Pelajaran dimulai di Morgana High School.
Hari ini Bevrlyne dan Velgard berada di dalam kelas yang berbeda, mereka mengambil mata pelajaran berbeda sehingga saat ini Bevrlyne duduk sendirian, Erina sendiri berada di dalam kelas Velgard sehingga tidak satu pun orang yang dekat dengannya menjadi teman sebangku dengannya. Tentu saja Bevrlyne malah lebih senang dengan hal tersebut, ia malas apabila ada orang lain yang tidak akrab dengannya malah berada duduk di sampingnya.
Saat ini Bevrlyne sedang bermain ponselnya secara diam-diam. Ia tidak memperhatikan bukan karena tanpa sebab, ia tidak memperhatikan dikarenakan merasa bosan, pasalnya materi yang saat ini sedang dibahas adalah materi yang sudah dirinya pelajari beberapa hari yang lalu, dan materi ini sudah benar-benar dirinya ingat dengan baik, tidak ada gunanya memperhatikan dan mendengar guru yang sedang berbicara panjang lebar.
Ia membuka sosial media lalu melihat postingan orang-orang yang merupakan murid dari Morgana. Tentu saja, ia menggunakan nama samaran yang mana tak siapa pun tahu termasuk Erina dan Velgard sekalipun. Entahlah mengapa ia ingin melihat beberapa murid laki-laki dan perempuan pada sosial media mereka. Beberapa postingan membahas mengenai tim football Morgana yang sebentar lagi akan melakukan pertandingan.
Dari banyaknya postingan dan komentar yang ada, sepertinya cukup banyak orang yang meminati olahraga yang satu ini, apalagi bisa dibilang para pemainnya adalah sekumpulan pria tampan dan tinggi.
Velgard adalah salah satu pria tampan itu sendiri, meski sebenarnya ia tidak terlalu tinggi dan tidak besar. Ukuran tubuh dan tingginya normal dan standar saja seperti laki-laki pada umumnya. Berbeda dengan Jace yang bisa dikatakan tubuhnya memiliki otot yang bagus, selain itu Jace juga lebih tinggi beberapa kaki dari Velgard.
Bevrlyne menyudahi aktivitasnya ketika pasang telinganya mendengar ketika guru di depan para murid memanggil namanya. Ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu berdiri. Ternyata, ia dipanggil bukan karena tertangkap basah tidak memperhatikan dan lebih memilih main ponsel, melainkan ia diminta untuk mengerjakan tugas.
Bevrlyne maju ke depan lalu mengerjakan semuanya dengan terlalu mudah seolah semuanya sudah ada di dalam ingatannya. Belum selesai ia menulis, tiba-tiba saja ia merasakan sensasi aneh pada tangan kanannya, seketika saja ia berhenti menulis lalu menarik tangannya sambil menunduk.
“Ada apa, Drexell?”
“Maaf, aku tiba-tiba saja tak enak badan, aku harus ke toilet.” Ia membalas sambil memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Tanpa mengatakan apa-apa dan tanpa menunggu tanggapan, ia segera meraih tasnya lalu berlari meninggalkan kelas.
“Ada apa dengan tanganku? Rasanya ada sisik dan selaput yang tiba-tiba tumbuh.” Sambil berlari kecil, Bevrlyne berbicara dalam benaknya. Ia tidak ingin melihat apa yang tengah terjadi pada tangannya, sebisa mungkin saat ini yang harus dirinya lakukan adalah pergi menuju tempat yang tak diketahui siapa pun.
“Ini pasti gara-gara kekuatanku yang muncul lagi. s**l, aku harap aku menyembunyikan perubahannya tepat waktu, jangan sampai ada siapa pun yang melihatku dengan kekuatan aneh yang muncul ini.”
Ia berbelok menuju lorong lain lalu berlari lurus ke depan, kali ini bukan hanya tangan kanannya saja yang terasa mengalami perubahan bentuk, tangan kirinya juga mulai melakukannya, tangan itu terasa mulai ditumbuhi sesuatu yang Bevrlyne sendiri tidak tahu apa itu sebenarnya.
