Bab 1

2117 Kata
"Hellleeeennnnn!" Teriakan super keras itu membangunkan Helena Valerie Hendrawan dari masa hibernasi-nya. Gadis berkulit porselen itu mengusap pantatnya yang mendarat mulus di lantai, kemudian mengucek mata. Indra penglihatannya yang kecil berusaha beradaptasi pada cahaya yang masuk melalui jendela. "Helenaaaa!" Sekali lagi teriakan keras itu terdengar, membuat Helen mau tak mau harus segera mandi dan turun, atau akan mendapatkan amukan dari macan betina yang tak lain adalah Bunda tersayangnya. "Helen sudah bangun, Bunda!" Helen balas berteriak dari dalam kamar. Setelahnya, gadis tujuh belas tahun itu segera masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Tak sampai sepuluh menit, Helen sudah turun dan siap berangkat. Namun, sebelumnya, gadis itu menyempatkan diri melongok ke ruang makan, di mana Papa dan Bunda tersayangnya berada saat pagi seperti sekarang. "Ngapain dia di sini?" Helen menunjuk Juna, sahabat sejak bayi yang sudah lebih dulu duduk manis bersama Bunda dan Papa-nya. Helen mendudukkan b****g hati-hati sambil terus menatap Juna dengan tatapan mengintimidasi. "Gue jemput lu!" jawab Juna cuek. Tak terpengaruh dengan tatapan yang dilayangkan Helen padanya. "Lamban banget jadi cewek. Ngalahin keong!" Dan Juna tertawa keras. Tawa yang tak pernah ditampilkannya di depan umum. Bibir mungil Helen mengerucut. Mengadu pada kedua orang tuanya percuma. Mereka lebih sayang pada Juna ketimbang dirinya. Buktinya sekarang Papa dan Bunda ikut menertawakannya bersama sahabat tak tahu malunya itu. Helen membuang muka. Gadis itu menyeruput s**u vanila kesukaannya, sedikit demi sedikit. "Helen, cepetan dong!" tegur Bunda. "Kasian Juna lama nunggunya." "Nggak nyuruh dia nunggu." Helen makin memperlambat acara minum susunya. "Gue juga kalo nggak disuruh Arsyi ogah banget jemput lu!" Juna membetulkan letak tas punggungnya. "Cewek jadi-jadian." Juna bergidik, lantas berdiri bermaksud meninggalkan Helen. Helen yang mendengar nama pangerannya disebut langsung menghabiskan susunya dalam sekali tegukan. Melupakan kekesalannya pada Juna yang kembali mengatainya. Helen berdiri, membetulkan rok-nya yang agak kusut kemudian langsung keluar. Setelah cium tangan Papa Bunda tentunya. Tak lupa tangannya mencomot sandwich yang masih tersisa di meja makan. "Juna, ayo!" teriak Helen. Dia sudah berdiri di depan mobil Juna. "Lamban banget jadi cowok?" Helen berkacak pinggang. Tersenyum puas karena berhasil membalas Juna. "Denger nama Arsyi aja lu baru ngeh!" Juna segera memasuki mobil dan menjalankan kendaraan kesayangannya itu cepat begitu Helen duduk di sampingnya. Atau mereka akan terlambat karena keleletan Helen. *** Seperti biasa, Arsyi Genero Wiraatmadja selalu tiba di sekolah lebih awal dari sahabat dan kekasihnya. Sebutan pangeran sekolah dan murid terpandai yang disandangnya tak membuat pemuda tujuh belas tahun itu besar kepala. "Arsyi!" Seruan itu membuat Arsyi menoleh. Tampak Diva Sandhora berlari kecil ke arahnya. Arsyi berdecak, mengetahui paginya yang tenang akan terusik dengan kehadiran salah satu dari sekian banyak makhluk genit di sekolahnya. Mengusap wajah, Arsyi berharap Helen dan Juna segera datang. Agar dia terbebas dari makhluk astral yang berdiri dengan senyum lebar di depannya ini. "Pagi, Arsyi," sapa Diva manja. Gadis itu memasang senyum termanisnya. Arsyi mengangguk cuek. Memeriksa jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kirinya. Merutuk kesal dalam hati karena sampai sekarang Juna belum datang juga. Kemana perginya bocah iblis itu? "Kamu kok cuek sama aku sih, Arsy?" Diva mencoba mengalungkan lengannya di lengan Arsyi, yang segera ditepis pemuda itu. Diva cemberut. "Kamu tau nggak, Arsy, nggak boleh lho jutek sama cewek." "Emang lu cewek? Bukannya lu itu cabe ya?" Diva menoleh dan berbalik cepat. Ia hapal suara siapa itu. Tak ada yang lebih pedas daripada perkataan William Arjuna Dirgantara. Diva semakin cemberut. Apalagi melihat sosok perempuan yang berdiri di sebelah Juna. Perempuan sok cantik yang aslinya tidak ada apa-apanya kalau tidak ada Juna dan Arsyi di sampingnya. "Pagi, Juna." Diva tersenyum manis begitu Juna lewat di depannya. Juna tak sedingin Arsyi. Walaupun bermulut pedas tapi Juna rendah hati, dalam artian Juna sendiri. Juna selalu membalas setiap sapaan yang ditujukan padanya. Apalagi kalau guru yang menyapa, Juna akan langsung menyahuti. "Iya. Pagi juga, Be," balas Juna. Helen mengernyit mendengar panggilan Juna untuk Diva. Be? Apa itu? Nama Diva itu dimulai dari huruf D dan panggilannya adalah Va. Sementara nama panjang Diva adalah Diva Sandora. Tidak ada unsur huruf 'Be' di dalam nama Diva. "Kok Be sih?" tanya Helen tak bisa menutupi keheranannya. Helen memang tak kuat menahan penasaran. Ia akan bertanya sampai mendapatkan jawaban yang tepat dan masuk akal menurutnya. Seperti sekarang. Saking penasarannya Helen melupakan Arsyi yang sejak tadi berdiri memandanginya. Arsyi hanya bisa menggeleng pelan melihat kelakuan gadisnya. Helen yang biasanya langsung menghampirinya malah berhenti di depan Diva. Menatap lekat Diva dengan dagu terangkat. Sangat tidak selaras dengan tatapannya yang keheranan. "Juna, ini Diva lho." Helen menarik-narik ujung lengan seragam Juna. "Kok dipanggil Be?" Juna memutar bola mata kesal. Helen itu selain manja dan kekanakan juga polos. Saking polosnya terkadang Helen bersikap selayaknya orang bodoh. Seperti sekarang. Untung saja Helen cantik, kalau tidak sungguh Helen akan menjadi bahan bully yang sempurna. "Arsy, cewek lu nih. Lupa minum obat kayaknya dia tadi." Arsyi berdecak. Menghampiri Helen dan menarik tangannya menuju kelas mereka di lantai dua. "Eh, tunggu dulu, Arsy. Juna belum jawab aku." Helen berjalan sambil menoleh-noleh pada Juna yang masih berada di belakangnya. Juna berdecak sambil menggeleng pelan, kemudian menyusul langkah Arsyi dan Helen yang sudah mencapai tangga. "Be buat cabe, Len." Juna mengacak gemas surai hitam Helen. "Kok cabe?" tanya Helen lagi. Otaknya masih belum memahami. Helen memang payah dalam mengingat dan menanggapi sesuatu. "Dia kan emang cabe, Helen Sayang!" Juna menggeram. "Pengen nyekik lu deh, Len, tapi nggak tega gue. Lu kan adik gue ya? Coba kalo nggak, udah gue ubek-ubek lu!" "Enak banget sih ngomongnya!" Arsyi mendelik tajam. Juna tertawa lepas. "Dih pawangnya marah." Juna masih tertawa keras dan lepas tanpa beban, sampai mereka berpapasan dengan beberapa teman seangkatan mereka. Tawa Juna langsung berhenti. Juna memang selalu seperti itu, hanya akan tertawa seperti itu saat mereka bertiga saja. Juna tak pernah menunjukkan sisi yang sebenarnya di depan umum. Berbeda dengan Arsyi yang selalu apa adanya. Di mana pun berada Arsyi selalu terlihat datar dan dingin. Tetapi kedua pemuda itu memiliki banyak penggemar. Baik Juna yang terkenal sebagai tukang mempermainkan perempuan alias playboy, maupun Arsyi yang seperti kulkas berjalan. Mereka berdua memang merupakan perpaduan yang sangat sempurna. Kalau saja Helen yang cantik dan judes tidak bersikap i***t kadang-kadang. Semakin sempurnalah trio mereka. "Arsy, lu anterin nih Noona ke kelasnya dulu deh." Juna menunjuk Helen dengan memajukan bibirnya. "Emang lu mau kemana, Jun?" tanya Arsyi tanpa