???
Waktu baru menunjukkan pukul 04.23 di subuh hari, tapi jendela lantai tiga itu sudah terbuka lebar. Matahari bahkan belum menampakkan sedikitpun pijarnya, namun gadis itu sudah melongokkan kepalanya keluar jendela berkusen putih itu.
Kepalanya menengok ke segala arah, memastikan tidak ada yang melihatnya. Tangan gadis itu mengulur, menjatuhkan gumpalan kain sprei yang diikat menjadi satu hingga membentuk tali.
"Kali ini nggak boleh gagal," gadis itu bergumam yakin.
Dipunggungnya kini tersampir sebuah tas ransel ukuran sedang, dengan kakinya yang dibalut sepatu lari gadis itu melompat dari jendela dengan hati-hati. Sedikit takut mengingat butuh nyali yang kuat untuk menuruni jendela dari lantai tiga menggunakan tali yang terbuat dari sprei.
Perlahan namun pasti, gadis itu mulai merayap turun dengan tali kain itu. Merasa yakin berhasil karna telah mencobanya berkali-kali.
Terhitung sudah delapan atau sembilan kali ia mencoba hal yang sama, namun selalu tertangkap oleh penjaga.
Kali ini tidak boleh gagal. Gadis itu sudah memantau berhari-hari ini. Rencananya yang dulu gagal karna ketahuan penjaga, saat malam hari penjagaan di rumah ini justru diperketat. Dan gadis itu memilih saat fajar seperti ini, karna penjaga malam pasti sudah kehilangan sebagian besar fokusnya, dan penjaga pagi belum datang menggantikan.
Rencana yang cerdas untuk gadis yang baru berulang tahun ke 16 seminggu yang lalu.
Gadis itu kembali mengendap-endap keluar pagar. Tentu saja pagar yang dia maksud bukanlah pagar utama, ini hanya sebuah jalan kecil yang sengaja dibuat untuk dirinya menuju taman belakang.
Keluar dari rumah mewah dan luas ini memang memakan waktu yang tidak sedikit. Bahkan tenaga gadis itu rasanya sudah terkuras banyak.
"Non?"
Gadis itu membeku, berdiri kaku dibalik sebuah pot bunga besar dengan pohon bonsai di atasnya. Suara penjaga itu membuat gadis ini gugup setengah mati.
"Siapa?" tanya penjaga yang lain.
"Gue kayak ngeliat Non Irish di sana," sebuah cahaya senter mengarah ke dirinya membuat gadis itu reflek berjongkok menghindar.
"Ngaco lo! Mana mungkin Non Irish ke taman pagi-pagi buta, lo kayaknya butuh kopi."
"emm.. iya kayaknya," kata penjaga itu nampak ragu.
Tak terdengar lagi obrolan mereka, hanya terdengar sayup-sayup langkah kaki menjauh di atas rumput. Diam-diam gadis itu menghela nafas lega.
Hampir saja rencananya gagal lagi.
Gadis itu kembali berdiri, mengeratkan sedikit syal di lehernya saat merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Dia kembali berjalan, mencoba mencari jalan keluar tanpa ketahuan oleh penjaga atau siapapun disana.
Irish rasanya sudah berjalan hampir sepuluh menit, tapi bahkan dia belum juga keluar dari rumahnya. Gadis itu terus melangkah, hingga helaan nafas leganya terdengar ketika melihat jalanan komplek.
Irish rasanya ingin mengutuk area rumahnya yang begitu luas, tapi gadis itu tidak mengerti cara mengutuk. Masih harus menempuh jalan panjang lagi untuk Irish bisa keluar dari perumahan elite ini.
"Non Irish?"
Gadis berambut panjang itu kembali berhenti, kali ini dengan nafas tersengal-sengal. Perlahan menoleh pada seorang pria setengah baya yang berjalan mendekatinya, lengkap dengan seragam biru tua.
"Non Irish ngapain jam segini? Mau keluar komplek?" tanya pria itu.
Irish meneguk ludahnya sesaat, kemudian tersenyum polos. "Irish mau jogging, Pak. Hehe,"
Kening pria itu mengerut, "jogging jam segini, Non? Sendirian?"
Irish mengangguk yakin. Kemudian pamit pergi dengan sopan.
Sementara pria itu mengernyitkan keningnya. "Jogging subuh-subuh begini? Mana pake jaket sama bawa tas. Apalagi lari-lari keliling taman rumahnya aja udah capek." Gumamnya.
Sampai kemudian tersentak sendiri, "atau jangan-jangan.."
?️?️?️
Irish lelah. Rasanya sudah jalan ke ujung dunia. Gadis itu mendudukkan dirinya di pinggir jalan raya. Jaket serta syalnya sudah ia lepas dan masukkan ke dalam tas.
Gadis itu mengeluarkan ponselnya, membuka galeri kemudian menampilkan sebuah foto seorang perempuan cantik dengan rambut panjang. Senyum lembut di foto itu turut menular kepada Irish.
Irish nyaris menjerit kaget saat ponselnya tiba-tiba di rampas. Gadis itu reflek berdiri.
"Balikin hp ku!" Perintahnya.
Ada tiga orang pria di hadapan Irish sekarang. Satu bertubuh tambun di sisi kiri, satu bertubuh ceking di sisi kanan, dan satu lagi bertubuh jangkung yang kini memegang ponsel Irish. Mari sebut mereka Tambun, Ceking, dan Jangkung mulai sekarang.
"Heh! Anak kecil tuh nggak boleh maen hape beginian! Maen masak-masakkan sana!" Kata Si Jangkung mendorong dahi Irish.
"Balikin! Itu bukan punya abang!"
Tubuh Irish yang tidak sebanding dengan mereka bertiga masih berusaha menggapai ponselnya. Tapi ketiga pria itu malah mempermainkan.
Sungguh, Irish hanya ingin ponselnya kembali kemudian pergi. Irish tidak tahan dengan bau badan mereka yang menyengat. Terutama bau mulut yang--maaf---setara dengan bak sampah di ujung jalan.
Apa mereka tidak mandi?
"Cok, kayaknya anak orang kaya nih." Kata Si Ceking.
Mereka melirik Irish, si Tambuh lantas mendekat meraih ransel Irish. "Bener nih anak orang kaya. Liat aja tasnya ada emasnya."
Si Jangkung mendorong lagi dahi Irish, kali ini lebih keras membuat gadis itu terjengkang jatuh. "Heh bocah! Anak kecil nggak boleh bawa barang-barang bagus, mending buat gue aja."
"Bawa!"
Irish melotot kaget saat Ceking dan Tambun merampas ranselnya. "TOLONG! TOLONG! RAMPOK! TOLONG!"
"HEH g****k DIEM ANJING!" Pekik Jangkung panik.
Irish malah semakin berteriak, membuat tiga pria tadi langsung lari terbirit-b***t. Pasalnya mereka ada di dekat kawasan pasar, bisa habis dikeroyok masa mereka.
Sialnya, mereka kabur membawa ponsel dan ransel Irish.
"Balikin! Itu punyaku!" Pekik Irish berusaha mengejar mereka.
Entah kemampuan lari Irish yang payah, atau memang mereka jago melarikan diri. Ditambah lagi dengan Irish yang berkali-kali terjatuh membuat keadaan tubuhnya semakin lusuh dan kotor.
Irish masih berusaha mengejar, sambil berteriak meminta pertolongan. Tapi orang-orang di sekitar seolah tak peduli dan hanya meliriknya, sebagian malah berdecak kesal merasa terganggu.
Ini baru beberapa jam Irish kabur dari rumah, tapi rasanya Irish sudah ingin menangis dan kembali ke rumahnya. Mengadu kepada sang Ayah agar dirinya kembali mendapat perlindungan.
Kali ini Irish berhenti, gadis itu kehilangan jejak mereka bertiga. Dan parahnya, air mata Irish meleleh juga. Bahkan kedua kakinya melemas hingga membuatnya terduduk diatas aspal.
"Mami.." lirihnya.
Seakan semesta tak memberi waktu Irish bersedih, gadis itu dibuat kaget saat banyak orang lari kalang kabut melewatinya. Beberapa nampak membawa barang dagangan mereka dengan panik. Ada juga anak-anak.
Bruuk!
"b*****t!"
Irish terlonjak kaget saat seseorang terjatuh ke aspal setelah menabrak punggungnya.
"JANGAN BERDIRI TENGAH JALAN g****k!"
Irish kembali terlonjak, selama hidupnya belum pernah dibentak sekasar itu. Bahkan tidak pernah dibentak sekalipun.
"SIR! BURUAN LARI ANJING!" Seorang pemuda bongsor dengan bocah laki-laki dipunggungnya berteriak panik.
Sementara pemuda yang baru saja menabrak Irish menyahut tak kalah panik. Pemuda itu sudah bersiap lari lagi, tapi kemudian menoleh pada Irish yang masih terdiam.
"Lo nggak lari?!" Tanyanya panik.
"Hah?"
Pemuda itu menoleh panik ke belakang, "itu satpol pp, kalo lo ketangkep bisa repot."
Irish kembali terdiam. Otaknya masih belum sepenuhnya mencerna ucapan pemuda itu.
Pemuda itu berdecak kesal, lantas menarik lengan Irish agar berdiri kemudian mengajaknya berlari. Irish berusaha keras menyeimbangi langkah kaki lebar pemuda itu, yang sepertinya mengikuti seorang pemuda dan seorang gadis didepan mereka. Oh dan jangan lupa bocah laki-laki dipunggung.
"NASIR! CARA BIASA!" terdengar seruan dari pemuda bongsor di sepan.
Seolah memahami maknanya, pemuda yang masih menarik lengan Irish itu mengangguk. Sampai kemudian membelokkan langkah tiba-tiba berpisah dengan pemuda bongsor dan gadis berambut sebahu tadi.
Sementara mereka terus berlari, pikiran Irish malah melayang ke hal lain.
Pemuda ini.....
...namanya Nasir?
???