11.Kepulangan

1600 Kata
"Gledek ... gledek ... gledek ...!" Bunyi besi saling bertautan terdengar sampai ke dalam. Gadis berkuncir, berparas cantik memutuskan untuk menghabiskan perjalanan ini dengan menjelajahi alam mimpi. Dia hanya membawa tas ransel yang diletakkan di atas pangkuannya. Kereta melaju dengan cepat, tidak mengenal lampu merah. Beberapa kali kereta berhenti di stasiun, tapi tak bisa mengusik kenyamanan gadis itu. Dia terlanjur terbuai di alam bawah sadarnya. "Ting! Ting! Ting! Kereta memasuki Stasiun Lempuyangan." Terdengar suara dari mikrofon stasiun. Dahlia menggeliat dari tidurnya. Dia mengucek kedua matanya. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah jam delapan," ujarnya singkat. Matahari sudah bertengger di peraduannya. Suasana yang telah lama dia rindukan. Dahlia berdiri lalu menggantung ransel di punggungnya. Dia membenarkan ikatan rambut yang telah berantakan karena tidurnya. Dengan mantap, Dahlia melangkahkan kaki menuju pintu kereta. Kaki kirinya menapak ke lantai stasiun, diikuti kaki kanannya. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Perasaan bahagia yang benar-benar membuncah dikarenakan keberhasilan operasi bapaknya dan juga kerinduan yang sebentar lagi akan terobati. Dari stasiun, Dahlia memilih memesan aplikasi ojek online. Diambilnya gawai yang berada di dalam tasnya dan ditutulnya aplikasi warna hijau itu. Selang beberapa menit, Dahlia dihampiri sepeda motor dengan pengendara yang memakai jaket hijau. Pengendara itu menyerahkan helm kepada Dahlia, kemudian tanpa ragu Dahlia naik ke atas motor itu. "Sesuai aplikasi ya, Mbak?" ujar sang driver sesaat setelah Dahlia naik ke atas motornya. "Iya, Mas." Di sepanjang perjalanan, Dahlia menuntaskan kerinduan matanya akan suasana kota kelahirannya itu. Terhitung sudah dua tahun sejak terakhir dia pulang. Tidak banyak yang berubah, masih seperti dulu. "Pulang dari mana, Mbak?" Pengemudi itu membuka percakapan. "Jakarta, Mas," jawab Dahlia singkat. Matanya masih sibuk menelanjangi sudut jalanan kota Jogja. Tak seperti ibu kota yang selalu berkutat dengan kemacetan dan hawa panas, jalanan di tanah kelahirannya ini sangat lenggang dan meniupkan angin sepoi-sepoi. Meski cukup padat tapi tidak bisa dibilang macet. Dahlia memejamkan matanya, sengaja dia hirup udara Jogja dengan rakusnya agar memenuhi paru-parunya. Tak terbayangkan betapa rindunya dia akan suasana tempat kelahirannya itu. "Nanti berhenti di depan situ ya, Mas." Tangan Dahlia mengacung pada sebuah rumah bercat hijau di depan sana. Pengendara ojek online itu mengangguk patuh pada penumpangnya itu. Setelah perjalanan sekitar setengah jam akhirnya Dahlia menapakkan kakinya di tempat ia dibesarkan. Di sebuah desa yang terletak di dekat Sungai Progo. Untuk sampai di sana harus melewati jembatan yang membentang membelah Sungai Progo. Desa yang masih banyak pepohonan di sekelilingnya. Dia mengeluarkan satu lembar berwarna biru dari dalam dompetnya. "Udah kembaliannya ambil aja, Mas."  "Terimakasih, Mbak." Si driver pun menerimanya dengan mata berbinar. Setengah berlari Dahlia bergegas memasuki rumahnya. "Assalamu'alaikum." Tak lupa saat melewati pintu depan dia mengucapkan salam. Seorang wanita paruh baya segera berhambur dari dalam kamar. Dengan netra berkaca-kaca, wanita itu segera merengkuh Dahlia dalam pelukan. Tangis pun pecah di antara keduanya. "Ibu ..., Dahlia kangen," kata Dahlia masih dengan terisak. "Ibu juga, Nduk." Wanita paruh baya itu menciptakan jarak di antara keduanya. Dipandangnya wajah cantik putri yang selama ini dirindukannya. Tangannya mengusap pipi Dahlia yang sudah basah oleh air matanya. "Kamu tambah cantik, Lia." Kedua tangan wanita paruh baya itu menangkup wajah Dahlia. Dipandangnya wajah anaknya itu seakan menuntaskan kerinduannya selama ini. "Bapak mana, Bu?" Tanpa menunggu jawaban ibunya, Dahlia berjalan menuju kamar orang tuanya. Di atas dipan, dilihatnya sosok pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Masih dengan mata terpejam dan selang infus di tangannya. Dengan perlahan Dahlia menghampiri tempat bapaknya itu berbaring. Sudut netranya masih terus mengeluarkan cairan bening, sedang tangannya terus-menerus mengusap pipinya bergantian. Darti menatap haru pertemuan bapak dan anak itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini Dahlia memang lebih dekat dengan bapaknya. Dahlia meletakkan bokongnya di pinggir dipan tempat bapaknya berbaring. Diusapnya rambut bapaknya yang sudah mulai memutih. Tangannya beralih memegang tangan Wira dan diciumnya dengan penuh takzim. "Ini Lia, Pak," ucap Dahlia lirih. Gadis itu menuntun tangan bapaknya agar mengelus pipinya. Diciumnya telapak tangan bapaknya itu berkali-kali. Kedua netra Wira bereaksi atas sentuhan dari anak perempuannya itu. Darti yang melihat keajaiban itu segera berhambur menghampiri suaminya. "Mas ...." Dengan penuh kelembutan dia membelai rambut suaminya itu. "Dahlia pulang, Mas." Perlahan-lahan Wira mampu membuka matanya. Dengan mata berbinar dipandangnya anak gadis satu-satunya itu. "Lia ...," panggil Wira dengan suara nyaris tak terdengar. Dahlia memajukan wajahnya mendekati Wira. "Iya, Bapak. Dahlia sudah pulang." Dahlia menggigit bibir bawah dan bibir atasnya bergantian. Air mata yang sudah membendung di sudut netra di tahannya agar tak keluar. Dia tak mau bapaknya khawatir ketika melihatnya menangis. Pandangan Dahlia beralih ke ibunya. Seakan mengerti perasaan putrinya, Darti merangkul pundak Dahlia dan menuntunnya keluar kamar. Tangis Dahlia pecah di pelukan wanita yang melahirkannya itu. Dengan sayang Darti mengelus punggung Dahlia. "Sudah ... sudah .... Bapakmu baik-baik saja. Tinggal masa pemulihan saja." Kedua ibu dan anak itu saling melepas kerinduan yang beberapa tahun ini terpendam. "Dahlia!" Di depan pintu sudah berdiri Laras dengan nafas terengah-engah, di sampingnya berdiri Jatmiko. Mereka mengulas senyum melihat kedatangan ponakannya itu. Saking senangnya Laras ikut berhambur memeluk Dahlia. "Bulek kangen sama kamu, Lia." "Dahlia juga kangen kalian, Bulek," balas Dahlia seraya menatap Laras dan Jatmiko bergantian. "Kapan kamu sampai?" Jatmiko masuk mendekati ponakannnya itu. "Sini pada duduk sini." Darti mempersilahkan keduanya untuk duduk di kursi ruang tamu. "Halah! Kayak tamu aja, Mbakyu." Meski sambil manyun Laras menuruti perkataan kakak iparnya itu. "Makasih ya, Paklek, Bulek. Sudah membantu jagain bapak," ucap Dahlia tulus. Netranya bergantian menatap ke arah Jatmiko dan Laras. "Sudah sewajarnya, Nduk. Saudara bapakmu 'kan cuman Paklek. Kalau Yu Darti dibiarin jaga sendiri malah nanti bikin repot semuanya." Jatmiko melirik kakak iparnya itu. Wajah Dahlia menyiratkan kebingungan dengan apa yang dikatakan Jatmiko. Dia menoleh ke arah ibunya seakan meminta penjelasan. "Udah! Udah! Kamu belum makan 'kan, Nduk?" Darti mencoba mengalihkan perhatian Dahlia. "Kruuuk ...!" Seperti sebuah jawaban atas pertanyaan Darti, perut Dahlia pun ikut bersuara. Semua yang berada di sana tertawa mendengarnya. "Sana kamu makan dulu. Ibu sudah masak. Kalian juga makan sekalian. Aku lihat Mas Wira dulu." Darti bergegas menuju ke kamar tempat suaminya berbaring. Jatmiko dan Laras pun ikut berdiri. "Kami pulang dulu, Mbakyu. Mau ke sawah lagi. Kami ke sini tadi cuman mau ketemu Lia. Tadi Arman-anak Jatmiko dan Laras- lari-lari ke sawah, bilang kalau Dahlia udah pulang." "Beneran kalian tidak mau makan dulu?" "Iya, Paklek, Bulek. Makan dulu, jangan buru-buru pulang," imbuh Dahlia. "Sudah, Nduk. Kami tadi pagi sudah makan." Laras memegang bahu Dahlia, netranya lurus menatap netra Dahlia. "Mbakyu! Kami pulang dulu." Sebelum pulang tak lupa mereka menghampiri Wira di kamarnya. Raut muka keduanya begitu berbinar melihat Wira sudah bisa membuka mata. "Sejak kapan Mas Wira sadar?" tanya Jatmiko. "Sejak Dahlia pulang tadi, Jat." Dengan mata berkaca-kaca Darti menjawab pertanyaan Jatmiko. "Aku yakin sebentar lagi Mas Wira bakal sadar sepenuhnya. Mbakyu yang sabar, ya." Netra Wira berkedip-kedip seakan mengamini perkataan Jatmiko. Kepalanya memang belum bisa digerakkan. Tapi dia bisa merespon sekitarnya dengan kedipan. "Mas ..., kami pulang dulu, ya. Mau ke sawah. Nanti kami ke sini lagi." Jatmiko mengelus bahu kakak kandungnya itu. Dia mengangguk ke arah istrinya. Laras pun mengekor di belakang Jatmiko. Ruangan itu sepi lagi, hanya ada Wira dan istrinya. Dahlia sedang makan di ruang makan. Rumah itu terlihat rapi dan asri, meski hanya bendindingkan bata yang belum diplaster. Tidak seperti di kota yang padat pemukiman, rumah Dahlia berjauhan dengan tetangganya. Setiap rumah memiliki kebun kelapa di kanan kirinya. Halamannya pun sangat luas, bahkan bisa dibilang lebih luas pekarangannya ketimbang rumahnya. Sehari-hari bapaknya bekerja di bengkel yang dimilikinya. Dia menyewa sebuah tempat di pinggir jalan sekitaran kota. Dahlia remaja sering membantu bapaknya di bengkel. Dahlia yang tomboi tidak segan berkutat dengan oli maupun peralatan bengkel lainnya. Wira pun sangat senang dengan kemampuan Dahlia. Dia tidak pernah melarang Dahlia dengan hobinya itu. Sepulang dari bengkel Wira akan langsung memanjat pohon kelapa di pekarangan rumahnya untuk nderes. Cairannya menjadi bahan baku pembuatan gula jawa. Dan akan diambilnya ketika pagi tiba. Darti selain ke sawah juga mengolah hasil nderes menjadi gula jawa. Cairan dari beberapa pohon di jadikan satu dalam wajan besar. Dimasak di atas tungku kayu sambil diaduk-aduk hingga mengental dan berwarna coklat. Butuh waktu berjam-jam untuk itu. Setelah mengental dituang dalam cetakan bathok kelapa. Dibanding membantu ibunya bergelut di pawon, Dahlia lebih memilih bersama bapaknya belajar memperbaiki mobil. Darti sering uring-uringan karena masalah itu. 'Anak perempuan kok malah bau oli, bukannya bau bawang.' Kalimat itulah yang sering diucapkannya di hadapan suami dan anaknya. Tanpa membantah ataupun menanggapi mereka berdua hanya tersenyum ketika wanita yang mereka sayangi itu mulai uring-uringan. Dahlia belum beranjak dari meja makan. Pikirannya menerawang di kala bahagia itu. Meski ibunya sering uring-uringan, tapi kenyataannya wanita itu benar-benar menyayanginya. Saat ini kebahagiannya adalah melihat bapaknya pulih seperti sedia kala. "Kamu kenapa, Lia?" Darti menghampiri Dahlia yang dilihatnya malah melamun. Dia berdiri di belakang Dahlia dengan kedua tangannya menyentuh bahu anaknya itu. Dahlia terhenyak dengan kedatangan ibunya itu. Dia menggeleng pelan lalu berusaha melanjutkan suapannya yang terhenti. "Jangan melamun! Tidak baik." Ditariknya kursi di sebelah Dahlia dan mulai menempatkan b****g di atasnya. "Apa ibu masih belum tahu siapa yang membayar biaya rumah sakit?" Kali ini kata Dahlia menatap lekat mata ibunya itu. Rasa penasaran membuncah di dadanya. Darti menggeleng lemah. Dia pun bingung apakah orang itu ada maunya. Dia sangat takut jika ada hal buruk yang akan terjadi di masa depan. Apalagi jika hal itu menimpa anak semata wayangnya itu. Tetapi sebagai ibu, dia selalu berdoa kebaikan untuk Dahlia. Betapapun galaknya dia pada anak perempuannya itu, jauh di dalam lubuk hatinya dia sangat menyayangi Dahlia. "Ibu. Dahlia mau tanya sesuatu?" "Hmmm. Apa?" "Apa kita pernah punya tetangga yang bernama Bik Siti?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN