“Aku enggak mau nikah sama Kak Reyan,” ujarku, di saat kami semua tengah makan malam bersama, bahkan di meja makan ini juga ada Tante Reya dan Om Alan.
Seketika itu, semua orang menatapku. Dalam hitungan detik, aku pun menjadi sorotan utama.
“Ica cuma bercanda, jangan dianggep serius. Lagian kita semua tahu, kalau dari dulu Ica udah ngejar-ngejar Reyan, dan akhirnya enggak lama lagi mereka bakalan bersatu dalam ikatan halal,” ujar bundaku sembari tertawa canggung demi menutupi tingkahku barusan.
Aku menghela napas pelan, nafsu makanku seketika lenyap. Sepertinya aku benar-benar terjebak dalam perjodohan tak masuk akal ini.
Dulu aku memang menyukai Pak Reyan. Aku mencintainya sejak kami kecil dan tumbuh besar bersama. Tapi sekarang, rasa itu sudah pudar ditelan rasa kesalku padanya.
Aku tidak tahu kenapa cintaku padanya lenyap, hilang entah ke mana. Tapi yang pasti, aku sangat tidak menyukai sikap Pak Reyan yang terlalu posesif padaku. Sudah cukup ayahku saja yang membuatku pusing karena sifatnya yang over protektif. Aku tidak mau suamiku kelak memiliki sifat yang serupa dengan Daddy Sean.
Oh astaga, bayangkan saja. Bagaimana tersiksanya masa emasku kalau aku benar-benar menikah dengannya. Aku pasti sudah seperti burung perkutut yang dipelihara di dalam sangkar, sungguh sulit bagiku untuk terbang bebas menembus cakrawala luas.
“Ica kalau sudah lulus kuliah, mau kerja, lanjut pendidikan S2 atau ... jadi ibu rumah tangga aja?” tanya Tante Reya, yang sontak membuatku seolah tersedak angin malam.
“A-aku ....”
“Jadi ibu rumah tangga aja juga bagus,” komentar Pak Reyan, membuatku melotot tajam padanya.
“Bener kata Reyan, jadi ibu rumah tangga aja lebih bagus buat kamu, Ca. Apalagi kamu udah punya pengalaman ngurus Arka,” sahut ayahku sembari menatap rindu ke arah layar ponselnya yang menampilkan foto Arka dan diriku. Sepertinya ayahku tengah merindukan putra bungsunya yang beberapa hari ini ia tinggalkan di Singapura bersama seorang babysitter.
Mendengar omongan mereka, aku hanya diam tak menanggapi. Ya, lebih baik diam, karena sekalipun aku berpendapat, suaraku seolah tidak akan pernah sampai di telinga mereka.
“Karena Ica udah punya pengalaman ngurus anak, berarti enggak ada salahnya dong nanti kalian cepet-cepet punya momongan,” kata bundaku, yang sekali lagi berhasil membuatku merasa tersedak angin malam. “Menurut kamu gimana, Reyan?” tanya Bunda Lala, meminta pendapat Pak Reyan.
“Kalau aku sih tergantung Ica, Tante. Kalau dia mau cepet-cepet punya momongan, ya aku bakal berusaha,” ujar Pak Reyan, dengan senyumnya yang menghias penuh arti.
Aku yang melihat senyum itu merasa bergidik ngeri sendiri.
“Em, karena pembahasan kita sudah terlalu jauh, gimana kalau pernikahan Reyan dan Ica dilangsungkan secepatnya saja,” usul Om Alan, yang sejak tadi diam saja tapi sekalinya bicara langsung membuat jantungku terjun bebas.
“Boleh juga, lagian aku sama Lala juga enggak bisa lama-lama tinggal di Indonesia, dua pekan lagi kami udah harus balik ke Singapura, soalnya kasihan Arka kalau kami tinggal lama sama babysitter,” cakap Daddy Sean.
“Gimana kalau minggu depan?” sahut Tante Reya, ikut memberikan usulan.
Aku yang mendengar obrolan mereka hanya bisa diam dengan raut pasrah.
“Boleh juga,” kata bundaku. “Lebih cepet lebih baik,” lanjutnya.
Aku menghela napas berat mendengar pembicaraan mereka yang tidak lagi memedulikan perasaanku.
Merasa jengah dengan semua ini, aku memutuskan untuk bangkit dari kursi yang aku duduki.
“Maaf,” ucapku, membuat semua orang menatap ke arahku. “Aku ... mau ke toilet bentar,” kataku.
“Oh, ya udah sana. Tapi nanti balik lagi ke sini, ya,” kata Bunda Lala.
Aku mengangguk ringan, kemudian melangkah pergi dari ruang makan itu.
Sebenarnya aku tidak benar-benar pergi ke toilet. Aku hanya ingin mencari ruang untuk mengatur emosiku yang memburu.
Aku merasa pengap berada di ruang makan itu, mereka semua berbicara tanpa memikirkan perasaanku.
Tidak pedulikah mereka dengan masa depanku?
Rasanya aku ingin menangis histeris dan memberitahu mereka dengan tegas bahwa aku tidak pernah berharap menikah muda dengan Pak Reyan.
Bahkan banyak impianku yang masih belum tercapai.
“Aku pikir kamu ke toilet,” kata seseorang dari arah belakangku.
Suaranya yang tiba-tiba terdengar membuatku tersentak kaget.
Aku menoleh, melihat sosok Pak Reyan yang kini sudah berdiri di sampingku.
“Ngapain Pak Reyan ikutin saya?” tukasku.
“Aku enggak ikutin kamu,” sanggah Pak Reyan. “Aku barusan dari toilet, dan aku pikir kamu ada di toilet, tapi ternyata malah di sini,” katanya.
“Kamu ngapain diem ngelamun di sini?” tanya Pak Reyan kemudian.
Aku menoleh padanya, menatap sosok Pak Reyan yang kini tengah memandangi langit malam yang tampak gelap ditemani bulan sabit.
“Tanpa aku perlu jelasin, Pak Reyan pasti sudah tahu alasan kenapa aku ada di sini,” jawabku.
Pria itu tersenyum tipis, pandangannya masih menghunus lurus—menatap langit malam yang tampak cerah tanpa bintang.
“Kamu beneran enggak mau nikah sama aku?” tanyanya.
“Pak Reyan pasti juga udah tahu jawabannya tanpa aku perlu jelasin, kan?” tukasku, kembali memberikan jawaban yang serupa.
“Aku perlu alasan kamu,” katanya.
“Aku belum siap,” ujarku. “Itu alasannya,” imbuhku, singkat.
“Hanya itu?”
“Iya.”
“Apa kamu udah enggak punya perasaan apa-apa lagi ke aku?” tanya Pak Reyan, kini pandangannya berpindah menatapku lekat.
Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa. Pasalnya aku sendiri pun tak tahu pasti dengan perasaanku padanya. Apakah aku masih mencintainya?
“Kamu tahu?” ucap Pak Reyan, manik matanya kembali terpaku pada langit malam yang terbentang luas di atas sana. “Dulu ... saat aku masih tinggal di Inggris, setiap pagi, siang ataupun malam, aku selalu lihatin langit seperti sekarang ini. Aku bahkan bisa habiskan berjam-jam cuma buat lihatin langit, entah itu saat cerah, mendung atau bahkan gelap gulita seperti sekarang,” katanya.
Aku diam menyimak ceritanya.
“Kamu tahu kenapa aku suka lihatin langit?” tanya Pak Reyan seraya beralih menatapku.
Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaannya.
“Aku lihatin langit dengan isi kepalaku yang penuh dengan pertanyaan dan harapan,” kata Pak Reyan. “Apa dia di sana baik-baik saja? Apa di sana juga hujan? Apa dia kehujanan? Andaikan aku ada di sana, aku ingin berbagi payung yang sama dengannya. Apa di sana langitnya juga cerah? Andaikan aku ada di sisinya, aku ingin menghabiskan banyak waktu bersamanya,” lanjut Pak Reyan, berkata seperti seseorang yang tengah berada di masa itu.
“Kamu tahu siapa ‘dia’ yang aku maksud?” tanyanya, dengan tatapan teduhnya yang kian pekat menghunus hatiku. “Kamu adalah ‘dia’ yang aku maksud,” ungkap Pak Reyan seraya mengusap pipiku lembut, membuatku diam-diam terbuai dengan kehangatan tangannya.
Namun, kesyahduan romansa yang terasa hangat itu tak berlangsung lama ketika ....
“Ehem!” Suara deheman keras dari arah pintu membuatku tersentak dan dengan refleks mendorong Pak Reyan agar menjauh dariku.
“Katanya mau ke toilet, tapi malah berduan di sini,” komentar ibuku.
“Bunda, bunda salah paham. A-aku ....”
“Udah enggak usah dijelasin. Buruan masuk, kita mau bahas tanggal pernikahan kalian,” suruh Bunda Lala, yang kemudian langsung melangkah pergi dari hadapan kami.
Aku menghela napas kasar, lalu dengan gemuruh kesal berjalan pergi meninggalkan Pak Reyan yang masih berdiri di tempatnya.