Cinta Memang Begitu

957 Kata
Dari kejauhan, Bima mengamati Langit dengan alis bertaut. Sikap Langit pagi ini tak seperti biasanya. Ada kegelisahan yang kentara, seolah ia sedang memendam sesuatu yang berat. Bima menghampiri. “Lu kenapa? Dari pagi uring-uringan terus?” tanyanya. Langit tersentak. “Enggak apa-apa, Mas,” jawabnya cepat, berusaha terdengar santai. Bima tak percaya. Ia mengenal Langit terlalu baik. “Lu berantem lagi sama Malia?” kejarnya. Langit menggeleng cepat. “Enggak.” Ia memalingkan wajah, menghindari tatapan Bima. “Terus kenapa kemarin sore lu tiba-tiba ngilang gitu aja? Ada apa?” Nada Bima kini sedikit mendesak. “Enggak ada apa-apa, Mas. Enggak penting!” elak Langit, suaranya meninggi tanpa sadar. “Enggak penting tapi lu pikirin. Enggak biasanya lu kayak gini,” ujar Bima, matanya menelisik tajam. Langit tetap diam. Ia lalu pamit makan siang, sengaja menghindar. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan apa pun. Semalaman ia tak bisa tidur. Bayangan Malia dan laki-laki bernama Bryan itu terus menari di kepalanya, tak mau pergi. Di kantin, Langit menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, mengaburkan pandangannya—seperti pikirannya sendiri. Dadanya terasa semakin sesak. Pagi ini Malia bahkan tak datang ke kafe. Pasti sibuk bersama laki-laki itu. Atau jangan-jangan… sejak semalam? Langit menjentikkan bara rokok dengan kesal. “Mas Langit… aku boleh duduk di sini, ya?” Seorang perempuan manis berdiri di samping mejanya. Aroma gurih saus kacang dari sepiring gado-gado di tangannya menguar lembut. Langit mengangguk. “Silakan.” “Tumben, Mas, makan di kantin?” tanyanya sambil menarik kursi. Langit mematikan rokoknya. “Ah, sering kok. Kamu aja yang jarang lihat saya. Kalau saya sih, sering lihat kamu,” godanya, senyum isengnya tersungging. Perempuan itu mengernyit bingung. “Masak, sih? Kok aku enggak pernah lihat?” Langit akhirnya tertawa. Ia tak sanggup lagi mempertahankan kebohongannya. “Tuh, kan… bohong!” Sebuah cubitan gemas mendarat di tangan Langit. Tanpa Langit sadari, dari kejauhan Malia memperhatikan. Wajahnya memerah menahan amarah, rahangnya mengeras, matanya menyala. Tak lama kemudian, ia berbalik pergi. --- Senja lebih gelap dari biasanya. Langit bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera pulang sebelum hujan turun. Badannya tidak fit, kepalanya berat karena kurang tidur. Ia tak ingin jatuh sakit lagi. Tiba-tiba pintu terbuka. Malia masuk dengan wajah masam. “Aku mau ngomong.” Suaranya ketus dan dingin. Langit menarik napas panjang. Ada apa lagi? Mengapa dia selalu membuat drama saat ia mau pulang? Ia mengikuti Malia ke teras. Udara terasa lebih dingin—dan tegang. Malia menarik napas dalam sebelum akhirnya meledak. “Aku tahu hubungan kita enggak jelas. Tapi tolong hargai aku. Kalau kamu mau menggoda perempuan lain, jangan di sini! Dan jangan dengan anak buahku!” Langit terbelalak. Otaknya berputar cepat, mencoba mengingat-ingat. Ya Tuhan… apakah perempuan di kantin tadi? Malia melihatnya? “Aku enggak menggoda dia,” sahut Langit lelah. “Dia cuma nyari tempat duduk.” “Dari sekian banyak meja kosong, dia pilih meja kamu?” Malia menyergah, suaranya bergetar. “Ya Tuhan, Malia!” Langit mulai kehilangan sabar. “Aku bahkan enggak tahu namanya! Itu cuma bercanda.” “Tapi kamu menanggapinya, kan?” Nada Malia lirih, penuh luka. Langit menghela napas kasar. Ia terlalu lelah untuk bertengkar. “Jangan samain aku kayak kamu!” katanya tajam sambil mengenakan jaket, lalu melangkah pergi. “Maksud kamu?” Malia mengejar, kebingungan. Langit mempercepat langkah. Gerimis mulai turun. “Maksud kamu apa?!” Malia akhirnya berhasil mengejarnya di parkiran. Langit berhenti. “Aku bukan kamu yang gampang pindah ke lain hati,” ucapnya, menatap tajam sebelum naik ke motornya. Namun Malia menarik lengannya, memaksanya turun. “Apa maksud kamu?” tanyanya, tangannya mencengkeram jaket Langit. Langit mendekat, matanya menyala menahan amarah. “Bryan! Dia pacar baru kamu, kan?!” Tawa Malia pecah saat itu juga. Suaranya menggema di parkiran. Langit refleks menutup mulutnya. “Jangan berisik! Malu!” Malia menarik tangan Langit, tawanya masih tersisa. “Jadi ini yang bikin kamu aneh dari kemarin? Sampai enggak mau makan, enggak bisa tidur semalaman?” Langit tertegun. Dari mana dia tahu? Ah… Mentari. Ia lupa kalau sekarang adiknya sudah menjadi sekutu Malia. “Kamu cemburu sama Bryan?” goda Malia, mencubit gemas pipi Langit. “Aku suka kamu cemburu.” “Jadi benar dia pacar kamu?” Langit masih emosi. Malia menggeleng, senyumnya makin lebar. “Dia naksirnya sama kamu.” Langit membeku. “Hah?” “Iya. Dia sukanya sama kamu, bukan aku.” Malia tertawa kecil melihat wajah Langit yang syok. “Bryan itu mantannya Kak Leon. Baru pulang dari Amerika. Dia ke sini cuma bawain titipan dan bahas kerjaan.” Langit menghela napas panjang, lalu tersenyum kecut. Sial… Ia mengusap wajahnya. Pantas saja tatapannya aneh. “Maafin aku.” “Harusnya kamu tinggal tanya,” cibir Malia. “Iya, maaf…” “Nah, sekarang kamu tahu kan rasanya cemburu?” goda Malia lagi. Langit tersenyum tipis. “Aku pulang dulu, ya. Takut hujan makin deras.” “Aku antar,” kata Malia cepat. “Enggak usah.” Namun, tiba-tiba saja Malia sudah berdiri menghadang motornya. Langit membelalak. Kenapa dia kumat lagi? Ia menutup mata sesaat, pasrah, lalu mematikan mesin. Di dalam mobil, Langit menatap bosan deretan mobil yang tak bergerak di depannya. Di sampingnya, Malia sibuk dengan ponselnya. “Sampai rumah kamu harus makan. Aku udah pesen online,” ujar Malia sambil menyimpan ponsel. Langit hanya mengangguk pelan. Ia sudah membiarkan Malia kembali masuk dalam hidupnya—dan itu berarti menerima semua konsekuensinya. Hubungan mereka memang aneh. Semakin ia berusaha menjauh, mereka justru semakin dekat. Padahal, saat bersama pun mereka lebih sering bertengkar. Kadang ia berpikir, Tuhan sengaja mengirimkan Malia sebagai ujian. Mungkin hidupnya terlalu tenang dan membosankan, hingga ia perlu seseorang yang mampu mengacak-acak segalanya. Ia lelah menghindar. Ia akan menghadapinya saja. Bukankah ia sendiri yang memilih takdir ini... saat ia menyelamatkannya malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN