Sepulang dari rumah kosong itu, kami sangat lelah hingga tak sempat mandi. Mas Arif langsung terlelap, padahal masih sore. Karena merasa gerah, aku pun memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap membeli es.
Ketika ke kamar mandi, ternyata keran air menyala sehingga air yang di dalam bak tumpah percuma. Aku yakin Bibi lupa mematikan kerannya. Segera kumatikan dan pergi menghampiri Bibi dulu. Ia sedang menggoreng ikan kesukaan Mas Arif.
"Bi, kenapa kerannya nggak dimatiin? Sayang tuh airnya tumpah-tumpah," tegurku.
"Hah? Masa, Bu? Orang saya nggak ke kamar mandi sejak pagi kok," elaknya, "saya buang air di toilet biasa, sedangkan mandi pas subuh tadi, sebelum Ibu," lanjutnya. Aku baru ingat, benar juga yang ia katakan.
"Mungkin Mas Arif habis ke sini terus lupa matiin." Aku berusaha berpikir positif. "Maaf, ya, Bi. Lanjut gih masaknya," ucapku tak enak. Ia hanya tersenyum.
"Ibu mau jus buah apa hari ini? Kemarin udah buah naga sama apel, sekarang mau apa?" tanyanya.
"Hm, mungkin enak buah alpukat, Bi. Besoknya buah kiwi," jawabku. Ia pun mengangguk pelan dan melanjutkan pekerjaan.
***
Setelah memakai baju dan skincare, aku duduk di kasur, tepat di samping Mas Arif, Belakangan ia mudah lelah, padahal tidak begitu banyak gerak. Mungkin nanti bisa menyuruhnya meminum suplemen agar kesehatannya terjaga. Sudah bagus Sarah tak mengusik kehidupan kami lagi.
Aku turun ke lantai bawah dan bersantai di bawah pohon mangga, menunggu matahari terbenam. Begitu memeriksa ponsel, tiba-tiba kumerasa ada sesuatu yang melesat cepat. Di ekor mata, tampak bayangan hitam dan besar. Namun, ketika menoleh, tidak ada apa-apa di sana.
Aku mengabaikan gangguan yang ada dan memejamkan mata. Konflik kehidupan yang selalu datang lumayan membuat kepala sakit. Tampaknya aku harus mengatur rencana liburan ke luar kota. Entan mengapa, tempat ini terasa aneh dan tak nyaman.
Seandainya waktu itu aku memilih tawaran Pak Wijaya untuk membeli rumah di Kota Bandung, kejadian-kejadian yang sekarang dialami tak pernah kami rasakan.
"Coba aja waktu itu Mas mau nurut sama Pak WIjaya," ucapku ketika sadar ia sudah berdiri di belakang, menyeruput secangkir kopi.
Baunya yang khas langsung membuatku mabuk.
"Mas agak susah percaya sama orang, Dek. Mas Wijaya itu `kan pernah bermasalah sama Ayah. Ya, meskipun udah baikan, tetep aja Mas harus waspada sama dia. Banyak orang bermuka dua," jelasnya.
"Iya, tapi sekarang kita tinggal di daerah yang aneh. Warga-warganya juga aneh. Intinya beda dari tempat lain," ucapku lalu menghela napas panjang.
"Mas paham, kamu hanya belum terbiasa."
"Bukan belum terbiasa, Mas, memang akunya yang nggak cocok tinggal di sini. Kalau urusanmu udah selesai, segera cari rumah lain," pintaku memaksa, emosi pun perlahan membuncah.
"Janganlah gitu, Dek. Kita belum ada setahun di sini, masa pindah lagi?"
"Kalau nggak mau, aku aja yang pulang ke rumah Ibuku di kampung. Aku udah muak sama kejadian aneh di rumah ini. Termasuk Mas sendiri, apa nggak capek?"
Aku bangkit dan mengungkit semua kejadian yang ia alami dulu ketika mengenal Sarah. Ia terdiam dan kebingungan, jelas saja karena tak menyadari apa-apa ketika itu. Hanya aku dan Bibi yang menjadi saksi.
"Kalau itu kita udah bebas, Dek. Buktinya Mas gak kambuh lagi, `kan? Sarah juga nggak pernah balik dan mengusik rumah tangga kita," katanya.
"Udah, ya, Mas. Aku males debat sama kamu, bikin emosiku naik. Itu aja intinya, gak usah diperpanjang."
Pengaruh kehamilan yang membuat emosiku menjadi tak stabil. Setelah memarahinya tadi, perasaan menyesal pun muncul. Kudatangi ia yang sedang duduk di depan laptop.
Kurangkul lehernya dari belakang dan mengecup pipi kanannya.
Ia pun menoleh dan tersenyum tipis.
"Maaf tadi udah marah-marah. Mas mau apa? Biar aku buatin," bujukku lembut.
"Nggak usah, udah dibuatin teh sama Bibi tadi. Nggak mau apa-apa," jawabnya.
"Ih, `kan!" Aku cemberut. Dahinya mengerut dan bertanya, "Lah kenapa?"
"Mas pasti marah," lirihku pelan, nyaris tak terdengar."
Ia tertawa kecil dan menarik tubuhku agar duduk di pangkuannya. Sembari mengecup pipi beberapa kali, tangannya menyentuh perutku yang belum membesar. Masih lama.
"Dedek, jangan bikin Bunda marah-marah terus dong! Gak kasihan apa sama Ayah kena marah terus!" ucapnya berdialog sendiri, lebih tepatnya dengan calon anak kami.
"Masih lama dedeknya lahir, aku udah nggak sabar. Rumah ini pasti rame banget," kataku gemas. Terbayang ketika buah hati kami lahir ke dunia, melengkapi keluarga kecil ini.
"Sama, Mas juga nggak sabar pengen jadi seorang ayah. Apalagi kembar," timpalnya.
"Udah, Mas lanjutin itu dulu. Udah kelar baru ngobrol lagi." Anggukan singkat darinya membuatku pergi dari ruang kerja.
Kuhampiri Bibi dan mengobrol banyak hal dengannya. Hingga sesuatu yang aneh pun terjadi. Lampu tiba-tiba mati, keadaan gelap gulita. Aku panik dan menangis karena takut gelap. Untunglah Bibi segera menemukan lilin. Mungkin ia berjalan meraba-raba benda sekitar.
Setelah dinyalakan, betapa tekejutnya aku karena Mas Arif muncul secara mendadak. Ia membawa ponselku yang tertinggal di ruang kerja.
"Untung ada senter HP, kok tiba-tiba gini sih? Biasanya ada pemberitahuan jam berapa mati lampu," ucapnya heran.
"Token listrik aman?"
"Aman," jawabnya singkat.
"Sini sama Mas, jangan jauh-jauh," lanjutnya lalu mendekapku erat, "biar Mas telpon petugasnya."
***
Setelah listrik kembali menyala dua jam kemudian, aku dan Mas Arif berencana makan malam. Kami pun akan pergi ke makam Tania besok, berdoa agar ia tenang di alam sana.
Meskipun masih terbayang-bayang kejadian di rumah kosong hari itu, aku tetap meminta perlindungan agar dijauhkan dari masalah lagi. Perasaan tak tenang selalu menghantui.
Ketika kami keluar rumah, sekujur tubuhku kaku, diam terpaku. Ingin berteriak, tapi tak bisa. Antara sadar dan tidak, aku masih bisa melihat Mas Arif di samping. Namun, tak bisa memanggilnya.
"Dek? Ayo, kok diem?" Samar-samar terdengar panggilan itu, tapi percuma saja aku tak bisa bergerak.
Perlahan muncul cahaya merah di hadapan. Cahaya itu berubah menjadi sosok wanita dengan tangan dan kaki puntung. Rambutnya panjang berantakan dan begitu melihat wajahnya, aku berteriak dalam hati sekuat mungkin.
"Tania!"
Gadis itu menatapku tajam, luka di wajahnya semakin menambah kesan menakutkan. Ekspresi kemarahan semakin ia tunjukkan. Namun, setelahnya ia kembali bersedih. Mulutnya bergerak seperti mengatakan sesuatu, hanya satu kata.
"Saya? Sapa? Salah?" tebakku dalam hati, tapi semuanya tidak tepat.
Ia melayang mendekat, membuatku gemetaran. Seakan-akan ingin mencekik leherku, tapi ternyata tidak. Ia hanya ingin menyampaikan sesuatu itu.
Aku merasa bodoh karena tak paham maksud kata-katanya itu, hingga ia pergi dengan air mata mengucur deras. Hatiku sakit, sedih sekali.
"Astagfirullah!" Begitu lepas dan bisa bergerak lagi, aku langsung memeluk Mas Arif yang sejak tadi memanggil.
"Kamu ituloh kenapa? Gak mau jalan?" tanyanya.
"Tania, Mas. Tania ...," lirihku sesenggukan.
"Tania kenapa? Kan besok kita ke makamnya. Ya kali malam-malam gini ke kuburan."
Aku melepas pelukan, bercerita tentang Tania barusan. Mas Arif menghela napas panjang dan memelukku lagi.
"Mas, mungkin dia belum tenang karena tangan kakinya belum ketemu. Jasadnya kan nggak utuh," ucapku parau.
"Iya, Mas ngerti, tapi gimana mau nyarinya? Polisi aja nggak bisa menemukan."
"Kasihan, Mas, dia mau tenang."
"Udah, jangan nangis. Tuh `kan make-up kamu jadi jelek. Katanya mau makan." Ia berusaha membujukku.
"Nggak jadi, Mas, tiba-tiba nggak mood." Aku langsung masuk rumah dan mengganti pakaian, lalu mencoba tidur.
***
Sesuai rencana, sekitar pukul tiga sore, kami berziarah ke makam Tania. Kuburannya masih basah, meski sudah banyak taburan bunga yang membusuk. Aku membersihkan makamnya dan menaburkan bunga baru. Berdoa agar arwahnya tenang di alam sana dan tidak mengusik siapapun lagi.
Di tengah kekhusyuan kami, tiba-tiba penjaga makam datang dan ikut berdoa. Namanya Mbah Tejo, usianya sekitar 40-an. Ia sudah menjaga makam ini lebih sepuluh tahun. Sukarela.
"Istirahat toh, Mbah?" sapa Mas Arif ramah.
"Nggih, Le. Capek habis bersihin makam tua di sana," ucapnya sambil menunjuk deretan makam yang terlihat usang.
"Ih, makamnya nggak keurus gitu, Mbah. Keluarganya ke mana?" tanyaku.
"Kalau keluarga, udah jarang ziarah ke sini, Nak. Ya, entah ndak peduli atau merantau ke pulau lain. Jadi Mbah aja yang bersihkan," jawabnya dengan senyum tulus yang terukir manis.
"Mbah baik banget, nggak dibayar pula." Aku merasa iba.
"Mbah ikhlas, Nak, dibayar pahala saja. Toh hidup Mbah alhamdulillah berkecukupan. Anak-anak Mbah semuanya kerja," katanya seakan-akan tak mau dikasihani. Aku kagum sekali.
"Semoga Allah membalas kebaikan Mbah," ucapku. Mas Arif menyenggol bahuku dan berbisik pelan. "Ambil uang di dompet Mas, kasih Mbah," suruhnya. Aku tersenyum dan langsung mengambil beberapa lembar uang ratusan.
"Mbah, ini mungkin nggak seberapa, tapi semoga sedikit membantu, ya," ucapku sembari menyerahkan uang itu.
"Ya Allah, nggak usah, Nak! Mbah ikhlas lillahita`ala!"
"Rejeki dari Allah, Mbah. Harus diterima," paksaku.
"Ini terlalu banyak, Nak."
"Nggak papa, ambil saja." Ia mencium uang itu dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Setelahnya beliau mengajak kami berbincang di pondok kecil dekat rumahnya, tak jauh dari makam.
"Mbah gak takut tinggal deket kuburan gini?" tanyaku penasaran.
"Sudah biasa, Nak. Kadangkala terdengar suara aneh dari makam, biarin aja," jawabnya lalu tertawa.
"Wah, berani banget!" timpal Mas Arif yang baru saja bersuara karena sejak tadi ia diam.
Tatapan Mbah fokus ke Mas Arif di sampingku. Lama ia terdiam, tak bergerak dari posisinya. Karena heran, aku pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Mbah?" panggilku pelan.
"Kamu ngapain ke sini? Sana pergi!" usirnya. Mas Arif celingak-celinguk mencari orang selain kami, tapi tidak ada. Mbah mengusir siapa?
"Alah, banyak alasan kamu! Siapa yang suruh kamu ke sini? Tempatmu di alam sana!" katanya tegas, Matanya memerah, giginya bergemelatuk, rahangnya pun mengeras menahan emosi.
"Mas, Mbah kenapa? Kok ngeri jadinya?"
Ia menggeleng, sudah bersiap-siap lari sambil memegang erat tanganku.
Jaga-jaga bila Mbah melakukan sesuatu.
"Kamu itu b***k, ya. Jangan berlagak kuat, berhenti ikuti orang ini! Dia ndak salah apa-apa!"
Orang ini? Siapa yang Mbah maksud? Mas Arif?
"Dek, kayaknya dia bicara sama hantu yang ngikutin Mas," duganya.
"Kayaknya, Mas."
"Kamu ndak mau pulang? Betul? Jangan salahkan saya kalau kamu saya bakar!" ancamnya. Ia mengambil korek api dan menakuti sosok itu. Ah, andai aku bisa melihatnya juga.
"Cepat kasih tau saya siapa yang suruh kamu! Habis ini masuk Islam atau saya bakar!"
Amarahnya menggebu-gebu, aku sangat takut menatap mata si Mbah. TYiba-tiba Mas Arif jatuh tersungkur. Matanya memelotot dan kejang kejang. Beberapa menit kemudian, ia bangkit dan berjalan tak tentu arah.
Mbah mengikuti, aku disuruh diam di sini bersama istrinya Mbah.
"Jangan ke mana-mana, jaga janinmu!"
Bagaimana Mbah tahu aku sedang mengandung?