menatap Juna. Tatapannya lurus ke depan. "Lu ngomong sama siapa sih, bro?" Juna balik bertanya kesal. "Ngomong sama lu lah!" sahut Arsyi cuek. "Gue di samping lu, Nyet, bukan di depan lu!" Juna makin kesal. Bola mata bulatnya membelalak. "Juna, mulutnya ih!" Helen mencubit kecil pinggang Juna sehingga pemuda itu memekik kaget dan sakit. "Yang memaki kan mulut gue, Len. Kok yang lu cubit pinggang gue. Sakit tau!" sungut Juna semakin bertambah kesal saja. Tidak Arsyi, tidak Helen keduanya sama saja, selalu membuatnya kesal. "Sini, biar gue aja yang nyubit mulut lu. Mau dicubit pake apa, bilang aja," tawar Arsyi. Sekarang tatapannya tertuju pada Juna. Juna menggeliat jijik. "Ogah. Amit-amit, Arsy!" Sekali lagi Juna menggeliat, kali ini ditambah dengan gaya ingin muntah. "Lu kira gue apaan sampe jijik gitu!" Arsyi memicing menatap Juna. Arsyi berdecak kesal. Setiap kali bersama Juna, ia pasti banyak bicara. Seperti bukan dirinya saja. "Lu Arsyi, best friend gue yang ter the best lah!" ucap Juna dengan gaya tengilnya. "Suka lu lah!" Arsyi memutar bola mata malas. "Lu mau kemana sih?" "Ke hatinya si Lusi lah." Juna tersenyum lebar sambil menaik-turunkan kedua alisnya. "Gue titip adik gue anterin sampe kelas kayak biasanya." Juna berbalik, berlari kecil menuju kelas gadis incarannya. Sebenarnya bukan incarannya, justru ia yang menjadi incaran Lusi. Siapa pun yang menjadi incaran Juna tak peduli. Yang penting saat ini ia memliki seseorang pengusir bosan. "Hush hush!" usir Helen mengibaskan tangannya yang bebas. "Lusi siapa, Len? Cewek baru Juna?" tanya Arsyi lirih tetapi masih dapat di dengar Helen. Helen mengangkat bahu. "Iya kali," jawabnya asal. Juna tak pernah bercerita soal kehidupan cintanya. Yang Helen tahu Juna itu playboy. Arsyi tak bertanya lagi. Terlalu malas untuk kembali bersuara. Sudah terlalu banyak ia tadi bicara saat ada Juna. "Kamu masuk sendiri ya, aku nggak ikut masuk." Helen mengangguk. "Istirahat nanti aku ke sini lagi. Kalo ada apa-apa atau ada yang usil, kamu telepon aku ya," pinta Arsyi. Bagaimanapun ia tahu banyak yang tidak menyukai Helen terutama gadis-gadis penggemarnya dan Juna. "Aku ada harus ke kantor kepala sekolah. Ada yang penting katanya." Sekali lagi Helen mengangguk. Ia mengerti kesibukan Arsyi dan ia selalu percaya pada Arsyi. Kesetiaan Arsyi tak perlu diragukan lagi. "Jaga diri ya, Sayang." Arsyi mengecup pucuk kepala Helen sebelum meninggalkan kelas kekasihnya itu. Helen mengembuskan napas, memasuki kelas dengan gontai. Ia sudah terbiasa dengan semua tatapan yang ditujukan padanya. Helen menerima semuanya, melawan hanya kalau ia sudah bosan. Lagipula, gadis-gadis itu hanya berani di belakangnya saja. Kalau di depannya mereka takut, apalagi kalau ada Juna dan Arsyi. "Juna mana, Len, kok lu sendirian aja?" Hilda Aprilia adalah teman sekelasnya yang menyukai Juna. Beberapa kali Hilda berusaha mengakrabkan diri dengannya, tapi selalu diusir Juna. Entah kenapa, tapi sepertinya Juna tidak menyukai Hilda. Padahal Hilda cantik dan sopan. Tidak seperti Diva dan teman-temannya yang cabe. "Mau ketemu Lusi katanya tadi." Senyum manis di wajah Hilda luruh mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Helen. "Juna sekarang jalan sama Lusi ya, Len?" tanya Hilda lagi. Gadis itu duduk di samping Helen, ia duduk di bangku Juna. Juna dan Helen bukan hanya sahabat sejak bayi, tapi mereka juga selalu satu kelas dan duduk sebangku. "Aku juga nggak tahu, Hil. Juna nggak bilang," jawab Helen jujur. "Aku juga nggak pernah nanya. Aku nggak mau mencampuri urusan pribadi Juna. Maaf ya." Hilda berusaha kembali tersenyum, meskipun nyaris gagal Hilda tetap mempertahankan senyumnya. "Nggak apa-apa, Len," sahut Hilda. "Kamu kan nggak salah, kok minta maaf sih?" Helen menggeleng. Sepertinya ia akan cocok berteman dengan Hilda, seandainya saja Juna memberinya izin untuk membuka dunianya pada Hilda. Tapi Juna tak membiarkan, kata Juna semua siswi di sekolah mereka modus. Mendekati Helen kalau bukan untuk dekat dengan Juna pasti dengan Arsyi. Padahal menurut Helen tidak semua siswi-siswi itu modus, Juna saja yang terlalu percaya diri. "Pengen minta maaf aja." Helen tersenyum lebar. Sehingga mata kecilnya menjadi tak terlihat. *** "Nanti istirahat kamu ke sini lagi nggak, Juna?" tanya Lusi sambil bergelayut manja di lengan Juna. Juna hanya mengangkat bahu. "Nggak tahu gue. Kenapa nggak lu aja yang ke kelas gue?" Juna balik bertanya sambil memberikan senyum manis pada Lusi. Juna juga mengusap rambut Lusi yang dicat berwarna cokelat terang. Sangat kontras dengan dengan wajahnya yang terlalu pribumi. Juna mendekati Lusi karena ia sedang malas berburu mangsa saja. Sementara untuk kembali kepada gadis yang pernah dikencaninya, Juna tidak pernah mau. Menurutnya tidak seru lagi, ibaratnya seperti menonton film yang sama untuk kedua kalinya. Tidak ada tantangannya lagi. "Emang boleh?" tanya Lusi semangat. Semakin mendekatkan tubuhnya yang memang berisi di bagian-bagian tertentu ke tubuh Juna. Juna mengangguk. "Nggak ada yang melarang kan? Masih di area sekolah ini." "Ihh Juna, bukan itu!" Lusi berpura-pura merajuk. Tingkahnya semakin dibuat manja. "Maksud aku, nggak ada yang marah gitu kalo aku nyamperin ke kelas kamu." "Nggak ada, Sayang!" sahut Juna cepat. Bunga di hati Lusi semakin mekar, apalagi mendengar panggilan Juna kepadanya. Ia sangat bahagia. Rasanya Lusi ingin melompat-lompat saking bahagianya. "Pacar kamu nggak marah?" tanya Lusi sekali lagi. Ia harus memastikan kalau Juna sudah tidak memiliki kekasih lagi dan hanya dirinya. "Emang kamu mau marahin diri kamu sendiri?" Juna balik bertanya. Pertanyaan yang membuat Lusi semakin merasa berada di awang-awang. Lusi mengerjap beberapa kali, mulutnya terbuka tak percaya. Apalagi setelah mendengar Juna meneruskan ucapannya. "Kan pacar aku kamu, Sayang." Lusi menutup mulutnya yang menganga. Apa maksud Juna? Apakah sekarang mereka sudah menjadi sepasang kekasih? Benarkah? Lusi merasa ia hanya bermimpi, karenanya gadis itu mencubit tangannya untuk memastikan. Lusi mengaduh kesakitan setelah mencubit lengannya. Ternyata ia tidak sedang bermimpi. Juna benar-benar menembaknya, mereka sepasang kekasih sekarang. "Juna, bercanda kamu nggak lucu deh!" Lusi memukul bahu Juna pelan. Gadis itu menundukkan kepala malu, pipinya memerah sampai ke telinga. "Lho, aku nggak bercanda, Lus. Aku serius!" Juna memasang wajah serius untuk meyakinkan Lusi. Juna juga sudah mengganti panggilannya yang semula gue lu menjadi aku kamu. "Emangnya kamu nggak mau jadi pacar aku?" Lusi menggeleng cepat. Wajahnya semakin memerah, sampai-sampai Juna takut Lusi akan mimisan atau bahkan pingsan. "Kamu nggak mau jadi pacar aku, Lus?" tanya Juna berpura-pura sedih melihat gelengan Lusi. Dasar Juna playboy kelas kakap, aktingnya patut diacungi jempol. Lusi kembali menggeleng cepat. Ia tak bermaksud untuk menolak tadi, ia hanya terlalu bahagia sehingga gugup. Saking gugupnya ia yang semula ingin mengangguk malah menggeleng. "Nggak kayak gitu. Aku mau kok jadi pacar kamu," jawab Lusi cepat. "Beneran?" Lusi mengangguk cepat. "Terima kasih, Lus. Aku senang banget," ucap Juna dengan wajah bahagia. Umpan kena!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN