2. After That Night

1007 Kata
Aku pasti sudah setengah gila. Iya pasti! Bagaimana bisa di pagi yang cerah ini aku terbangun di sebuah tempat yang asing, dan sepertinya aku kehilangan sebagian memori di dalam otak. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku memejamkan mata kembali, berusaha mengumpulkan ingatan. Sepertinya aku terkena amnesia ringan. Ada sebagian memoriku yang menghilang. Aku tertegun untuk beberapa saat sampai rasanya sebuah sosok terlihat olehku. "Aaaa!!!" Aku menjerit dengan keras saat menyadari sesuatu. Ke…kenapa ada seseorang yang sedang tidur di sebelahku? "Ada apa?" Sebuah tangan memeluk dari samping. Kaget, aku buru-buru menarik selimut sampai ke kepala. Sepertinya aku sedang bermimpi. Iya, pasti aku sedang bermimpi Aku menurunkan selimutku dan melirik ke sebelahku dengan takut-takut. Ada seseorang yang sedang berbaring tepat di sebelahku. Dia…Mas Graha! "Kok Mas Graha bisa di sini?" Aku menatapnya dengan bingung. Wajah Mas Graha sama bingungnya dengan wajahku. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Mungkin saja saat ini aku sedang bermimpi. Astaga! Jika benar-benar mimpi, ini pasti mimpi teraneh sepanjang hidupku bisa mendapatkan Mas Graha terbangun dari tidur dengan tubuhnya yang tidak berbalut pakaian. Dan astaga! Aku juga nggak mengenakan sehelai pakaian pun di balik selimutku ini. "May lupa?" tanyanya dengan nada heran. Sedetik, dua detik, aku masih mematung. Semuanya begitu mengejutkan dan entah kenapa saat rasanya aku kesulitan untuk berpikir dengan baik. Aku mengerjap lagi. Saat pandanganku berhenti di tubuh Mas Graha, buru-buru aku memalingkan wajahku. Mas Graha yang bertelanjang d**a dengan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya membuatku grogi. Wajahku terasa memanas. Kenapa sekarang aku malah penasaran ingin mengelus perut dan dadanya yang bidang. Astaga! “May…,” panggil Mas Graha perlahan. Aku tersadar dari lamunanku. Pasti saat ini wajahku sudah memerah. Saat ingatan itu sudah terkumpul dengan sempurna di kepala, tiba-tiba aku ingin tenggelam saja ke dasar bumi. Aku malu. Potongan-potongan kejadian semalam membuatku merinding. "Ng ... maksudnya bukan itu. May... May cuma agak terkejut, belum terbiasa kali ya," jawabku gugup. Entah kenapa menatap wajah Mas Graha yang baru bangun sudah membuatku grogi. Dan ... kenapa juga dia harus bertelanjang d**a seperti ini. Rasanya aku mau mimisan. "May mau mandi," kataku gugup sambil menyingkirkan tangan mas Graha yang masih membelit perutku. Aku menurunkan selimut dengan tergesa, tapi sedetik kemudian aku menariknya kembali sampai ke leherku. Kemana Mas Graha melemparkan pakaianku semalam? Tapi…bukannya semalam aku belum sempat berpakaian? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan panik. Apa yang harus kulakukan dalam situasi yang membingungkan ini? Aku kembali menatap Mas Graha dengan tatapan mata panik. Aku kebingungan sambil di kepalaku terus memikirkan hal yang menguntungkan buatku. Mau ke kamar mandi pun tidak bisa kulakukan. "Ngapain pagi-pagi sudah mandi? Memangnya mau ke kantor?" ledek Mas Graha sambil terkekeh. Aku jadi tambah salah tingkah sehingga yang kulakukan hanya memilin-milin selimut sampai kusut. Masih untung ada selimut yang berhasil menutupi tubuhku ini. Aku nggak bisa membayangkan jika tidak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhku. "Tapi gerah," sahutku asal. "Pendingin ruangannya nyala tuh, kok bisa gerah?" Raut wajahnya tampak keheranan. Entahlah, aku tidak tahu dia berpura-pura heran untuk meledekku atau memang bingung dengan sikapku. "Itu ... maksudnya semalam kan, gerah, jadi May pengen mandi sekarang biar segar." Rasanya makin lama pembicaraanku makin ngawur. Apa maksudnya dengan semalam gerah? "Nanti saja bisa, jarang-jarang May bisa malas-malasan kaya gini." Mas Graha menepuk-nepuk bantal seolah memanggilku utuk berbaring kembali. Aku hampir tergoda dengan ingin berbaring di dadanya yang sepertinya terasa nyaman. Gawat! Aku rasa pikiran ini sudah tambah kacau. "Mas janji deh, nanti kalau waktunya tepat, May boleh pilih liburan kemana pun." lanjut Mas Graha. Dari sebelum hari pernikahan kami, dia sudah meminta maaf berkali-kali padaku. Pekerjaan yang bertumpuk membuat Mas Graha hanya bisa mengambil cuti tiga hari saja. Dia meminta maaf karena tidak bisa mengajakku berbulan madu. Ah ... sepertinya kata bulan madu mampu membuatku merasa malu. Tidak penting bulan madu, yang penting setelah ini aku akan tinggal berdua dengan Mas Graha di rumahnya. Bukannya itu sama saja dengan bulan madu setiap hari? "Kenapa nggak hari ini saja kita pulang ke rumah?" Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di pikiran. Entah kenapa berada berdua dalam kamar seperti ini bersama Mas Graha malah membuatku ketakutan. Bukan takut dalam arti negatif, tapi takut jika aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Apalagi dari tadi tatapan mata Mas Graha seperti mengunciku. Setiaap gerakan tubuhku tidak lepas dari tatapan matanya. "Kenapa? May bosan?" tanyanya kemudian. "Bukan bosan, Mas. Cuma sayang saja, kita nggak perlu tidur di hotel, kan kita bisa tidur di rumah sendiri." Sepertinya ideku ini sangat brilian. Jika berada di rumah aku bisa pura-pura menyibukkan diri agar terbebas dari tatapan singa kelaparannya. Iya, singa memang sangat cocok untuknya saat ini. "Ide bagus." Wajah Mas Graha tiba-tiba berubah, dia tersenyum dengan sangat aneh, senyumnya seperti menggodaku. Apa ada kalimatku yang salah? "Ayo buruan." Mas Graha tiba-tiba bangkit dari tempat tidur. Lagi-lagi aku harus menahan napas dan berpura-pura tidak peduli saat melihat tubuhnya yang tidak menggunakan baju. Oh kali ini aku harus menutup mataku karena sepertinya Mas Graha tidak mengenakan apapun di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Aku seperti kehilangan pikiranku selama beberapa detik saat melihat Mas Graha dengan santainya mengambil baju dan mengenakannya. Aku saja dari tadi tidak berani keluar dari selimut ini hanya karena malu mendapat tatapan darinya. Bagaimana bisa dalam hitungan jam mendadak aku harus mengalami kedekatan yang begitu intim ini? Bukan lagi sentuhan di rambut dan wajahku atau sekadar ciuman ringannya yang memabukkan. Bukan juga hanya menatap wajahnya yang kadang masih saja membuatku salah tingkah. Kali ini semuanya di luar batas nalarku. Meyentuh setiap bagian tubuhnya hingga ke bagian yang tidak pernah kubayangkan hingga melihat sosoknya dengan begitu intim seperti saat ini. Semuanya...membuatku merasa sangat berdebar. "Ke mana?" tanyaku seperti orang linglung. Aku menarik napas dan menghelanya dengan sangat panjang. Debaran di dadaku masih terasa dan Mas Graha membuat semakin parah dengan mendekatkan wajahnya padaku. Dan gila, dia bukannya menyembuhkan debaranku, malah semakin memparahnya. "Pulang ke rumah. Sudah nggak sabar," sahutnya enteng. Bibirnya menyentuh pipiku perlahan. Napasku terasa berhenti sesaat. Tolong, siapa saja bantu aku menerjemahkan kalimatnya yang ambigu. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN