Sesuai janji, malam ini Jumat kliwon dan aku pergi ke rumah Mbah Parto. Bersama Mas Arif dan Fany, kami mengendarai mobil dan sepanjang perjalanan, terheran-heran karena sesuatu. Ya, rombongan orang berbaju putih mengantar keranda jenazah ke suatu tempat. Yang aneh adalah, jalan menuju makam terdekat bukan di sini, tapi sebelah barat. Mengapa mereka berjalan ke arah timur?
"Mungkin aja mau ke kuburan lama itu, Mbak," ucap Fany.
"Kuburan lama bukannya udah full? Kemarin Tania mau dikubur di situ, tapi udah penuh."
"Hm, entahlah. Mungkin tanahnya udah diperluas."
Setelahnya hening, sampailah kami di rumah Mbah Parto. Rupanya ia sedang berkebun bersama Bude. Melihat kami datang, ia langsung menghentikan aktivitas dan menyambut ramah.
"Kenapa suamimu ikut?" tanya beliau, "saya cuma minta kamu yang ikut, Nak."
"Oh? Maaf, Mbah, kukira nggak masalah kalau mereka berdua ikut. Saya sudah bicara soal ini ke Mas Arif, jadinya dia maksa mau nemenin," jawabku.
"Hm, ya sudah. Nanti sore Mbah aja yang ke rumah kamu."
"Kami pulang duluan aja gak papa, Mbah?" tanya Fany.
"Eh, jangan! Makan sesuatu dulu, nanti kenapa-napa di jalan," tawar Mbah sambil mempersilakan kami masuk.
"Nggak usah, Mbah, ngerepotin. Sebelum ke sini juga sudah makan kok," tolak Fany. Aku dan Mas Arif pun saling beradu tatap.
"Bukan masalah sudah makan atau belum, Dek, tapi menghargai tuan rumah aja. Makan biar sedikit," suruhku. Namun, sepertinya kali ini Fany keras kepala.
"Fany pulang duluan deh, ayo, Kak!" ajaknya pada suamiku. Mas Arif sempat menyicip kue kering dan teh hangat yang disajikan, lalu pamit pulang.
"Nanti pulang naik taksi aja, ya? Bawa uang, `kan?" tanya Mas Arif.
"Bawa kok, Mas. Hati-hati, ya."
Setelah mereka pergi, Mbah pun sedikit menjelaskan perihal ilmu yang digunakan oleh Sarah. Jin yang disembah Sarah lumayan kuat dan sulit dimusnahkan. Namun, dengan bantuan Tuhan dan yakin bahwa kejahatan akan kalah, Mbah percaya diri kali ini. Ia yakin bisa membantuku keluar dari masalah.
Di tengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba Mas Arif menelepon. Aku pun langsung menjawab panggilannya.
"Halo, Mas, ke—"
"Dek! Mas kecelakaan!" ucapnya memotong sapaanku. Tersentak, takut keduanya mengalami luka parah.
"Astagfirullah, Mas. Kok bisa, sih?! Makanya naik mobil tuh hati-hati jangan ngebut!"
"Mas ditabrak, Dek, bukan salah Mas!"
"Mas terluka? Fany gimana?" tanyaku panik.
"Mas cuma luka lecet, tapi Fany ...."
"Fany kenapa?!"
"Fany luka parah sampe pingsan!"
Aku bergegas pamit pada Mbah dan Bude, kemudian berlari sampai depan gang. Memesan taksi dan pergi menuju tempat yang disebutkanMas Arif tadi.
Beberapa orang bergumul mengelilingi TKP. Mataku liar mencari-cari keberadaan Mas Arif yang ternyata sedang duduk di teras rumah orang. Ia memejamkan mata, luka lecet yang lumayan banyak di bagian wajah dan tangan.
"Mas, minum dulu," ucapku sambil menyodorkan botol air mineral.
"Fany gimana?"
"Kaki Fany terjepit, jadi berusaha dikeluarin. Udah dibawa ke rumah sakit," jawabnya dengan napas tersengal-sengal, "Mas takut banget ini, Dek. Mas gak kenapa-napa, tapi Fany kasihan banget," lanjutnya.
"Sudah, Mas, jangan nyalahin diri sendiri. Namanya juga lagi apes."
"Masa ini karena dia nggak mau nyicip makanan dari Mbah tadi?" tanyanya.
Iya juga, ya? Kok bisa begitu?
"Kalau udah bisa bangun, ayo pulang. Atau mau ke rumah sakit juga diobatin?"
Cukup aneh memang jika dipikir-pikir. Luka Mas Arif tidak separah Fany yang sampai terjepit itu.
"Gak usah, habis anter Mas pulang, kamu langsung jenguk Fany aja di rumah sakit. Mas bisa diobatin Bibi," katanya.
Aku mengiyakan dan dibantu bapak-bapak membopong Mas Arif masuk taksi.
Mobil kami ringsek bagian kirinya karena dihantam truk dari arah berlawanan.
***
Aku buru-buru pergi ke kamar nomor 120, tempat Fany dirawat. Ia belum siuman, tapi untunglah dokter mengizinkanku masuk. Karena tidak ad a keluarganya yang datang menjenguk, aku merasa sangat berarti menemaninya di sini.
Jangankan menjenguk, tahu saja mungkin tidak. Aku ingin menghubungi tantenya, tapi hubungan gadis itu dengan keluarga memang kurang baik. Ya, selama masih ada aku, sudah cukup seperti ini.
Kupandangi wajahnya yang lima puluh persen tertutup perban. Beberapa luka lebam di tangannya pun membuatku iba. Entah kebetulan atau bagaimana, ucapan Mbah sebelum kecelakaan benar-benar terjadi. Percaya tidak percaya, hubungannya pun aku tak tahu.
Dua jam menunggu, akhirnya ia sadar dan langsung memanggil namaku. Rupanya ia kehausan, satu gelas air minum pun habis.
"Mbak, Kakak mana?" tanyanya.
"Mas Arif di rumah, dia diobatin Bibi."
"Kakak gak papa, `kan?" Ia masih mengkhawatirkan suamiku, padahal kondisinya lebih parah.
"Nggak papa. Mas Arif cuma luka dikit, besok juga sembuh. Kamu pikirkan kesehatan sendiri aja, ya."
***
Sepulang dari rumah sakit, aku merasa sangat lelah dan malas mandi padahal sudah pukul delapan malam. Bibi menawari air hangat, tapi kutolak mentah-mentah. Rasanya enak rebahan saja untuk sekarang.
Sambil membaca postingan media sosial, aku menyiapkan beberapa vitamin di atas meja. Ya, supaya Mas Arif mudah memgambil obatnya sendiri. Aku cekikikan sendiri jika membaca postingan lucu.
Tap, tap, tap!
Mata mendelik, lincah melihat ke segala arah. Mencari sesuatu yang aneh, tapi tidak ada apa-apa. Mengabaikan, menganggap itu hanya suara hewan.
Duk, duk, duk!
Kini lemariku yang berbunyi sendiri, seakan-akan ada seseorang di dalamnya. Perlahan kudekati, mengumpulkan keberanian. Suaranya semakin jelas, adakah seseorang di dalam?
Karena takut kemungkinan terburuk, aku mengambil sapu di belakang pintu untuk berjaga-jaga.
Kunci pintu diputar, membuka perlahan. Kusibak cepat baju-baju yang tergantung. Sial. tidak ada apa-apa lagi. Sudahlah.
Aku merebahkan diri dan memejamkan mata, sambil mengira-ngira benda apa itu. Mungkinkah hanya tikus?
Namun, kurasa tikus tak membuat suara yang cukup nyaring itu.
Tak beberapa lama kemudian, suara keran air membuatku malas beranjak. Kebiasaan Mas Arif, habis mandi lupa dimatikan.
Berjalan gontai menuju sumber suara. Hanya tetesan kecil, tapi lama-lama boros juga.
Kumatikan keran itu, lalu berbalik badan.
Bruk!
Sesuatu terjatuh, ketika menoleh ternyata botol sampo yang posisinya sudah ada di lantai. Padahal selalu menaruhnya di pinggir, tak mungkin jatuh meski ada angin sekalipun.
Aku mengabaikan, mengambil sampo itu dan meletakkannya lagi di tempat semula.
Ketika masuk ke kamar, rupanya Mas Arif terbaring di kasur berselimut. Kuhampiri ia dan memeluknya dari belakang.
"Hm, kok harummu aneh, Mas? Kayak bau melati," tanyaku sambil mengendus aroma bajunya.
Ia tak menjawab.
"Mas?"
Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi ia tidak menoleh. Sedikit khawatir, akhirnya kubalik tubuh itu secara paksa. Sontak aku berteriak dan pergi menjauh darinya.
""Astagfirullah, Mas!" Aku yang masih syok pun berlari ke dapur, mencari Bibi. Rupanya ia sedang duduk di halaman belakang rumah, sambil memberi makan seekor ayam. Entah dapat dari mana hewan itu.
"Bi, Mas Arif, Bi!" teriakku, "mukanya nggak ada!"
Sama, ia tak merespon dan tetap melempar beras ke ayam itu. Ketika menoleh, aku sudah tahu apa yang terjadi dan langsung membuang muka.
"Suamimu kenapa?" tanyanya datar. Kuberanikan diri untuk mnatapnya dan ....
"Aaa!"
Berlari sekuat tenaga, hampir tertabrak pintu saking takutnya. Kini hanya Fany yang bisa membantuku. Gadis itu sedang belajar di ruang tamu, depan televisi.
Aku langsung memeluknya erat, ia pun bertanya keheranan.
"Kenapa, Mbak?"
"Mas Arif sama Bibi, mereka semua hantu!" jawabku panik.
"Hah? Hantu gimana? Tuh `kan Mbak halusinasi lagi." Ia malah tak percaya.
"Kamu harus percaya sama Mbak, Dek. Mereka jadi hantu yang mukanya rata!" Sontak wajah Fany berubah. Dahinya mengerut dan mengambil ponsel lalu seperti mengetik sesuatu.
Tak lama kemudian, lampu mati dan aku berteriak kaget. Fany langsung menyalakan senter ponselnya dan menyoroti seluruh ruangan. Jujur saja aku takut ada hantu yang menampakkan diri, sehingga memilih menutup wajah dengan kedua tangan.
Tiba-tiba ....
Dor!
"Happy birthday, Risti!"
Aku mendongak dan ternganga. Lampu menyala dan banyak orang keluar dari tempat persembunyian sambil membawa balon. Mas Arif berdiri paling depan dan membawa kue bulat cokelat bertuliskan, "Happy birhtday, My Lovely Wife."
Dengan tenaga yang belum terkumpul sepenuhnya, aku bangkit dan bergeming. Teman-teman yang hadir justru menertawaiku sambil melempar balon.
"Ini apa?" tanyaku bingung.
"Ya, ini hari ulang tahunmu, masa lupa?" jawab Aris lalu kembali tertawa, "lihat ekspresinya lucu banget!"
"Tadi bukannya Mas ...?"
"Bibi mana?"
"Itu di dapur nyiapin makanan."
Kulirik Fany yang senyumnya terlihat dipaksakan, kemudian mereka saling berbisik yang membuatku semakin linglung.
"Oke, wait, tunggu dulu. Jadi ini semua rencana kamu, Mas?" tanyaku di sela-sela kehebohan mereka.
"Iya, Dek. Sengaja," jawabnya bahagia.
Aku duduk di sofa, memijit kening karena yah ... ini berlebihan.
"Kenapa, Dek? Apa yang salah? Kamu gak suka kuenya?" Ia juga duduk di sampingku, merangkul.
Semuanya hening, tapi aku malah menangis.
"Kamu keterlaluan banget, Mas. Kejutan sih kejutan, tapi nggak usah gini juga. Kamu tau `kan aku takut sama hantu," ucapku sesenggukan.
"Hah? Hantu gimana maksudmu?"
"Iya, kamu sama Bibi nyamar jadi hantu muka rata. `kan? Biar nakutin aku?"
Ia bergeming, menatap Fany dan teman-teman yang lain.
"Terus mungkin salah satu dari kalian masuk ke lemraiku dan gedor-gedor? Ada juga yang sengaja nyalain keran air dan ditinggal gitu aja?" lanjutku mengingat kejadian tadi.
"Kamu ini ngomong apa dah? Kami nggak ada lho rencana nyamar jadi hantu seperti yang kamu bilang," ungkap Aris.
"Tapi tadi Mas Arif baring di kasur, terus mukanya nggak ada. Aku ke belakang cari Bibi juga sama, mukanya serem. Untung Fany nggak gitu!"
"Makin ngawur kamu, Dek! Astaga!" Mas Arif mulai emosi dan meminta maaf kepada tamu yang datang.
"Istrimu lagi stres mungkin, Bro. Jadi linglung begitu."
"Dia emang suka begini, maklumi aja, ya."
Aku bangkit dan mendekatinya. Enak saja berbicara seolah-olah aku mempunyai penyakit.
"Aku gak bohong, aku gak halu! Semoga kalian lihat apa yang aku lihat, biar kalian semua percaya!"
"Iya, udah oke kami percaya. Udah, tenang, ya? Tapi sumpah, Dek, nyamar jadi hantu itu di luar rencana kami!" elak Mas Arif.
"Jadi kalau bukan rencana kalian, terus siapa? Jelas-jelas Mas Arif sama Bibi nyamar jadi hantu itu! Mirip!" Aku masih berusaha meyakinkan.
"Lho, Bi Inem dari tadi sibuk di dapurku, Ris. Kami masak di rumahku biar gak ketahuan kamu. Nah, udah jadi baru kirim ke sini buat dipanasin," timpal Aris.
"Jadi? Yang aku lihat itu hantu beneran?"
Tiba-tiba kepalaku pusing dan Mas Arif pun menangkap tubuhku yang hampir ambruk.
"Mungkin kamu kecapean, istirahat aja dulu."