2. Ingin Lebih Mengenalmu

1034 Kata
Ada sekitar sepuluh orang yang berhasil magang di perusahaan itu. Tiga di antaranya menjadi reporter, termasuk Dahlia dan Intan. Dan satu lagi, Putra. Dia cowok sendiri di antara ketiganya, dan tentu saja yang paling tampan di antara lainnya. "Kalian ... bisa ikut saya," kata seorang wanita paruh baya kepada ketiganya. Mereka pun mengikutinya dengan patuh. Masih malu-malu karena ini pertama kalinya juga buat ketiganya. "Perkenalkan ... saya Widya, selaku kepala tim di sini. Saya yang akan membimbing kalian." "Sekarang perkenalkan diri kalian masing-masing," ucap Widya ramah. Walaupun seorang kepala tim, tapi dia memperlakukan para anak magang itu dengan baik. Tidak ada senioritas di sini. "Nama saya ... Intan Pramudya. Biasa di panggil Intan." Intan pertama memperkenalkan diri. "Nama saya ... Putra Bumi Abadi. Biasa di panggil Putra," lanjut Putra. "Nama saya Dahlia Wiratmaja. Biasa di panggil Lia." Putra sedikit mencuri pandang ketika Dahlia memperkenalkan diri. Dia mengagumi kecantikan alami gadis itu. Tanpa make up pun masih tetap terlihat ayu. "Ya, saya rasa perkenalan kita cukup sekian. Intan ... kamu ke sana. Sama Kak Dian di sana," kata Widya seraya menunjuk ke meja paling pojok. "Dian!" Yang bernama Dian pun menoleh. "Iya, Mbak." "Ini asisten kamu sekarang." Dari ujung sana Dian memberi isyarat melingkar ibu jari dan jari telunjuk, menandakan 'Ok'. "Sedangkan kalian berdua, ikut Kak Wiwid di sana." Putra dan Dahlia pun menoleh ke arah yang ditunjuk Bu Widya. Mereka mengangguk. "Wiwid!" "Yes, Mam. Ok!" Wiwid seakan paham dengan maksud Bu Widya. Mereka berdua kompak berjalan menuju tempat Wiwid. Sementara di tengah rapat, Arya terlihat kurang fokus. Setelah pertemuannya dengan gadis yang bernama Dahlia itu, dia terus terbayang wajah ayu gadis itu. Bahkan, sekarang dia berpikir apakah dia memang dikirimkan Tuhan untuknya. Di saat ayahnya menginginkan dia untuk menikah, tanpa sengaja dia dipertemukan dengan gadis itu, gadis pertama yang bisa membuat hatinya bergetar. Dan seakan Tuhan memang memberi jalan untuknya, karena gadis itu ternyata karyawan magang di perusahaannya. "Pak Arya, bagaimana pendapat Anda?" Pertanyaan dari Direktur Pemasaran membuyarkan lamunannya. Ia sebenarnya kurang memperhatikan presentasi direkturnya tersebut. "Teruskan seperti itu," katanya asal. *** "Farhan, beri aku data karyawan yang magang hari ini!" perintah Arya pada sekretarisnya dalam perjalanan menuju kantornya setelah usai rapat. "Baik, Pak." Meski agak bingung dia tetap mengiyakan perintah atasannya itu. Tidak biasanya CEO-nya itu mengurusi karyawan magang. Akhirnya, jam pulang pun tiba. Dahlia pun bergegas keluar kantor bareng Intan. "Kalian mau pulang bareng, nggak? Aku bawa mobil." Dilihatnya Putra sudah berada di belakang mereka. "Ayok, Lia. Dapet tumpangan gratis, nih," bujuk Intan. "Oke, deh. Tapi emang rumah kamu sejalan ya, ama kita?" Dahlia mengiyakan. Dahlia dan Intan memang searah dan bisa naik bus yang sama. Meski rumah Intan memang sedikit lebih jauh. "Tenang aja. Sambil kita ngobrol itung-itung biar lebih kenal gitu ama temen." Mereka bertiga pun menuju mobil Putra. Mereka nampak kagum karena mobil Putra ternyata bukan sembarang mobil. Mobil yang bisa dibilang harganya lumayan mahal. "Ini beneran mobil kamu?" tanya Intan seolah tidak percaya. Putra hanya mengangguk sambil tersenyum. "Masuklah," katanya kemudian. Mereka bertiga pun banyak bertukar cerita dalam perjalanan pulang. Dahlia yang supel pun cepat akrab dengan keduanya. "Eh ... ! Aku turunin situ aja, ya, Put." Mereka berdua pun menoleh ke arah yang dituju Dahlia. "Rumah kamu yang mana?" tanya Putra. "Aku kos di belakang konter itu, Put." Jari Dahlia menunjuk ke arah konter yang berada tepat di pinggir jalan. "Kamu asli mana emang, Lia?" Intan tidak kalah penasaran tentang asal Dahlia. "Jogja," jawab Dahlia singkat. Mereka berdua pun manggut-manggut. "Makasih ya, Put," kata Dahlia dari luar mobil, "sampe ketemu besok ya, semua." Dia pun melambaikan tangan kepada kedua teman barunya itu yang dibalas lambaian tangan juga. *** Malam hari di sebuah kafe. "Apa kamu dapat kabar terbaru tentang saudaraku?" tanya seorang wanita pada seseorang di seberang telepon sana. ... "Jangan biarkan dia dekat dengan wanita mana pun" ... "Tidak. Aku tidak mau berurusan dengan hukum. Pakai cara halus saja." .... "Baiklah ... aku serahkan padamu. Jangan kecewakan aku. Saat semuanya menjadi milikku, aku takkan melupakan jasamu." Dia menutup teleponnya dan kembali menyeruput kopi di depannya. "Adikku sayang, maafkan aku. Sebenarnya kakak tidak mau kita begini. Tapi, kakak harus menjadi seperti ini," kata wanita itu sambil menahan air mata yang membendung di sudut matanya. "Halo, Sayang. Sudah lama nunggu, ya?" Seorang laki-laki tampan dengan kaos putih dan celana krem menghampiri wanita itu. Ia mencium pipi wanita itu. "Kamu sangat terlambat, Sayang. Aku menunggumu sudah hampir satu jam." "Maafkan aku. Tadi jalanan macet banget," kata pria tampan itu dengan tatapan mengiba. "Sudahlah! Kamu mau pesan apa. Aku juga belum makan malam." "Apa pun Sayang. Aku suka semua makanan yang kamu pilih. Bagaimana ayahmu? Apa dia akan berubah pikiran?" Si wanita menggelengkan kepalanya. "Dia masih dengan pendiriannya. Tapi aku tak bisa membiarkannya." Si pria pun tersenyum licik. Dia harus mendapatkan wanita itu untuk menguasai harta ayahnya. "Aku akan selalu mendukungmu," katanya sambil menggenggam tangan wanitanya. *** Arya melihat-lihat data karyawan magang yang sudah ada di mejanya. "Dahlia Wiratmaja ...," katanya pelan, "kamu benar-benar gadis yang menarik." Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Arya bergegas mengambil kunci mobil. Dia akan melakukan hal yang belum pernah dilakukannya seumur hidup. Setengah berlari dia menuju mobilnya. "Gimana, Lia? Hari pertama kamu kerja?” Sarah dan Dahlia ngobrol di depan kos mereka. Tempat kos mereka berbentuk rumah yang di depannya ada meja kursi untuk tempat ngobrol anak-anak kos. Kadang juga untuk menemui tamu yang mengunjungi mereka. Kos-kosan mereka memang memiliki aturan yang ketat, karena tidak memperbolehkan tamu laki-laki untuk masuk ke dalam. "Lumayan, Sarah. Aku masih harus adaptasi dengan pekerjaan baruku. Tapi aku senang karena senior di sana benar-benar baik. Aku juga dapet temen baru, Intan dan Putra. Kapan-kapan aku kenalkan mereka." Dahlia mulai bercerita. "Aku ikut seneng dengernya, Lia. Bagiku kamu adalah teman, saudara, kakak, adik. Kamu bahagia aku juga ikut bahagia," ucap Sarah tulus. Dahlia tersenyum, "Kamu juga sudah seperti kakak bagiku. Meski kamu cuma lebih tua dariku satu tahun tapi kamu bener-bener bisa jadi sosok kakak yang selama ini aku nggak punya. Kamu tahu sendiri 'kan, kalo aku anak tunggal," sambung Dahlia. Tanpa mereka tahu di seberang jalan ada seseorang di dalam mobil yang sedang mengawasi salah satu dari mereka. "Bagaimana ini? Melihatmu sudah menjadi candu bagiku," gumam lelaki itu seorang diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN