Tak Bisa Jauh Darimu

1012 Kata
Pagi itu, Bima datang lebih awal dari biasanya. Di tangannya ada boks roti yang familier dan sebuah kantong hitam besar yang tampak mencurigakan. “Banner kerja sama dari Bagja Company,” serunya begitu masuk, wajahnya sumringah. Ia menyerahkan banner itu pada Langit. “Mereka mau jadiin kafe kita salah satu meeting space mereka. Dan—ini yang paling penting—Dewa Cafe bakal dipromosikan di media sosial mereka!” Langit mengangkat alis. “Oh ya? Terus, kompensasi kita apa buat mereka?” Tanyanya, sambil membuka gulungan banner. Bima menggeleng. Senyumnya seperti habis memenangkan sebuah tender besar. Tangan Langit berhenti. “Maksudnya, mereka enggak minta apa-apa dari kita?” Matanya membulat, sulit percaya. Bima mengangguk, senyumnya makin lebar. “Mereka bayar sewa tempat dan konsumsi. Tanpa diskon. Besok mulai meeting, habis makan siang.” Langit menatapnya lama. “Kok bisa, Mas? Ini pasti idenya Malia, kan?” tanyanya, curiga. “Lu tuh,” Bima mendecak, setengah jengkel. “Kalau sama Malia, bawaannya curiga aja. Ya terus kenapa kalau ini ide dia? Rezeki masa ditolak? Mau ide siapa pun, selama menguntungkan kafe, gue terima dengan senang hati!” Nada Bima sedikit naik, seolah kewarasannya baru saja dipertanyakan. Langit akhirnya diam. Ia paham sekarang—Mas Bima masih berpihak pada Malia. Perasaannya tak akan pernah jadi pertimbangan selama bisnis diuntungkan. Sebuah kenyataan pahit yang harus ia telan. Ia menghela napas panjang. Tiga minggu sudah mereka menjaga jarak, dan kini Malia kembali muncul dengan caranya sendiri. Buat apa dia menyewa tempat meeting di kafe kecil ini? Bagja Company punya banyak ruang rapat, bahkan function room yang jauh lebih layak. Kenapa harus di sini? Kepalanya mendadak berdenyut. Selama tiga minggu itu, hidupnya terasa ringan. Tenang. Tanpa tekanan. Tanpa drama. Kini, semuanya kembali. Mengapa begitu sulit membuat Malia mengerti? Atau… permintaannya memang terlalu sulit untuknya? “Kayaknya gue mesti beresin teras belakang...” ujar Bima tiba-tiba. Keningnya mengernyit, jemarinya mengusap-usap dagunya. “Bagus kayaknya kalau jadi area outdoor.” Langit menoleh, kali ini tanpa ekspresi terkejut. Ia yakin, itu ide Malia juga. “Terserah lu aja, Mas," sahutnya malas. Bima tertawa geli, seolah kepasrahan Langit adalah sesuatu yang menghibur. Tak lama kemudian, sebuah email masuk. Reservasi resmi dari Departemen Marketing—dipimpin oleh Malia. Kafe akan dibooking selama empat jam. Artinya, Malia akan berada di sana dari setelah makan siang hingga menjelang tutup. Langit mengusap wajahnya. Rasa gusar menyeruak. Dari kejauhan, ia melihat Bima dan Danar sibuk menyusun meja dan kursi, wajah mereka tampak antusias. Ia melirik jam tangannya. Satu jam lagi mereka datang. Tepat pukul dua siang, dua belas orang peserta meeting sudah memenuhi kafe. Mereka menyapa Langit dengan ramah. Wajah-wajah yang tak asing—pelanggan setia Dewa Cafe. Malia datang lima belas menit kemudian. Bersama Pak Subagja. Langit terkesiap. Skenario terburuk berputar di kepalanya. Ia takut pria itu kembali memanggilnya, memaksanya. “Apa kabar, Langit?” sapa Pak Subagja hangat. “Katanya kamu sempat sakit?” Langit terkejut, tak menyangka Malia memberitahukan itu pada Ayahnya. Apakah dia juga tahu jika ia dan Malia tak saling bicara? “Cuma kecapekan, Pak.” Langit menjawab canggung. “Jangan terlalu capek. Kalau masih butuh orang buat bantu-bantu di sini, bilang saja ke Malia,” lanjut Pak Subagja sambil melirik putrinya. Malia menunduk, tak berani menatap siapa pun. “Terima kasih, Pak. Danar sudah cukup,” sahut Langit cepat. "Jaga kesehatan, ya." Pak Subagja menepuk bahunya pelan sebelum berlalu. Sentuhan sederhana yang entah kenapa selalu membuat d**a Langit menghangat. Ia melihat sosok ayah dalam diri pria itu—dan mungkin itulah sebabnya semuanya terasa semakin rumit. Malia, tak seperti biasanya, memilih duduk tepat di depan konter. Berhadapan langsung dengan Langit. Langit tahu itu bukan kebetulan. Itu kesengajaan, tantangan untuk mengujinya. Dua jam berlalu dengan perasaan yang tak pernah benar-benar tenang bagi Langit. Ia memang sibuk, tapi hatinya berkecamuk, dan pikirannya terpecah. Beberapa kali, tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu. Dan setiap kali itu terjadi, jantung Langit seperti lupa cara berdetak dengan normal. “Lu belum ngomong lagi sama Malia?” Tiba-tiba saja Bima berbisik di telinganya. Langit menggeleng. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri,” kata Bima pelan. “Lu jalanin aja sebisanya.” “Nerimanya juga capek, Mas," sahut Langit lirih. “Capek kalau lu cuma diam, enggak berusaha buat memperbaiki," balas Bima. Ia menatap Langit dalam-dalam. “Dia perempuan, Lang. Mereka terbiasa pakai perasaan. Kadang, sikap dan perasaan mereka aja saling bertentangan." Langit terdiam. “Dia berjuang sendirian, demi cintanya sama lu,” lanjut Bima. “Tapi lu malah terus menghindar. Lu menganggap dia salah, hanya karena dia mencintai lu?” Kata-kata itu menghantam Langit tanpa ampun. “Kadang cinta enggak datang sendiri, Lang. Kadang harus dicari,” ujar Bima, sebelum kemudian mengampiri Malia yang memanggilnya. “Meeting mau selesai. Lu bikinin bill buat dia," perintah Bima saat kembali ke konter. Lima belas menit kemudian, peserta meeting pergi satu per satu. Meninggalkan Malia seorang diri. Ia duduk bersandar ke dinding. Matanya terpejam, wajahnya tampak lelah. Hati Langit mencair. Ia menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Kenapa ia terlihat selelah itu? Tiba-tiba Malia membuka mata. Langit tersentak, kepalanya refleks menunduk. Malia bangun dari kursi, lalu menghampiri Langit. “Hai,” sapanya lembut. “Hai,” balas Langit, berusaha terdengar santai meski jantungnya berdegup tak karuan. “Aku mau bayar.” Malia menyodorkan sebuah kartu. Langit mengambilnya, memproses transaksi dengan cepat tanpa berani menoleh. “Thanks,” ucap Malia saat transaksi selesai. “Oh ya… ini buat Mentari.” Ia mengeluarkan sebuah novel tebal. “Aku janji mau minjemin.” Langit membaca judulnya sekilas. Novel romansa. “Makasih,” ucapnya, senyumnya kali ini terasa lebih tulus. Malia mengangguk, lalu berbalik. Namun sebelum membuka pintu, ia berhenti. Menangkap bayangan Langit di kaca. Tatapan mereka bertemu lewat pantulan. Malia tersenyum—senyum yang menyimpan harapan. Langit mengembuskan napas lega saat Malia akhirnya menghilang. Pintu tertutup pelan, tapi hatinya justru semakin gaduh. Kata-kata Bima terus terngiang. Mau sampai kapan ia terus menghindar? Dan untuk pertama kalinya, ia ragu, apakah menghindar benar-benar pilihan yang tepat. Ia menyadari, menjauh bukan berarti selesai. Dan janji pada diri sendiri ternyata jauh lebih rapuh daripada yang ia kira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN