknya aku kabur saja- “Jangan coba-coba untuk kabur dariku..” kata Bagas Belum sepenuhnya tubuh gadis itu berbalik, tapi suara kakak nya sudah mengintrupsikannya. “Siapa yang ingin kabur? Aku hanya… hanya… ada sesuatu yang tertinggal di kamar. Aku akan mengambilnya terlebih dahulu.” Secepat kilat ia membalikkan tubuhnya dan melangkah kembali ke kamarnya. Namun di langkah ketiganya, ia berhenti. “Kau kan memang selalu meninggalkan otakmu. Baru kau sadari sekarang, adikku yang manis? Cepat kemari atau kau benar-benar kupindahkan ke sekolah asrama saat ini juga.” Dan secepat itu pula, Retta menuruti kakaknya. Sungguh ia tak ingin sekolah di sekolah asrama. Ia tak suka peraturan-peraturan yang mengekangnya. Sampai sunggokong menemukan kitab suci sekalipun, ia tak akan pernah mau. Kini posisi mereka duduk berhadapan. Dengan Bagas yang menatap lurus adikknya yang sedang menunduk. “Jelaskan.” Titah Bagas. “Apa yang harus aku jelaskan?” Tanya Retta lirih. “Jangan membuat kakak semakin marah padamu Retta.” Retta menghembuskan nafasnya lelah. “Aku harus bagaimana kak? Aku kasihan pada hantu itu. Dia hanya ingin bertemu dengan orangtua nya. Ia tak sempat mengucapkan salam perpisahan di hari terakhirnya hidup. Dan dia juga masih belia. Aku kasihan padanya.” Jelas Retta lalu menundukkan kembali kepalanya. Bagas memijat pelan pelipisnya. Ia sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu. Tak bisakah ia membedakan hantu yang baik dan buruk kepadanya? Ia tau bahwa adiknya ini sangat baik dan perasa. Tapi, setidaknya ia tak terlalu bodoh kan? “Harus berapa kali kakak katakan kepadamu, jangan hiraukan mereka. Tidak bisakah kau sehari saja tidak membuat Kakak khawatir? Semenyedihkan apapun masa lalu hantu-hantu itu, bisakah kau tak mencampuri urusan mereka? Kau dianugerahi kelebihan itu bukan untuk mencampuri urusan mereka Retta. Kau tak tau betapa khawatirnya aku melihatmu semalam yang hampir tertabrak truck di perempatan jalan depan? Hhh.. harus bagaimana lagi aku kepadamu Retta.” Retta mengangkat kepalanya. Ia berfikir sejenak, namun tetap saja ia tak mengingat apapun tentang semalam. Inikah alasannya mengapa punggung ku terasa sakit? Dasar setan s****n!. Maki Retta dalam hati. “Kakak telah mengambil keputusan. Besok kau akan pindah ke sekolah asrama. Dan aku tak menerima penolakan.” Kata Bagas. Retta hanya memandang nanar kakaknya. Mau melawan pun tak bisa. Ini sudah kesekian kalinya ia seperti ini jika berurusan dengan ‘mereka’. Terakhir kali setelah menolong hantu yang berada di pemberhentian bus, dirinya tebangun di salah satu terminal yang ia tak tau dimana. Akibatnya ia dilaporkan sebagai orang hilang oleh kakaknya. Ia menghembuskan nafasnya pasrah. “Baiklah…” kata nya. Yah, kali ini ia harus terpaksa sekolah di sekolah asrama. Walaupun ia tidak mau sama sekali. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN