Pagi itu, matahari menembus jendela kecil apartemen Gao Tu, menyinari wajah Lele yang tertawa di atas kasur. Anak itu sedang memainkan boneka bulu lusuh berbentuk rubah yang dulu diberikan oleh tetangga di lantai bawah. Gao Tu duduk di tepi kasur, rambutnya masih acak, mencoba menulis laporan keuangan kecil untuk pesanan kue online-nya sambil sesekali menatap Lele.
“Papa Wen bilang besok Lele boleh ikut ke taman?”
Lele memiringkan kepala, matanya berbinar.
Gao Tu tersenyum lembut. “Papa Wen? Siapa yang ngajarin kamu panggil dia begitu?”
“Guru Lele di taman kan bilang, kalau ada orang yang tiap hari antar makanan, bantu jemur baju, itu Papa!”
Gao Tu menepuk jidat. “Guru kamu harusnya belajar definisi keluarga yang benar.”
Tapi dalam hatinya, kalimat Lele menimbulkan geli aneh yang sulit dihapus.
Di sisi lain kota, Shen Wenlang duduk di ruang kerjanya. Di layar tablet, data genetika yang ia analisis seminggu terakhir membuat kepalanya berdenyut. Semua orang di lab menganggap ia perfeksionis. Tidak ada yang tahu bahwa ia sebenarnya menyembunyikan satu hal besar — hasil pengujian pribadinya sendiri.
Tanda soulmate-nya hilang.
Lebih tepatnya, ditransfer.
Sejak dua tahun lalu, ia kehilangan kemampuan mengenali resonansi feromon pasangan takdirnya. Satu-satunya jejak yang tersisa hanyalah pecahan tanda takdir di bawah kulit — simbol samar di pergelangan tangan, yang sekarang berdenyut aneh setiap kali ia bertemu Gao Tu.
“Jangan konyol, Wenlang,” gumamnya, menutup tablet. “Tidak mungkin tanda itu berpindah... kecuali—”
Pintu laboratorium diketuk. “Dr. Shen, ini hasil uji coba sistem resonansi yang kemarin Anda minta.”
Seorang asisten menyerahkan amplop transparan.
Wenlang mengangguk, tapi pikirannya tidak lagi pada data. Ia sudah memutuskan.
Besok, ia akan mengundang Gao Tu dan Lele ke taman — bukan hanya untuk bermain, tapi untuk memastikan sesuatu.
Sabtu pagi, taman kota penuh dengan aroma manis dari kios es krim dan suara anak-anak. Lele berlari dengan jaket kuningnya, sementara Gao Tu menatapnya dari bangku dengan secangkir kopi yang dibelikan Wenlang.
“Dia benar-benar mirip kamu,” kata Wenlang santai.
“Bohong.” Gao Tu menatapnya, pura-pura datar. “Lele mirip ibunya.”
“...Tapi kamu O—” Wenlang berhenti di tengah kalimat.
Muka Gao Tu langsung memerah. “Jangan lanjutin!”
Wenlang menunduk cepat, menyembunyikan senyumnya. “Maaf, maaf. Maksudku—bukan begitu.”
Suasana jadi canggung sejenak. Angin meniup lembut daun di sekitar mereka.
“Jadi,” Wenlang mencoba mengalihkan, “kamu masih kerja paruh waktu di toko bunga?”
“Kadang,” jawab Gao Tu. “Sekarang lebih sering bikin pesanan kue. Lebih gampang disambi jagain Lele.”
Wenlang mengangguk, lalu matanya melembut. “Kamu hebat, tahu gak?”
“Apanya yang hebat? Aku cuma orang yang kebetulan belum mati kelaparan.”
“Tetap saja.”
Nada suara itu tulus — membuat Gao Tu sedikit menunduk, menyembunyikan pipinya yang memanas.
Lele berlari kembali membawa bunga liar. “Papa Wen! Ini buat kamu!”
Wenlang tertawa, jongkok, menerima bunga itu. “Wah, untuk aku? Kenapa bukan buat Daddy Gao?”
