Nightmare - 3

2407 Kata
BAB 3 Bawalah aku pergi dari kesunyian ini. Kalau tak bisa dengan cara berlari, berjalan pun tak apa. ΔΔΔ Arion sedang duduk di gazebo, sambil memainkan benda pipihnya. Sejak satu jam yang lalu dia datang, Arion tak berniat sedikitpun untuk bergabung bersama kedua temannya; Naldo dan Kenan yang sedang asik berenang. Cuaca hari ini begitu cerah, sangat pas untuk menyegarkan tubuh dengan berenang. "Yon, sini turun. Gak asik lo!" gerutu Kenan dengan terengah-engah habis menyelam. Arion menatap Kenan beberapa saat, kemudian kembali pada layar ponselnya. "Lo berenang sama Naldo noh. Gue lagi malas," jawab Arion dengan begitu santai. Dia lebih tertarik dengan ponselnya. Kenan mencipratkan air kolam ke arah Arion. "Apa, sih, yang lo pikirin? Masalah taruhan? Jangan dijadikan beban, Yon. Gue sama Naldo gak mengharuskan lo buat menangin taruhan itu." Kenan berjalan ke arah Arion, mengambil handuk untuk mengeringkan tubuhnya. "Kalau mau mundur, dari sekarang aja. Mau lo?" Arion mematikan layar ponselnya, kemudian menyimpannya. Dia diam beberapa saat, untuk memikirkan tawaran Kenan. "Kasih gue taruhan, tapi jangan Kaila sebagai bahannya. Muak gue sama dia." Naldo tertawa mendengar kalimat Arion. Dia ikut bergabung bersama kedua temannya. "Lo gak tertarik sama mobil BMW keluaran tahun ini, Yon?" tanya Naldo dengan menaik-turunkan alisnya. Naldo tahu siapa Arion, dan bagaimana wataknya. Arion tak mudah untuk mundur dalam situasi apapun. Dia tak pernah menjadi pengecut, hanya karena tak mampu mengalahkan musuh. Ini bukan mengenai sebuah hadiah yang dijanjikan, namun tentang sebuah perasaan yang tak pasti kejelasannya. Kenan menepuk bahu Naldo. "Gak ikut taruhan sekalipun gue yakin dia mampu beli mobil itu, Do. Kecil bagi dia harga mobil segitu." Arion meneguk minumannya. "Gue gak habis pikir aja sama jalan pikir Kaila. Dia beda. Gue gak bisa menjadikan dia bahan taruhan kita. Cari cewek lain aja." Kenan menaikkan sebelah alisnya. "Apanya yang beda, Yon? Jangan bilang ... lo mulai jatuh cinta sama dia? Astaga, padahal baru sehari lo dekat sama dia, Yon. Gak salah lo?" Dia memastikan. Arion yang dikenal tak mudah menaruh hati pada sembarang perempuan. Selama mereka berteman, cuman Arion yang tak pernah menjalin hubungan dengan perempuan. Bukan karena tak laku, namun Arion begitu pemilih dalam hal yang satu itu. "Hebat si Kaila bisa buat hati seorang Arion luluh. Jadian aja, Yon. Gak bakal rugi banyak kalau pacaran sama dia, gak jelek-jelek amat kok orangnya." Naldo memberikan pendapat. "Ya, walaupun gak sebohay Clara, sih. Ya, gak, Ken?" Naldo menyenggol lengan Kenan, meminta persetujuannya. "Lo kebanyakan nonton video gak bener, Do! Otak lo sudah bengkok." Kenan menggeleng-gelengkan kepalanya, heran. "Nyari pacar itu karena cinta, bukan nafsu!" kesalnya. Kenan ingin sekali melempar gelas kaca minumannya sampai melukai kepala Naldo, siapa tahu dapat meluruskan akal sehat laki-laki itu. Naldo mengangkat sebelah bahunya, nampak tak perduli dengan apa yang diucapkan oleh Kenan. "Besok libur. Gue mau ngajak Kaila jalan-jalan." Kenan dan Naldo seketika menoleh ke arah Arion. Menatap bingung ke arahnya. "Gue bukan seorang pengecut yang akan mundur begitu aja. Lo berdua lihat nanti, gue bakal menangin taruhan ini." Arion tersenyum miring. Sebuah ide muncul di kepalanya. Naldo menaikkan sebelah alisnya. "Beneran, Yon, gue gak bohong kali ini. Pikiran lo kayak adik gue. Labil bener!" kesal Naldo. "Lanjut apa mundur, huh?" "Kita jalani aja dulu." Kenan melebarkan matanya. "Kita? Lo aja, Yon. Gue mah ogah sama si Kaila." Tatapan Arion beralih kepada Naldo. "Ke mana-mana jauh lebih top Clara, Yon. Gue gak doyan Kaila. Badannya gak rata-rata amat, sih, tapi tetap gak sebesar punyanya Clara." Kenan menyiramkan sisa minumannya mengenai Naldo. "Dasar setan! Gak ada benernya otak lo, Do!" umpat Kenan saking kesalnya. Kesalahan apa yang dia perbuat di masa lalu, hingga memiliki teman selaknat Naldo? Bukannya marah, Naldo malah tertawa keras. Kenan tak salah menyiramnya seperti itu, dia pantas mendapatkannya. Mau bagaimana lagi? Naldo memang menyukai perempuan sejenis Clara, yang mempunyai daging berlebih--di bagian tertentu. "Do, gak ada makanankah? Gue laper." Ucapan Arion menghentikan tawa Naldo. "Modal sedikit kenapa, Do, masa setiap kali kita ke sini cuman disediain minuman ginian doang. Rumah besar, mobil banyak, perusahaan bokap lancar, kenapa anaknya pelit begini?!" gerutu Arion. Tawa Kenan-lah yang pecah kali ini. Dia mengacungkan jempolnya pada Arion. Tak sia-sia dia memiliki teman seperti Arion. Kelewat jujur. "Ayo ke dapur, gue perlihatkan sama lo pada kekayaan yang gue miliki. Mau makan apa lo berdua, huh? Sapi, kambing?" Naldo menunjukkan wajah sombongnya. Membuat siapa saja yang melihatnya, berniat ingin segera melenyapkannya saat itu juga. "Kebanyakan gaya lo, Do. Nyediain telur mata sapi buat kita berdua aja setahun sekali, pakai acara nawarin sapi sama kambingnya beneran!" Sebelum meninggalkan Naldo, Arion menyempatkan memberikan pukuannya tepat mengenai kepala anak itu. "Nasi goreng, sama ayam goreng madu, Do!" ucap Arion seperti sedang berada di sebuah rumah makan. "Modalan dikit, ya, Do. Jangan cuman nasi putih doang yang lo goreng--tanpa bumbu, atau ayam goreng biasa yang di olesi madu. Sediakan kita makanan kayak di rumah makan sungguhan. Tamu adalah raja, Do, gak ada salahnya membahagiakan seorang raja." Arion menambahkan ucapannya, sebelum punggung laki-laki itu benar-benar menghilang dari balik tembok. "Gue samain sama Arion aja." Kenan menyusul kepergian Arion. "Gue pinjam baju, ya, Do. Jangan pelit-pelit, nanti hidup lo gak beruntung." Naldo berkacak pinggang di tempatnya. Dia mendengus kesal. Sering sekali dia bertanya; Kenapa dia harus memiliki dua teman yang tak berguna macam Kenan dan Arion? "Jangan diacak-acak kamar gue, kalau gak mau gue tendang kalian berdua!" teriak Naldo pada kedua temannya yang sudah berada di lantai dua. **** Arion menghemaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Dia sudah melepas kaos yang tadi dipakainya, dan melemparnya ke sembarang tempat. Anaya berkacak pinggang ketika sampai di depan kamar Arion. Kamar di hadapannya itu seperti kapal pecah, semua barang tak berada pada tempat yang benar. "ARION!!!" Laki-laki itu melompat dari atas tempat tidurnya, dia sangat terkejut mendengar teriakan sang bunda secara tiba-tiba. Untung saja jantungnya buatan Tuhan, kalau saja buatan manusia sudah tak berbentuk lagi. "Baju, sepatu, tas, jaket, semuanya di mana-mana. Ini namanya kamar atau tempat pembuangan pakaian bekas, Arion?" kesal Anaya. "Tempat karaoke, Bun. Sudah tahu ini kamar, masih aja nanya!" jawab Arion dengan begitu tak tahu di dosa. Dia mengusap wajahnya, kemudian berniat kembali berbaring ke atas tempat tidurnya. Emosi Anaya semakin menjadi melihat kelakuan Arion, tangannya meraih raket nyamuk yang berada di atas meja Arion. Mengangkatnya seperti ingin memukulkan alat pemati nyamuk tersebut kepada Arion. "Mau Bunda setrum kamu pakai alat ini?" ancam Anaya. "Bunda ini gimana, sih, anak sendiri kok disamain sama nyamuk. Ke mana-mana jauh kerenan Arion," ucapnya dengan menunjukkan wajah memelasnya. "Ekspresi kamu itu, menunjukkan seperti orang yang paling menderita! Padahal hobinya membuat orang lain menderita!" Arion melebarkan matanya. "Arion bingung sama Bunda, kok gak ada manis-manisnya kalau ngomong sama Arion. Bawaannya pengin marah terus. Bunda lagi PMS? Tapi, kok kayaknya setiap hari PMS-nya?" Dia menggelengkan kepalanya heran. "Kamu ini kecilnya lucu banget, eh sekali besarnya--" "Sekali besarnya begitu menggemaskan. Iyakan, Bunda?" potong Arion, dia menaik turunkan alisnya berniat menggoda Anaya. "Iya, saking gemasnya pengin Bunda cekik kamu!" Anaya mendekati putranya, kemudian menjewer telinga Arion. "Aduh, Bunda, sakit. Ampun ...." Jewerannya tak kunjung dilepaskan oleh Anaya, kalau saja dia tergolong pada orang yang tak berperaaaan. Dia tak segan untuk memutuskan telinga putranya ini. Begitu menggemaskan, bukan anaknya ini? "Bersihin kamar kamu ini, Arion. Kalau gak beres sampai makan malam siap, kamu gak boleh makan!" Anaya memperingati. "Ini gak bohongan, Arion. Bunda lagi serius!" "Bunda kok tega gitu sama, Arion? Suruh Bibi aja, ya, bersihinnya?" Anaya mempelototi Arion. "Arion punya banyak tugas, Bunda. Gak sempat beres-beres," alibinya. "Jangan kebanyakan alasan kamu. Bunda sudah gak habis pikir sama kelakuan kamu ini, Arion. Astaga!" "Sabar, Bunda. Jangan marah-marah terus. Arion gak mau Bunda darah tinggi, mau memangnya?" Anaya lantas memukul lengan Arion. "Kamu mendoakan Bunda darah tinggi? Kamu ini! Sudah sana beresin kamar kamu! Bunda ke bawah dulu, lima belas menit gak selesai, Bunda beri hukuman kamu!" Arion mengangguk pasrah. Memangnya mau bagaimana lagi? Kabur? Bukan cara yang tepat. Tidur? Bisa ditenggelamkan ke laut. "Apa kamu mendengar, Arion Kenzo Prakoso?" "Mendengar, Bunda Anaya." "Bagus. Itu baru namanya anak Bunda." Anaya melangkah keluar dari kamar Arion. Senyum tercetak dengan jelas di wajahnya. Sebenarnya dia tak tega sekali memarahi putranya, tapi bagaimana lagi? Anak itu selalu saja berbuat semaunya. Sulit mendengarkan apa yang dia katakan. Dan, tak pernah menganggap keseriusan yang dia tunjukkan padanya. Arion selalu bersikap seperti anak kecil berusia 6 tahun ketika bersamanya. Melakukan hal diluar dugaan Anaya. Tak jarang, putranya tersebut meminta ditemani tidur. Anaya hanya berharap; Semoga nakalnya Arion hanya sebatas ini saja. Jangan sampai mengukir kekecewaan yang sulit untuk dimaafkan. Arion. Nama itu yang selalu menjadi sumber kebahagiaan Anaya. **** Tawa Shafiya pecah, memenuhi ruang keluarga. Wanita itu memegangi perutnya yang mulai terasa kram. Curahan hati Arion-lah yang membuatnya tertawa seperti itu. "Mbak Yaya dulu juga sering gak di marahin sama Bunda?" tanya Arion kemudian. Shafiya menggeleng. "Hampir gak pernah kayaknya. Mbak dulu gak sejahil kamu soalnya," balasnya sambil terkekeh. Arion menatap datar ke arah Shafiya, yang sedari tadi terus saja memojokkannya. "Iya, iya. Yang anak baik-baik mah beda," jawab Arion. Dia melipat sebelah kaki kanannya, kemudian meletakkannya ke atas paha sebelah kirinya. "Biasa-lah, Shafiya. Dia gak jauh beda sama Uncle kamu, lihat aja kelakuan mereka. Sebelas, duabelas." Anaya ikut menyindir. Dia membawakan setoples kue kering untuk cemilan sambil mengobrol. "Gara-gara kamu Ayah kena getahnya, Arion!" Andre menyahut karena tak terima namanya dibawa-bawa dalam perdebatan yang tak pernah ada habisnya itu. Arion terkekeh. "Biar adil, Yah. Masa cuman Arion sendirian yang dimarahi Bunda." Andre melempar Arion dengan cemilan kacang polong miliknya. "Ngidam apa Bundamu dulu, sampai anaknya ngeselin minta ampun kayak kamu gini, Yon, Yon." Pria itu menggelengkan kepalanya, benar-benar tak habis pikir. "Gara-gara kebanyakan ngemil garam diam-diam tuh, Uncle." Shafiya ikut menyahut, diiringi tawa khas dirinya. Andre menyetujui ucapan Shafiya. "Kesian kamu, Yon!" sindir Andre sambil terkekeh. Anaya melebarkan matanya. "Sekarang kamu akan bersekutu dengan tim Uncle, Shafiya? Baiklah, tiga lawan satu." "Bunda jangan kebanyakan drama gitu. Hidup kok hobi banget nge-drama." Arion melipat kedua tangannya di depan d**a sambil memperhatikan ekspresi aneh bundanya. Tawa Andre dan Shafiya seketika pecah. Mulut Arion benar-benar minta disumpal pakai kaos kaki busuk milik ayahnya! batin Anaya. "Mau Bunda masukin lagi kamu ke dalam perut, Arion?" kesal Anaya tak terima dengan ucapan asal Arion. "Boleh, deh, Bunda. Siapa tahu nanti pas keluarnya aku tambah ganteng, melebihi Shawn Mendes." Arion mengedipkan sebelah matanya, mencoba menggoda sang bunda. "Wajah pas-pas begitu banyak gaya. Mungkin bener kata Shafiya sama Ayah, kelakuan nyeleneh kamu ini gara-gara dulu Bunda keseringan ngemil garam diam-diam." Anaya memijat pelipisnya. "Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa Bunda, biar ngeselinnya kamu ini berkurang sedikit." Arion mendekatkan duduknya pada Anaya. Menyandarkan kepalanya dibahunya. "Arion jadi kalem akan beda lagi suasananya, Bunda." "Gak ada muka kalem-kalemnya anak macam kamu ini, Arion." Shafiya memeletkan lidahnya. "Jangan keseringan mengatai Arion, ya, Mbak. Nanti anaknya sebelas duabelas sama Arion baru tahu rasa." Anaya terkekeh mendengar jawaban dari Arion. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala putranya. Shafiya memajukan bibirnya, kemudian mengelus perutnya, dan berkata; "Jangan ngeselin kayak Arion, ya, Sayang. Bisa sampai telinga nanti mulut Mama." "Kenapa gak ada yang mau sebelas duabelas sama Arion, Bun? Padahal Arion ganteng, pintar, baik lagi." Dengan tingkat percaya diri yang begitu luar biasa, dengan lancar dia mengucapkan kalimatnya. "Tanyakan pada pohon yang bergoyang sana!" gerutu Andre yang sedari tadi tampak serius dengan tim sepak bolanya. Arion balas melempar sang ayah dengan cemilannya. "Gak salah kalau sikap Arion ngeselin kayak gini, orang ada yang diturutnya." "Siapa yang kamu maksud, Arion?" Andre menatap datar ke arah Arion. "Coba tanyakan pada daun yang berguguran." Tatapan bertempuran perang diberikan Andre kepada Arion. "Sekarang Ayah yang lagi PMS? Hebat Mbak sekarang rumah ini, kalau gak Bunda yang PMS, berarti Ayah. Padahal muka Arion ini menyejukkan hati, kok orang rumah pada suka marah?" tanyanya dengan tampang tak berdosanya. Shafiya melempar Arion dengan bantalnya. "Menyejukkan darimananya? Manusia paling nyebelin iya kamu ini, Arion!" **** Berbeda dengan kehangatan sebuah keuarga yang dimiliki Arion, saat ini seorang gadis tengah duduk di sebuah sofa yang dia letakkan di dekat jendela kamarnya. Dia memeluk kedua kaki yang dilipatnya, sambil mengamati langit yang terlihat begitu indah malam ini. Beginilah suasana rumahnya, begitu sunyi. Tak ada teman, dan kedua orangtua yang akan menemaninya bercerita, yang akan bersedia mendengarkan keluh kesahnya. Dari kecil, dia tak memiliki seorang teman dekat, yang akan selalu ada bersamanya ketika dia sedih maupun senang. Yang akan menenangkannya ketika dia merasa ketakutan, dan yang menjadi penyemangatnya ketika dia terjatuh. Terkadang beberapa pertanyaan terlintas di benaknya; Mengapa aku tidak memiliki keluarga yang utuh? Kenapa tidak ada yang ingin menjadi teman dekatku? Kenapa semua orang seperti tak menginginkan keberadaanku? Air matanya lolos, membasahi kedua pipinya. Tuhan pun kemudian mengambil ayahnya, seseorang yang begitu berharga untuknya, yang begitu disayanginya. Waktu itu sempat terpikir; Apakah Tuhan tak cukup dengan mengambil ibunya? Kenapa harus mengambil ayahnya juga? Apakah Tuhan memang menakdirkan dia untuk hidup seorang diri di dunia ini? Nenek. Hanya dia yang kini gadis itu miliki. Seseorang yang juga begitu berharga dalam kehidupannya, melebihi dirinya sendiri. Setiap saat selalu dia panjatkan doa agar sang pencipta tak berencana untuk mengambil neneknya juga. Jujur saja, dia belum siap kehilangan wanita itu. Hanya sang nenek yang membuatnya masih bertahan menghadapi lika-liku kehidupan ini. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun inilah realita kehidupannya. Jangan mengira kalau dia adalah seseorang yang tak pernah mempunyai rasa iri pada orang lain. Bahkan, hampir setiap hari dia selalu merasakannya. Iri kepada semua orang bisa merasakan kasih sayang dari kedua orangtua yang masih utuh. Iri ketika mereka bisa memeluk ibunya, dan berkata 'Ibu hari ini banyak sekali kegiatanku, ini sangat melelahkan' dan kemudian sang ibu mengelus puncak kepala anaknya, melenyapkan rasa lelah yang sedang dipikulnya. Dan, begitu iri ketika melihat orangtua mereka menyempatkan waktu untuk menghadiri setiap acara yang diadakan oleh pihak sekolah atau kampus. Berjalan berdua, bercanda, ataupun sekedar mengobrol bersama. Benarkah ini kehidupan yang katanya sangat indah dan begitu menyenangkan? Isak tangisnya terdengar, sungguh pilu. "Ibu, Kaila kangen Ibu. Andai waktu bisa berhenti, sebentar aja. Kaila ingin sekali memeluk ibu, mencium, dan berkata kalau Kaila sangat menyayangi Ibu." Kaila membenamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Lagi-lagi malam ini dia harus menangis, meratapi kesedihan demi kesedihannya. "Kenapa gak ada yang ingin berteman sama Kaila, Bu? Kenapa gak ada yang ingin berbagi cerita sama Kaila? Kapan Kaila bisa merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan? Mempunyai banyak teman, yang akan membuat hari-hari Kaila terasa begitu menyenangkan." "Maaf, Ibu, karena Kaila selalu melanggar janji Kaila pada Nenek. Janji gak akan menangis, dan mengeluhkan segala kesusahan yang Kaila rasakan. Kaila cuman ingin mengungkapkan apa yang sedang Kaila rasakan. Apa Ibu marah?" ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN