Harapan Baru

1102 Kata
Gedung Biru Ketukan pelan Sandra di pintu ruangan itu nyaris tak terdengar. Namun, sahutan dari dalam segera menyuruhnya masuk. "Ibu panggil saya?" Tanyanya, suaranya sedikit tercekat, pada wanita berkacamata yang fokus menatap layar komputer di mejanya. Wanita itu, Bu Widya, mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya, hanya memberi isyarat agar Sandra duduk di kursi di hadapannya. Jantung Sandra berdegup kencang saat ia mendudukkan diri. Bu Widya adalah puncak tertinggi di perusahaan ini, sang Direktur Utama. Tak mungkin ia memanggil karyawan biasa seperti dirinya kecuali ada hal yang sangat penting. Sandra menarik napas perlahan, mencoba meredakan detak jantungnya yang menggila. Ia menunggu, menanti kata-kata yang akan terucap dari bibir Bu Widya. Bu Widya akhirnya melepas kacamata, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi tingginya. Tatapannya kini beralih pada Sandra, tenang namun menghunus. "Semalam saya mendapat telepon dari Pak Subagja... Kamu pasti kenal, kan?" Mendengar nama itu, jantung Sandra serasa jatuh ke dasar perut. Wajahnya mendadak kaku, lidahnya kelu. Dengan susah payah, ia hanya bisa mengangguk. "Pak Subagja itu teman baik saya. Dan partner bisnis yang paling banyak memberikan kita proyek," jelas Bu Widya, nadanya datar. "Biasanya kalau dia menelepon, hanya ada dua kemungkinan. Kabar baik atau kabar buruk. Dan... semalam saya mendapatkan kabar yang buruk." Tubuh Sandra mendadak lemas tak bertenaga. Ia menunduk dalam, firasat buruk menyelimutinya. Ia tahu persis apa yang akan diucapkan wanita itu selanjutnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang akan saya katakan..." Sandra tak berani menjawab, bahkan tak sanggup mendongakkan kepala menatap wanita itu. "Saya tahu saya tidak berhak ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi karena ini menyangkut nama baik perusahaan, saya harap kamu bisa mengerti." Kini Bu Widya mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah memaksa Sandra untuk kembali memandangnya. "Maaf, Bu... tapi saya tidak bermaksud mencemarkan nama baik perusahaan." Suara Sandra nyaris seperti bisikan. Wanita itu tersenyum tipis. "Saya tahu. Tapi terkadang dalam dunia bisnis, benar dan salah dinilai berdasarkan kepentingan. Dan, perusahaan kita menganggap Bagja Company itu sangat penting. Jadi, apa pun yang mereka katakan itu menjadi penting. Lebih penting dari urusan pribadi kamu." Kata-kata Bu Widya menghantam batin Sandra seperti palu godam. Ia hanya bisa mengangguk pasrah. "Saya mengerti, Bu," ucapnya, suaranya serak. "Beliau meminta kamu untuk tidak lagi mendekati kekasih anaknya. Mereka akan segera bertunangan." Mata Sandra membelalak kaget. Tunangan? Jadi mereka akan bertunangan? Pikirannya kalut. "Dan kalau kamu masih melakukannya, kamu tahu konsekuensi yang akan kamu terima dari perusahaan ini, kan?" Bu Widya menatapnya dengan pandangan menusuk, memastikan Sandra memahami setiap perkataannya. Sandra kembali mengangguk, kali ini dengan perasaan hancur. "Iya, Bu. Saya mengerti." "Baik, karena kamu sudah mengerti, sekarang kamu boleh kembali ke ruanganmu," ucap Bu Widya, kembali mengenakan kacamatanya dan memusatkan perhatian pada layar komputernya. Sandra berpamitan dengan kepala tertunduk malu, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan wajah membara penuh amarah. Matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar hebat. Ia tak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya. Ia bukan pelakor. Ia bahkan tak melakukan apa pun selain bicara. Tapi dia dianggap mencemarkan nama baik perusahaan? Keterlaluan sekali perempuan manja itu memfitnah dirinya. Apakah Langit tahu tentang ini? Ia yakin Langit tak mengetahuinya. Karena kalau sampai dia tahu, dia pasti akan marah besar. Biar bagaimana pun, mereka pernah punya hubungan spesial. Langit pernah mencintainya. Dan ia yakin Langit masih mencintainya. Karena Langit tak mungkin mencintai perempuan manja dan penuh drama itu. Dia bukanlah tipenya! Tangannya meraih ponsel, lalu menekan sebuah nomor. Namun, sesaat kemudian, ia menutupnya kembali. Langit bahkan sudah memblokir nomornya? Sandra menghela napas berat, lalu berjalan ke jendela kaca ruang kerjanya. Dipandanginya gedung bertuliskan 'Bagja Tower' yang menjulang tinggi di hadapannya. Setetes air mata akhirnya lolos membasahi pipinya. .... Langit menatapi lukisan yang baru saja terpasang di dinding, seulas senyum terukir di bibirnya. Perlahan, ia meraba bekas sobekan yang telah berhasil ia perbaiki. Setelah sekian lama lukisan itu hanya menjadi tempat curhatnya, akhirnya kini ia berani meletakkannya di tempat semestinya. "Akhirnya... dipasang juga!" Tiba-tiba saja, Mentari sudah berada di sampingnya, memandangi lukisan keluarga mereka dengan sumringah. Adik perempuannya itu memang sudah memintanya sejak lama untuk memasang lukisan itu di ruang tamu. Katanya, biar sama seperti rumah teman-temannya yang memasang foto keluarga mereka. Dan biar dia juga bisa merasakan kehadiran Ayah dan Ibu seperti dulu. Alasan yang justru membuatnya tak kuasa menuruti permintaannya. "Udah sama kan, kayak rumah teman-teman kamu?" Ucap Langit, tersenyum pada adiknya. Mentari mengangguk, senyum gembira merekah di wajahnya. "Lagian... Mas Lang pasang lukisan aja nunggu mau tunangan dulu," sungutnya, membuat Langit tak bisa menahan tawa. Diacak-acaknya rambut sang adik dengan gemas. "Besok kamu sama Malia jadi belanja untuk seserahan?" Tanya Langit. "Jadi doong! Mas Lang gak usah nyusul juga enggak apa-apa. Ke bengkel aja biar lama. Kata Kak Malia dia mau belanja banyak," ucap Mentari dengan antusias. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Sejak ia memberitahu Mentari tentang niatnya untuk melamar Malia, Mentari sangat bahagia. Bahkan mereka berdua semakin akrab layaknya kakak adik. Sampai-sampai Malia meminta untuk membantunya mempersiapkan acara lamaran mereka. "Mas, kalau udah tunangan, terus nikahnya kapan?" Kini Mentari bergelayut manja di bahu Langit. "Ya, kalau Mas udah selesai kuliah." "Kata Kak Malia, kalau udah menikah nanti Mas Langit bakalan pindah ke apartemennya?" Langit menatap sang adik, terkejut. "Dia bilang begitu?" Mentari mengangguk polos. Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekarang ia harus bersiap seluruh hidupnya diatur oleh Malia. Dasar bossy, gerutunya dalam hati. "Mas, aku boleh gak nanti ikut tinggal bareng Mas Lang dan Kak Malia?" Pertanyaan Mentari membuat Langit tertegun. Kenapa dia harus bertanya? Tentu saja ia akan membawanya ke mana pun ia pergi. Ia tak akan membiarkan Mentari hidup sendirian sampai dia mempunyai pendamping nanti. "Ya, pastilah! Kalau nanti ditinggal kamu bisa enak-enakan bawa teman ke rumah. Dan bisa-bisa setiap hari kamu jalan-jalan seharian!" Sahut Langit, mencoba menutupi perasaannya. Mentari memandang Langit dengan bibir mencebik, seolah tak percaya. "Kalau udah mulai kuliah nanti, kamu harus berhemat karena Mas udah enggak kerja lagi." "Tapi kata Kak Malia, Mas Langit udah jadi karyawan Bagja Company?" "Iya, tapi kalau nanti mulai kuliah, Mas berhenti kerja dulu. Dan hidup kita benar-benar cuma mengandalkan tabungan." Ia memang memutuskan untuk berhenti sementara dari Bagja Company saat mulai kuliah nanti. Karena ia malu mendapatkan gaji dari perusahaan itu sementara ia belum berkontribusi apa-apa. Ia tidak ingin dianggap memanfaatkan hubungannya dengan Malia. Ia akan kembali bekerja setelah mendapatkan gelar sarjananya. Langit kembali memandangi lukisan itu. Sudah tak ada lagi kepedihan yang menyesakkan dadanya. Rasa itu tiba-tiba saja menghilang, digantikan oleh ketenangan. Kini ia ingin kedua orang tuanya tersenyum bangga melihat ia dan Mentari bisa melanjutkan hidup dengan bahagia. Dan sebentar lagi ia juga akan membuat mereka bangga dengan gelar sarjana seperti impian mereka. Langit menghapus air matanya yang tiba-tiba saja menetes, air mata kebahagiaan dan harapan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN