Kafe tutup lebih awal dari biasanya, membuat Langit tiba di rumah sebelum senja sepenuhnya merenggut cahaya. Dari dalam kamar Mentari, sayup-sayup terdengar suara musik yang riuh. Langit mengetuk pintu, dan sesaat kemudian, Mentari menyembulkan kepalanya, rambutnya sedikit acak-acakan. Dengan senyum tipis, Langit menyodorkan novel yang dititipkan Malia padanya.
"Akhirnya... Thank you, Mas!" pekik Mentari riang, matanya berbinar penuh suka cita.
Langit masuk ke kamarnya, ingin segera menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk. Tapi tiba-tiba Mentari menerobos masuk. "Mas, udah ngucapin selamat? Ngasih kado apa tadi?" Tanyanya, sorot matanya penuh selidik.
Langit mengernyitkan kening. "Maksudnya?"
"Loh? Mas Lang enggak tahu kalau hari ini Kak Malia ulang tahun?" Mentari tampak kaget, tak percaya.
Kini Langit benar-benar terkejut. Ditatapnya Mentari penuh tanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya ampun! Mas Langit benar-benar enggak tahu?" Mentari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus tadi ketemu Kak Malia enggak ngomong?" Tanyanya lagi. Dan saat melihat Langit menggeleng, Mentari pun kembali mengomel, bibirnya mengerucut. "Mas Lang keterlaluan! Masak ulang tahun Kak Malia bisa lupa?" Sungutnya seraya kembali masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Langit dalam kebingungan.
Langit duduk terpaku. Keningnya berkerut, mengingat kembali pertemuannya hari ini dengan Malia. Apakah dia sengaja mengadakan meeting di kafe untuk mengingatkannya? Atau mungkinkah mereka memang tengah merayakannya? Diingatnya kembali wajah Malia yang sempat tertidur sendirian saat meeting sudah selesai. Apakah dia sengaja menunggunya memberi ucapan? Kini, sesal menyeruak di hatinya. Ternyata masih banyak yang tak diketahuinya dari gadis itu. Sampai ulang tahunnya pun ia tak tahu. Mungkin benar, selama ini ia memang tak pernah benar-benar peduli padanya. Ia hanya menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan, sebuah entitas yang harus ia hadapi.
Langit membuka ponselnya. Ia akan mengucapkannya saja lewat telepon. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya saat tiba-tiba teringat sesuatu. Bergegas ia masuk ke dalam studio lukisnya, dan membuka kain penutup lukisan yang dibuatnya waktu itu. Lukisan yang membuat ia sampai jatuh sakit saat membuatnya. Ditatapnya kembali lukisan itu, disentuhnya wajah yang terlukis di sana, seolah ingin memastikan keberadaannya. Kemudian ia membungkusnya dengan kertas tebal, sangat hati-hati, dan membawanya pergi.
Empat puluh menit kemudian, Langit sudah sampai di depan pagar rumah Malia. Seorang satpam keluar dari pintu kecil, lalu berjalan mendekatinya dengan senyum ramah. "Mbak Malia baru saja keluar, Mas! Sama Bapak dan Ibu!"
"Oh! Enggak apa-apa, Pak! Saya mau titip ini saja buat dia!" Langit menyerahkan lukisan itu padanya. "Maaf, Pak. Boleh pinjam pulpen?" Tanyanya, menyadari kelalaiannya untuk menuliskan ucapan ulang tahun.
Langit lalu kembali pulang dengan hati yang lega. Beberapa hari yang lalu ia masih tak mengerti mengapa ia ingin sekali melukis wajahnya. Tapi kini ia mengerti alasannya. Mungkin, hatinya tahu lebih dulu.
Bima kembali datang lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum kafe dibuka. Tapi kali ini ia membawa seseorang bersamanya.
"Lang, kenalin ini Pak Tommy. Dia yang akan merenovasi teras belakang jadi area outdoor kafe," ucap Bima dengan wajah yang kembali sumringah, seolah baru saja mendapat durian runtuh.
Langit menyambut uluran tangan Pak Tommy seraya memandang Bima dengan bingung. Meski ia tahu itu adalah rencana Malia, namun tetap saja membuatnya sangat terkejut. Ia tak mengerti tujuan Malia. Buat apa dia buang-buang uang untuk merenovasi teras? Kafe mereka, meskipun kecil, tidak pernah kekurangan kursi. Lagipula sebagian besar pelanggan memesan kopi mereka untuk dibawa pulang. Tak ada gunanya menambah tempat duduk lagi hingga ke teras. Pikiran Langit dipenuhi tanda tanya besar.
"Hai!"
Sebuah suara mengagetkan Langit. Tiba-tiba saja Malia sudah berdiri di depan konter, persis di hadapannya. Sesaat Langit tertegun. Kenapa dia cantik sekali hari ini? batinnya, sebuah pikiran yang spontan dan tak terduga.
"Aku habis potong rambut." Malia seolah membaca pertanyaan di wajah Langit, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
"Oh! Hmm... Mau kopi?" Langit mendadak canggung, seperti seorang anak sekolah yang ketahuan menyontek.
Malia mengangguk, lalu memandang Langit dengan ragu. "Mmm... apa kamu mau menemani aku sambil menunggu kafe buka?" Tanyanya seraya melempar pandang ke sekeliling kafe yang kosong, seolah ingin memastikan ia tak mengganggu pekerjaan Langit.
Sesaat Langit ragu untuk menjawab. Namun saat dilihatnya Bima memperhatikannya dari kejauhan, sebuah tatapan penuh harap dan desakan, ia pun akhirnya mengangguk.
"Makasih!" Ucap Malia saat Langit membawakan kopi pesanannya dan duduk di hadapannya. "Hmm, aku sengaja ke sini mau ucapin terima kasih buat kadonya. Maaf, kemarin aku lagi enggak ada di rumah," imbuhnya, nada suaranya tulus.
Langit menggeleng. "Enggak apa-apa. Aku kan, memang enggak bilang mau ke sana. Aku juga minta maaf karena kemarin sempat lupa," ucapnya, sedikit malu mengakui kelalaiannya.
Malia tersenyum. "Apa Mentari yang memberi tahu kamu?" Tanyanya, senyumnya semakin lebar.
Dan Langit lalu mengangguk, kembali malu. "Mmm... apa kamu suka dengan kado itu?" Tanyanya dengan hati berdebar, menantikan jawaban Malia.
"Aku suka sekali!" Sahut Malia dengan mata berbinar, ekspresinya penuh kebahagiaan. "Apa lukisan itu yang membuat kamu... jatuh waktu itu?" Tanyanya hati-hati, seolah takut menyentuh luka lama.
Langit memandang Malia dengan tanya. Dari mana dia tahu?
"Oh. Hmm... Mas Bima bilang kalau kamu jatuh pingsan setelah melukis semalaman," imbuhnya, menjawab tanya di wajah Langit.
Ah, dasar Mas Bima memang tidak bisa dipercaya. Untuk apa dia ceritakan itu pada Malia? Bikin malu saja, gerutu Langit dalam hati.
"Kamu bisa mengingat wajahku dengan begitu sempurna." Malia menatap Langit dengan sorot mata yang dalam, seolah menembus jiwanya.
Pujian Malia membuat Langit tersenyum bahagia. Tak sia-sia ia melukisnya sampai jatuh sakit. "Tadinya aku mau lihat wajah kamu dari hape. Tapi aku lupa, kalau ternyata aku enggak punya foto kamu. Tapi aku mengingatnya sangat jelas saat kamu... menangis waktu itu," ucapnya. Dan ia sangat mengingatnya sampai berhari-hari kemudian, sebuah memori yang terukir dalam benaknya.
"Itu sebabnya ada air mata di lukisan itu?" Lirih Malia, suaranya bergetar.
Langit kembali mengangguk, sorot matanya lembut.
"Itu kado paling indah yang pernah aku dapatkan di hari ulang tahunku." Malia menatap Langit dengan mata berkaca-kaca. "Itu sangat berarti buatku. Kamu membuatnya sampai..."
"Hei... Enggak apa-apa. Kamu kan, tahu waktu itu kondisiku memang lagi enggak fit?" Potong Langit, tak ingin melihat Malia menangis lagi di hadapannya. Ia tak sanggup.
Malia mengusap kedua matanya dengan jemarinya. "Maafkan aku," ucapnya lagi, nada penyesalan masih terasa.
"Kalau kamu minta maaf lagi, aku pergi!" Ancam Langit berseloroh, mencoba mencairkan suasana.
Akhirnya Malia tersenyum, senyum yang begitu menghangatkan hati Langit. "Apa aku... masih boleh main ke rumah kamu?" Tanyanya kemudian, suaranya sedikit ragu, penuh harap.
Sesaat Langit terdiam, namun akhirnya ia mengangguk. Melihat mata yang berkaca-kaca itu menatapnya, ia tak kuasa untuk menolaknya. Sebuah dinding yang perlahan runtuh.
"Terima kasih!" Malia kembali tersenyum. Lalu melirik jam tangannya. "Sudah jam delapan. Kamu harus buka kafe. Aku ke kantor dulu, ya?" Malia menyeruput kopinya hingga menyisakan buih s**u yang menempel di bibirnya. Dengan spontan, Langit mengambil tisu, lalu mengusap bibirnya. Dan seketika itu pula, Malia tertegun menatapnya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang singkat.
Dan Langit pun segera tersadar. "Maaf..." Ucapnya seraya melepaskan tangannya dengan salah tingkah, pipinya merona tipis.
Malia menggeleng seraya tertawa kecil. "Terima kasih!" Ucapnya, lalu beranjak pergi, meninggalkan Langit dengan jantung berdebar.
Langit menghembuskan napasnya. Ah! Apa yang ia lakukan tadi? Bodoh sekali! Bikin malu saja, rutuknya dalam hati.
Kini Langit termenung di kursinya. Diingatnya kembali kata-kata Bima. Apakah ia yang sebenarnya terlalu memaksakan diri? Memaksa hatinya untuk tidak jatuh cinta padanya? Karena ia takut cinta akan menyakitinya kembali seperti waktu itu, saat perempuan itu meninggalkannya. Sungguh ia tak akan sanggup lagi jika harus kembali patah hati. Karena duka kehilangan kedua orang tuanya pun masih ia rasakan pedihnya hingga saat ini, sebuah luka yang tak pernah benar-benar sembuh.