Dengan setelan olahraga yang membalut tubuh mungilnya, Malia berdiri di depan pagar rumah sambil mengayun-ayunkan ujung tali jaketnya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia mondar-mandir, langkahnya pendek dan gelisah, seperti anak kecil yang menunggu dijemput untuk pergi berlibur tanpa orang tuanya. Dan ketika suara knalpot motor tua itu akhirnya terdengar dari ujung jalan, wajahnya langsung menyala terang.
Motor itu berhenti di depan pagar. Bahkan sebelum Langit sempat membuka mulut, Malia sudah melompat ke boncengan. “Yuk, berangkat!” serunya dengan antusias.
Langit hanya menggeleng pelan sambil mengulurkan helm. “Kamu udah bilang Papa Mama kalau aku jemput pakai motor?” tanyanya. Ada kekhawatiran tipis dalam suaranya—kekhawatiran yang Malia pura-pura tidak mengerti.
“Udah. Enggak apa-apa, kok,” jawab Malia santai. “Kamu kan pernah antar aku pakai motor juga waktu itu.”
Langit bergumam kecil. “Iya, tapi waktu itu kan terpaksa…” Namun senyum tipisnya tetap lolos. Entah bagaimana, keriangan Malia selalu berhasil melumerkan pertahanannya, seperti matahari pagi yang menembus embun tanpa permisi.
Malia memang aneh—aneh dengan cara yang tidak bisa Langit jelaskan. Gadis kebanyakan mengejar kenyamanan, tapi Malia justru memilih kebebasan meskipun bentuknya sesederhana menaiki motor tua yang panas dan berisik. Ada sesuatu dari dirinya yang selalu ingin bergerak, merasakan udara tanpa filter, mengejar hal-hal kecil yang menurutnya terasa lebih hidup.
Setelah setengah jam perjalanan, mereka tiba di jalan raya yang ditutup khusus untuk kegiatan olahraga. Suasananya ramai, hidup, dan penuh warna. Orang-orang berlarian dengan ritmenya masing-masing, pesepeda melaju sambil menyapa satu sama lain, aroma jajanan pagi berbaur dengan udara hangat, dan tawa anak-anak kecil membumbung seperti riuh burung-burung di pagi hari.
Langit memarkirkan motor, lalu menggandeng tangan Malia. “Yuk, kita gabung.”
Malia mengangguk riang. Matanya sibuk menyapu sekeliling, seperti seseorang yang baru pertama kali menginjak dunia yang lebih besar dari kamarnya. “Kamu sering ke sini, ya?” ia bertanya, berlari kecil di samping Langit.
“Dulu sering sama Mentari,” jawab Langit jujur. “Sekarang udah jarang. Dia lebih suka pergi sama teman-temannya.” Langit tersenyum melihat ekspresi Malia. “Kamu gak pernah ke tempat ginian?”
Malia menggeleng sambil mengatur napas. “Jarang keluar rumah. Papa terlalu khawatir.” Suaranya pelan, tapi ia buru-buru menambalkan seulas senyum agar tidak tampak menyedihkan.
Mereka berlari beberapa putaran, berjalan santai, lalu berlari lagi. Malia berkali-kali berhenti hanya untuk mengamati orang-orang—mereka yang tersenyum, bercanda, menggoda teman mereka, atau sekadar menyapa orang asing. Ada sinar kagum di mata Malia, sinar yang membuat Langit sesekali melirik diam-diam. Malia tampak seperti seseorang yang baru belajar bernapas di ruang terbuka setelah lama hidup di balik kaca.
Setelah putaran ketiga, napas Malia mulai tersengal. Pipi dan hidungnya memerah seperti tomat matang. “Istirahat dulu…” pintanya terengah.
Langit segera menariknya duduk di trotoar dekat penjual minuman. Ia meraih minuman dingin dan mengulurkannya pada Malia. “Minum dulu.”
“Thanks…” Malia menenggak minuman itu dengan cepat, lalu menutup mata. Ia membiarkan kesegaran itu meresap dalam tubuhnya, sementara angin pagi mengusap wajahnya dengan lembut.
Langit memperhatikan bulir-bulir keringat di wajah Malia. Refleks, ia mengeluarkan handuk kecil dan menyeka dahinya perlahan. “Capek banget, ya? Kamu gak biasa olahraga di tempat panas begini.”
Malia membuka mata, mengangguk. Pipinya terasa semakin panas— tapi bukan karena lelah. “Makasih, ya.”
“Buat apa?” Langit memiringkan kepala.
“Buat ngajak aku ke sini,” jawab Malia dengan senyum kecil. “Dan… buat perhatian kamu.”
Seolah baru menyadari apa yang ia lakukan, Langit buru-buru menarik tangannya. Ia tampak canggung, tapi berusaha menutupinya dengan candaan. “Kalau kamu pingsan, aku juga yang repot.”
Malia terkekeh, tawanya jujur dan ringan— Tawa yang menepuk halus sesuatu dalam d**a Langit.
Saat mereka duduk bersama menikmati semilir angin, Malia kembali memandangi keramaian. Ada ibu-ibu yang senam dengan gerakan tak kompak, bapak-bapak yang bersaing langkah cepat, anak-anak kecil yang mengejar balon sambil tertawa, dan remaja yang sarapan sambil rebutan kerupuk.
“Kenapa mereka bisa sebahagia itu, ya…?” bisiknya lirih.
Langit meliriknya. Ekspresi Malia seperti campuran antara kagum, iri, dan rindu pada sesuatu yang tidak pernah ia punya.
“Karena kebahagiaan tiap orang beda-beda,” jawab Langit pelan. “Ada yang bahagia cuma karena ngumpul sama keluarga. Ada yang bahagia bisa olahraga pagi. Ada juga yang bahagia cuma lihat orang lain bahagia… kayak kamu.”
Malia langsung menunduk, wajahnya semakin merah. Namun beberapa detik kemudian, senyumnya memudar, berganti dengan gelombang perasaan lain yang lebih berat.
“Aku merasa bodoh,” ucapnya tiba-tiba.
Langit menoleh cepat. “Kenapa?”
Malia menarik napas panjang. “Harusnya kita ketemu dari dulu… Mungkin aku gak akan melakukan hal-hal bodoh itu.”
Pernyataan itu menggantung. Sunyi. Menyentuh titik yang mereka jarang sentuh.
Langit menghela napas. “Kalau kamu gak melakukan hal bodoh itu… kita juga gak akan ketemu.” Suaranya lembut, tapi jujur.
Malia mengembuskan napas berat. “Sekarang aku malu kalau ingat itu.”
“Aku juga sakit kepala kalau ingat itu lagi,” sahut Langit cepat—dan Malia akhirnya tertawa lagi.
Langit ikut tersenyum, lalu berdiri. “Yuk, makan ketupat sayur. Wajib kalau ke sini.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan Malia. Menggandengnya dengan hangat.
---
Dua jam kemudian, Langit mengajak Malia pergi ke makam kedua orang tuanya. Keputusan itu membuat Malia terkejut, tapi ia mengikuti tanpa bertanya. Ada sesuatu di raut Langit hari itu—lebih tenang, lebih jujur, lebih… rentan.
Di makam itu, Malia mengusap nisan perlahan. Batu itu dingin, tetapi ada sesuatu yang hangat merambat ke dadanya. Nisan itu entah kenapa terasa akrab.
Langit mencabuti rumput liar di sekitar makam, gerakannya tenang tapi raut wajahnya kaku oleh kenangan yang masih menyimpan luka. Kenangan yang lebih aman untuk disimpan darpada diceritakan.
Malia ingin bertanya. Banyak. Tapi ia menahan diri. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak apa-apa menunggu. Tidak apa-apa jika jawaban itu baru datang nanti. Tidak apa-apa jika Langit belum siap.
Setelah selesai, mereka berteduh di bawah pohon. Langit duduk di atas motornya, sementara Malia bersandar di batang pohon, membiarkan angin menggoyangkan rambutnya.
Hening menyelimuti keduanya. Namun itu bukan hening yang menyakitkan—lebih seperti ruang tenang yang membiarkan mereka bernapas.
“Orang tua kamu… meninggal tiga tahun lalu?” tanya Malia perlahan.
Langit mengangguk, matanya menerawang jauh. “Ayah duluan. Kecelakaan. Beberapa bulan kemudian ibu menyusul… sakit.”
Malia tidak bertanya lagi. Ia hanya mengulurkan tangan, menggenggam jari Langit dengan lembut. Genggaman yang penuh empati, bukan belas kasihan. Dan Langit membiarkannya.
Hening kembali hadir. Namun kali ini terasa hangat. Nyaman. Seperti dua orang yang tidak perlu kata-kata untuk saling mengerti.
Setelah beberapa saat, Langit menarik napas. “Aku antar kamu pulang sekarang.”
Malia terkejut. “Tapi aku belum mau pulang…”
“Aku ada kerjaan,” ujar Langit.
“Kerjaan apa? Kan kamu libur.”
“Ngajar melukis. Teman-temannya Mentari.”
Malia terpaku. “Kamu bisa melukis?” Nada suaranya seperti menemukan rahasia besar.
Langit hanya mengangguk, tersenyum kecil.
Ada sesuatu yang bergerak di benak Malia—bayangan samar seperti memori lama yang belum berhasil ditangkap. Namun semakin ia mengejar, semakin kabur gambar itu.
“Aku ikut, ya?” pintanya lirih, penuh harap.
Langit menggeleng tegas. “Enggak.”
“Kenapa sih…?”
“Malia, please.” Ada nada lelah di suara Langit, tapi juga sayang. “Kita udah ketemu hampir tiap hari. Besok lagi, ya?”
Malia merengut seperti anak kecil. Ia diam sepanjang perjalanan pulang, memeluk pinggang Langit dengan rasa kesal yang tak bisa disembunyikan.
Saat mereka tiba di depan pagar rumahnya, Malia turun dari motor pelan-pelan. Seolah masih ingin menggantungkan dirinya pada momen yang belum selesai.
Langit mematikan mesin motor, menatapnya, dan tersenyum lembut. “Sampai besok, ya.”
Malia mengangguk, bibirnya mengerucut kesal. Namun kali ini, Langit hanya tertawa kecil—tawa yang keluar begitu saja, karena semakin sering ia bersama Malia… semakin ia menikmati setiap sisi dirinya.
Setiap ngambeknya. Setiap tawanya. Setiap diamnya.
Dan mungkin, tanpa mereka sadari, hari itu mereka sama-sama pulang dengan d**a yang terasa sedikit lebih penuh.
Sedikit lebih hangat.
Sedikit lebih dekat.