“Karena Daddy udah punya aku!” jawab Lele polos.
Suara tawa mereka mengisi taman, tapi di dalam hati Wenlang, sesuatu bergetar kuat. Pecahan tanda di pergelangan tangannya bersinar samar — hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.
Malamnya, setelah Lele tidur, Gao Tu menerima pesan.
[Wenlang]: Aku nemu sesuatu aneh soal sistem resonansi feromon.
[Wenlang]: Boleh aku datang sebentar?
Gao Tu menatap jam — hampir jam sembilan malam. “Besok aja gak bisa ya?”
[Wenlang]: Besok aku mungkin... gak bisa nunggu.
Nada itu terlalu serius untuk ditolak.
Beberapa menit kemudian, pintu apartemennya diketuk. Wenlang berdiri di sana, masih dengan jas lab dan ekspresi gugup. Ia membawa tas kecil.
“Aku tahu ini aneh, tapi... boleh aku periksa sesuatu?” katanya cepat.
“Kalau ini eksperimen aneh lagi, aku lapor polisi.”
“Bukan, bukan! Ini cuma scanner feromon.”
Ia mengeluarkan alat kecil berbentuk cincin logam.
“Kalau dua orang soulmate berdiri dekat, alat ini bereaksi. Tapi aku gak yakin sistemnya masih valid. Aku cuma ingin—”
Sebelum Wenlang selesai bicara, alat itu berbunyi.
Lembut tapi jelas.
Lampu di ujung cincin menyala — warna merah muda keemasan.
Feromon resonansi penuh.
Mereka berdua terpaku.
“...Kamu ngapain?” tanya Gao Tu akhirnya.
Wenlang memandang cincin itu, lalu tatapan Gao Tu, lalu cincin lagi.
“Aku… cuma mau pastikan siapa yang nyuri tanda soulmate-ku.”
“Dan kamu kira aku pelakunya?!” seru Gao Tu.
Wenlang menegakkan badan, panik. “Bukan gitu maksudku! Aku cuma—”
“Keluar.”
“Tapi—”
“Keluar sebelum aku lempar alat kamu ke balkon!”
Wenlang akhirnya mundur perlahan, masih membawa cincin yang berkilat samar. “Maaf,” katanya pelan sebelum pergi.
Begitu pintu tertutup, Gao Tu jatuh terduduk di lantai, memegang d**a.
Bukan karena marah. Tapi karena di detik alat itu menyala, seluruh tubuhnya terasa aneh — seolah darahnya mengenali sesuatu yang sudah lama hilang.
Beberapa hari berlalu. Wenlang mencoba menghubungi Gao Tu, tapi semua pesannya dibaca tanpa dibalas.
Sampai suatu pagi, ia menemukan dirinya berdiri di depan toko bunga tempat Gao Tu bekerja.
Lele sedang di pelukan Gao Tu, menolak tidur siang.
“Lele, Papa Wen datang,” gumam karyawan toko, bercanda.
Gao Tu menegakkan kepala, dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, tatapan mereka bertemu lagi.
Wenlang menelan ludah. “Aku bawa permen buat Lele.”
Lele langsung ceria, melupakan semua ketegangan di udara.
“Lele, jangan ambil permen dari orang asing,” kata Gao Tu kaku.
“Tapi ini Papa Wen…” Lele menatapnya bingung.
Situasi kaku berubah jadi aneh ketika Lele menepuk pipi Wenlang dan berkata pelan, “Papa Wen, kenapa pipimu mirip punyaku?”
Semua orang di toko berhenti bekerja.
Gao Tu membeku.
Wenlang, tanpa sadar, tersenyum lembut — senyum yang campur aduk antara terkejut dan terharu.
Dan di dadanya, tanda takdir yang dulu hilang mulai terasa hangat.
Hari itu, langit mendung menggantung di atas kota kecil tempat Gao Tu tinggal.
Toko bunga tempatnya bekerja baru saja tutup ketika ia mendengar suara langkah tergesa dari arah pintu.
“Gao Tu!”
Ia memutar badan. Di depan pintu berdiri Shen Wenlang, napasnya agak tersengal. Hujan belum turun, tapi udara sudah lembap.
“Kenapa kamu lari-lari kayak dikejar tagihan listrik?” tanya Gao Tu datar.
Wenlang menelan ludah. “Aku… aku cuma mau kasih ini.”
Ia mengangkat plastik besar berisi bahan makanan, popok, s**u bubuk anak, dan satu kotak biskuit karakter kelinci.
Gao Tu memelototinya. “Kamu pikir aku panti asuhan?”
Wenlang langsung panik. “Bukan! Aku cuma— aku tahu kamu sibuk, jadi— ya ampun, kenapa aku selalu kedengaran salah?”
Lele muncul dari balik kaki Gao Tu. “Papa Wen!” teriaknya riang.
“Papa Wen dateng lagi!”
Gao Tu menepuk dahi, tapi Lele sudah melompat ke pelukan Wenlang yang spontan jongkok menyambut.
Anak itu mencium pipinya tanpa ragu. “Lele kangen!”
Wenlang membeku sepersekian detik — lalu tersenyum kaku. “Aku juga kangen, Lele.”
Dan untuk pertama kalinya, Gao Tu menyadari bagaimana ekspresi itu benar-benar tulus.
Tulus dengan cara yang membuat dadanya terasa aneh.
Beberapa hari kemudian, rumor mulai menyebar di sekitar lingkungan.
“Eh, itu yang suka ke apartemen Gao Tu tiap sore?”
“Iya, katanya dosen universitas, tapi kok sering banget main sama anaknya?”
“Jangan-jangan papa biologisnya?”
Gao Tu hampir menumpahkan kopi saat mendengar bisikan dua ibu tetangga itu.
Ia menatap ke arah taman, di mana Wenlang sedang mendorong ayunan Lele.
Gao Tu tahu, seharusnya ia menjauh — tapi entah kenapa, setiap kali melihat dua orang itu tertawa bersama, tubuhnya malah melunak.
Sore itu, ketika Lele sudah tertidur, Gao Tu duduk bersama Wenlang di bangku taman.
“Jujur, kamu gak perlu repot begini,” katanya pelan. “Aku gak minta kamu ikut ngurus Lele.”
“Aku tahu,” jawab Wenlang lembut. “Tapi aku… suka waktu bareng kalian.”
“Kenapa? Karena kamu ngerasa bersalah?”
“Bersalah?” Wenlang tertawa kecil. “Entah kenapa aku malah ngerasa… lengkap.”
Keheningan turun.
Hanya suara jangkrik dan hembusan angin malam yang terdengar.
Keesokan paginya, kejadian konyol pun dimulai.
Di halaman depan apartemen, seorang kurir datang membawa paket besar dengan tulisan:
“Untuk Gao Tu dan Lele — dari Papa Wen ❤️.”
Gao Tu hampir tersedak roti saat membacanya.
“Lele! Papa Wen ngirim lagi!”
Lele langsung berlari riang, menarik pita di paket itu.
Isinya? Satu tenda anak-anak bergambar planet dan bintang.
Dan note kecil:
“Supaya Lele bisa tidur di galaksi mimpi.”
Gao Tu mengetik pesan cepat di ponselnya:
[Gao Tu]: Kamu pikir aku punya ruang tamu seluas planet Jupiter?
Balasannya datang beberapa detik kemudian.
[Wenlang]: Tapi Lele suka, kan?
Gao Tu menatap ke arah anaknya yang kini tertidur di dalam tenda, tersenyum kecil.
Ia mengetik, lalu menghapus, lalu mengetik lagi:
[Gao Tu]: Ya. Tapi kamu tetap aneh.
Di sisi lain, Shen Wenlang menghadapi masalah baru: rekan-rekannya di lab mulai curiga kenapa ia mendadak rajin pulang cepat.
“Dr. Shen, Anda pacaran ya?”
“Enggak.”
“Tapi parfum Anda berubah. Feromon Anda juga stabil banget belakangan. Biasanya kan… volatile.”
Wenlang terdiam.
Volatile — kata itu membuatnya berpikir.
Benar. Biasanya ia kesulitan menahan pheromone rut yang tak stabil karena kehilangan tanda takdir.
Tapi sekarang? Sejak sering bertemu Gao Tu dan Lele, tubuhnya justru terasa tenang.
Ia membuka tablet kerjanya dan memandangi catatan kecil hasil pemeriksaan pribadi:
Feromon sinkronisasi alami dengan subjek Omega tertentu: stabil 93%.
Nama subjek itu: G.T.
Ia menarik napas panjang.
Tidak, ia tidak boleh gegabah. Ia harus bicara dengan Gao Tu secara baik-baik.
Namun pembicaraan baik-baik itu berakhir kacau.
Hari Sabtu sore, Wenlang datang membawa hadiah kecil untuk Lele — sepasang sepatu baru warna biru. Tapi baru saja ia membuka pintu apartemen, seorang pria berjas hitam keluar dari dalam.
“Eh, kamu siapa?” tanya Wenlang spontan.
Pria itu menatapnya dingin. “Saya Chang Yu, kolega Gao Tu. Kami baru diskusi soal kerjaan.”
“Diskusi kerjaan jam delapan malam?”
“Masalahnya bukan urusanmu, kan?”
Gao Tu muncul dari balik pintu, panik. “Shen Wenlang! Jangan ribut!”
“Siapa dia?”
“Teman!”
“Teman macam apa yang keluar malam-malam dari rumahmu?”
“Teman yang masih sadar posisi, gak kayak kamu yang suka ngatur-ngatur!”
Pertengkaran kecil itu berakhir dengan pintu dibanting keras.
Lele, yang terbangun karena suara keras itu, mulai menangis.
Wenlang langsung menyesal — menatap pintu tertutup itu lama, sebelum akhirnya menunduk dan pergi dalam hujan tipis.
Keesokan harinya, Lele demam.
Gao Tu panik. Ia baru sadar kalau stok obat habis, dan toko tutup karena hari Minggu.
Ia menatap Lele yang menggigil di tempat tidur kecilnya.
Tanpa pikir panjang, ia menghubungi satu-satunya orang yang terlintas di benaknya.
Setengah jam kemudian, pintu diketuk keras.
Shen Wenlang berdiri di sana, rambutnya acak, jaketnya basah.
Tanpa banyak bicara, ia langsung menaruh kantong plastik berisi obat, kompres, dan termos air hangat.
“Turunkan suhu dulu,” katanya pelan.
Suara itu tenang, tapi matanya jelas khawatir.
Gao Tu hanya diam, menatapnya sambil menggenggam tangan Lele yang lemah.
Wenlang duduk di tepi kasur, menyentuh kening anak itu lembut. “Lele, Papa Wen di sini.”
Lele membuka mata, senyum kecil muncul di bibirnya. “Papa Wen… jangan marah sama Daddy…”
Suara kecil itu membuat Gao Tu menunduk, menahan air mata.
Sementara Wenlang menatap anak itu lama — dalam tatapan itu ada sesuatu yang lembut, tulus, dan tak lagi bisa disangkal.
Malam itu, setelah suhu Lele turun, mereka duduk berdua di ruang tamu.
Hening.
Sampai akhirnya Wenlang berkata lirih,
“Aku gak tahu kenapa aku selalu salah ngomong di depanmu. Tapi satu hal yang aku tahu, setiap kali kamu marah… aku cuma makin ingin tetap di sini.”
Gao Tu mendesah pelan. “Kamu bikin semuanya rumit.”
“Cinta emang rumit, kan?”
“Siapa bilang ini cinta?”
“Lele.”
“Lele apa?”
“Dia panggil aku Papa. Dan aku gak bisa nolak.”
Keheningan itu memanjang, tapi kali ini tidak menyesakkan.
Gao Tu menatap Wenlang — dan di antara mereka, sesuatu berubah pelan.
Bukan hanya karena feromon, bukan karena tanda takdir, tapi karena malam itu mereka akhirnya membiarkan hati mereka terbuka sedikit.