Keadaan lorong cukup sepi mengingat saat ini setiap murid pastinya tengah berada di kelas masing-masing, untunglah baginya karena ia tidak perlu mengambil risiko tak diketahui siapa pun. Ketika ia akan berbelok ke lorong lain, tiba-tiba saja tepat di lorong itu ada seorang pria yang merupakan pelatih tim football.
Secara refleks Bevrlyne menghentikan langkahnya, sebenarnya ia ingin berbalik badan lalu bersembunyi agar tidak bertatap muka dengannya, sayang sekali pria itu sudah melihatnya.
“Drexell!” panggil sang pelatih. Frederick Alexander namanya. Bevrlyne benar-benar tak bisa menghindar lagi ketika namanya sudah dipanggil.
“Ya, sir.” Bevrlyne menyahut sambil berjalan ke hadapan Mr. Alexander yang menghentikan langkahnya.
“Kau tidak di kelasmu?” tanyanya. Mengingat ini adalah jam pelajaran, wajar apabila pertanyaan itu dilontarkan pada murid yang berkeliaran di lorong.
Pada saat itu ada sesuatu dari tangannya yang menusuk dan mengiris kulit perutnya. Sebisa mungkin ia menahan sensasi yang memaksa tangannya keluar dari balik bajunya.
“Ada beberapa urusan pribadi yang harus kulakukan di toilet, urusan wanita.” Bevrlyne segera menekankan kata-kata terakhirnya sebagai isyarat sehingga Mr. Alexander tidak lagi mengorek lebih dalam lagi karena orang dewasa jelas paham pasti apa yang dimaksud. “Jika Anda tidak keberatan, aku sedang terburu-buru.” Bevrlyne melanjutkan dengan meminta.
Karena melihat gadis muda di depannya tampak tergesa sambil menyembunyikan kedua tangan di balik bajunya, ia segera berpesan dan mengatakan pada intinya. “Ah, maaf soal itu, aku hanya ingin mengatakan kalau kau bertemu saudaramu, katakan kalau aku mencarinya.”
Bevrlyne segera mengangguk. “Akan kulakukan, kalau begitu permisi, aku bisa kebocoran di sini.”
“Ya, silakan.”
Setelah diberi izin, maka Bevrlyne segera berlari melewati Mr. Alexander. ia langsung berlari secepatnya menuju ke toilet wanita, tempat yang entah mengapa terasa begitu jauh ketika dirinya sedang benar-benar tergesa.
Selang beberapa detik kemudian, ia tiba di depan toilet. Ia memasukinya begitu tergesa, untunglah di dalam sana sepi, meski begitu Bevrlyne tidak segera mengeluarkan tangannya, ia tidak ingin ambil risiko diketahui, sebagai gantinya ia segera masuk ke dalam salah satu bilik toilet lalu, pada saat itulah ia berani mengeluarkan tangannya lalu segera mengunci pintu bilik toilet.
Ketika pintu terkunci, barulah ia bisa leluasa terkejut dan terperanjat karena secara bersamaan saat ini ia melihat kedua tangannya sudah tak seperti tangan manusia lagi.
“Apa ... apa ini?” Ia membelalak menyaksikan kedua tangannya sendiri. Saat ini tangan itu sudah berwarna bertambah besar dan panjang, memiliki kuku tajam dan dilapisi sisik biru gelap. Sisik itu sudah tumbuh hampir menuju sikunya. Lalu pada sela-sela jarinya kini terdapat selaput yang sepertinya lebih elastis dari karet dan lebih kuat dari bahan karet ban apa pun.
Bevrlyne ingin berteriak, tapi ia sengaja menahan suaranya agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.
“s**l, bagaimana bisa ini terjadi?” Bevrlyne bergumam penuh kepanikan. Ia tak menyangka bahwa sesuatu seperti ini malah terjadi pada dirinya. Selama ini kekuatan aneh yang muncul secara tiba-tiba tidak pernah memberikan perubahan pada tubuhnya.
Selain mata menyala, semuanya adalah hal yang berbeda, itu seperti kekuatan kineser saja. Sekarang ia malah mendapatkan kekuatan yang mengubah bentuk tubuhnya, ia takut apabila dibiarkan lebih lama lagi maka seluruh tubuhnya akan berubah bersisik biru.
“Ap ... apa yang terjadi padaku?”
Sebelumnya, ketika matanya menyala, itu hilang sendirinya dalam waktu setengah jam. Apa ia juga harus menunggu selama itu? Rasanya ia akan mendapatkan masalah, apalagi ia meminta izin pada guru hanya untuk sebentar saja.
“Tidak ada cara lain, aku harus menunggu ini normal kembali.”
Maka selama beberapa menit lamanya Bevrlyne duduk menunggu waktu berlalu. Sudah beberapa lama berlalu, tak ada tanda-tanda akan ada kembalinya normal tangan itu, yang ada malah ukurannya jadi bertambah besar saja.
Waktu pun tak terasa berlalu, setengah jam kemudian, keadaan tangannya malah semakin memburuk.
“Tak ada cara lain, aku harus meminta bantuan. Ini tidak bisa dibiarkan, aku tak mau tanganku malah semakin buruk saja kondisinya.”
Bevrlyne segera mengeluarkan ponsel di dalam tasnya. Sialnya, ia yang tak menyangka akan memiliki sensasi yang jauh berbeda antara tangan biasa dan tangan monsternya saat ini langsung merusak bagian dalam tasnya.
“Oh, s****n! Aku harus lebih berhati-hati lagi.”
Meski beberapa saat ia mengacaukan isi tasnya sendiri, pada akhirnya ia berhasil mengeluarkan ponselnya. Tanpa membuang waktu, ia langsung menghubungi Velgard untuk meminta bantuan.
Perlu waktu agar pria itu bisa menjawab, satu kali panggilan dibiarkan berakhir begitu saja tanpa diangkat, Bevrlyne tidak menyerah, ia melakukan panggilan untuk kedua kalinya.
Sebenarnya ia tidak ingin meminta bantuan, ia tidak ingin kekuatannya diketahui oleh siapa pun. Sayangnya, daripada ia di sana lebih lama lagi lalu keadaan menjadi semakin buruk, maka ia lebih memilih untuk meminta bantuan saja.
Ia harus percaya pada saudaranya sendiri, orang yang paling dekat dengannya sepanjang ia hidup di dunia. Ia harus yakin bahwa Velgard tidak akan takut padanya, bahwa saudaranya akan membantu dirinya ketika berada dalam keadaan sulit seperti ini.
Beberapa detik kemudian, panggilan akhirnya diangkat.
“Ada apa, Bev? Kau tahu aku sedang berada di dalam kelas. Kau harus punya alasan yang kuat untuk memanggilku.” Dari seberang sana Velgard terdengar begitu tak senang, nada bicaranya yang pelan jelas memberi tanda bahwa ia tidak ingin percakapan itu terdengar oleh siapa pun.
“Datanglah ke toilet wanita, sekarang.” Bevrlyne langsung memerintahkan, ia sama sekali tak repot-repot mendengarkan celotehan Velgard. Untuk sesaat dari seberang sana tak terdengar balasan, mungkin saja saat ini Velgard terkejut karena perintahnya.
“Bev, aku dimarahi gara-gara harus menjawab panggilan darimu dan sekarang kau memintaku pergi ke toilet wanita?” sergah Velgard tak senang.
“Lakukan saja, ini darurat.” Bevrlyne menegaskan. Ia benar-benar tak bisa menjelaskan keadaannya saat ini, Velgard harus melihat sendiri keadaan tangannya.
“Tunggu, kau hamil? Ah, tidak mungkin, apa kau lupa membeli pembalut? Aku harus membawakan untukmu?” tanya Velgard yang pikirannya menjurus ke sana. Memangnya apalagi urusan seorang gadis yang beranjak dewasa di dalam toilet? Hanya hal itu saja yang terpikirkan oleh Velgard.
“Bukan itu, i***t, cepat saja datang ke sini! Aku tak bisa mengatakannya lewat telepon.” Bevrlyne hampir membentak, tapi untungnya ia bisa berbicara cukup pelan sambil menahan emosinya.
“Oke, oke, aku harap ini benar-benar penting.”
“Cepatlah, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, hanya kau yang bisa menolongku.”
Setelahnya panggilan terputus, Bevrlyne memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu duduk menunggu, ia tak tahu bahwa menyembunyikan kekuatan akan berakhir seperti ini.