Derita Pak Subagja

1272 Kata
“Selamat sore, Pak Subagja! Selamat datang di Café Dewa!” Suara lantang Bima memecah keheningan sore itu, membuat Langit yang tengah melayani pelanggan menoleh. Ia tersenyum ramah pada pria paruh baya yang baru masuk. Pak Subagja membalas dengan senyum hangat, lalu memesan kopi hitam dan memilih duduk di sudut kafe yang agak tersembunyi. Tak lama kemudian, Langit datang membawa secangkir kopi panas. “Apa kabar, Pak Bagja?” sapanya sambil mengulurkan tangan. “Baik, Langit. Terima kasih,” jawab Pak Subagja, tersenyum tipis. Namun di balik senyum itu, ada lelah yang sulit disembunyikan. “Kamu masih sibuk? Saya ada sedikit perlu.” Langit menoleh sekilas ke arah Bima, meminta izin. Bima mengangguk singkat. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya, lalu duduk di hadapan pria itu dengan hati-hati. Firasatnya kuat—ini pasti tentang Malia. Pak Subagja menatap Langit, ragu-ragu. Ia menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kekuatan. “Begini... saya mau minta tolong sama kamu. Saya tahu permintaan ini berat. Kamu juga sibuk bekerja. Tapi…” Ia terdiam lagi, matanya penuh kegelisahan. “Saya sungguh tidak enak hati mengatakan ini, Langit,” lanjutnya dengan suara nyaris berbisik. Jantung Langit berdebar. Ia condongkan tubuh, siap mendengar. “Malia... sudah setahun ini mengurung diri di kamarnya,” ucap Pak Subagja lirih. “Dia tidak pernah keluar rumah sejak kembali dari kuliahnya di London. Dia depresi berat—terpukul setelah adiknya meninggal di sana.” Langit terdiam. “Hubungan mereka sangat dekat. Sejak kecil, tak pernah terpisahkan. Mereka bahkan kuliah di kampus yang sama. Adik Malia, Mario... anak bungsu saya. Dia meninggal karena kecelakaan mobil, hampir tiga tahun lalu.” Suara Pak Subagja melemah. “Malia sangat terpukul. Sampai sekarang dia masih trauma, belum bisa melupakannya.” Ia menyesap kopinya perlahan, mencoba menelan kepedihan yang kembali menyeruak. Langit menatap pria itu dengan hati mencelos. Ada rasa dejavu yang kuat. Ia tahu rasanya kehilangan. Ia tahu seperti apa hampa dan putus asa itu. Dulu, ia juga pernah berada di titik itu—ditinggalkan Ayah secara mendadak, lalu kehilangan Ibu tak lama setelahnya. Kini, ia melihat pantulan luka yang sama di mata Pak Subagja. “Apa itu yang membuat Malia jadi…” Langit tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Pak Subagja mengangguk pelan. “Kehilangan Mario membuatnya hampir menyerah. Dia beberapa kali mencoba bunuh diri dengan overdosis obat penenang. Tapi kami selalu berhasil mencegahnya. Dokter sempat bilang dia sudah membaik, tak perlu obat lagi. Tapi entah kenapa, dia melakukannya lagi… dan kamu menyelamatkannya malam itu.” Tatapan pria itu melembut, disertai senyum tipis yang sarat makna. “Sejak bertemu kamu, Malia seperti punya semangat baru. Dia mulai keluar rumah, meski hanya untuk menemuimu. Dan ketika kamu bilang akan menemaninya ke dokter, dia jadi lebih rajin menjalani terapi.” Ia menatap Langit sungguh-sungguh. “Saya ingin memastikan, apakah ucapanmu itu sungguh-sungguh?” Langit mengangguk mantap. “Saya sungguh-sungguh, Pak. Tapi… saya cuma bisa menemaninya di hari libur.” Senyum lega perlahan merekah di wajah Pak Subagja. “Terima kasih, Langit. Saya sangat menghargainya.” Ia menghela napas pelan, lalu menatap Langit dengan raut sungguh-sungguh. “Tapi saya tidak ingin terlalu banyak menyita waktumu hanya untuk menemaninya terapi. Kamu juga punya pekerjaan, dan saya paham itu.” Ia menunduk sejenak, suaranya melunak. “Kalau boleh, saya ingin meminta sesuatu yang sedikit berbeda. Saya ingin kamu… menjadi temannya.” Langit menatapnya bingung. “Teman?” Pak Subagja mengangguk. “Ya. Teman dekat yang bisa dia percaya. Yang bisa membuatnya semangat menjalani hari-harinya lagi. Karena sebenarnya, yang paling Malia butuhkan saat ini bukan obat, tapi seseorang yang bisa membuatnya merasa hidup.” Ia berhenti sejenak, menatap Langit dengan mata yang mulai berkaca. “Dia sudah lama menjauhi teman-temannya. Tapi sejak bertemu kamu, dia seperti berubah. Dia mulai keluar rumah, datang ke kafe ini, dan tersenyum lagi… meski hanya sebentar.” Langit terdiam. Ia memang berjanji menemani Malia ke dokter, tapi menjadi teman dekat? Ia bahkan tak tahu harus bicara apa pada perempuan seperti Malia—kehidupan mereka sangat jauh berbeda. “Jangan khawatir, Langit,” ujar Pak Subagja lembut. “Saya akan memberikan imbalan. Anggap saja ini pekerjaan sampingan. Kamu boleh tentukan sendiri bayaranmu.” Langit terperanjat. “Enggak perlu, Pak. Saya ikhlas melakukannya.” Tapi bahkan dirinya terkejut mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Pak Subagja tersenyum haru. “Terima kasih, Langit. Tapi kali ini biarkan saya yang membalas budi.” Langit hanya terdiam. Sebagai mantan jagoan, ia sudah sering menolong orang tanpa pamrih, bahkan dengan taruhan luka dan darah. Tapi baru kali ini seseorang begitu tulus berterima kasih padanya hingga matanya berkaca-kaca. “Saya tahu kamu bukan orang yang mengejar uang,” lanjut Pak Subagja. “Tapi permintaan saya ini berat. Menemani Malia selama berbulan-bulan bukan hal mudah. Kamu bisa gunakan uang itu untuk adikmu. Kata Malia, kamu punya adik perempuan yang masih sekolah, kan?” Langit mengangguk kikuk. “Saya hanya ingin kamu tahu, Langit… seorang ayah akan melakukan apa pun demi anaknya.” Suara Pak Subagja bergetar. Langit terpaku. Di hadapannya, seorang pria terpandang memohon demi kebahagiaan anaknya. Kekayaan, jabatan—semuanya tak berarti di hadapan kasih seorang ayah. “Dan saya percaya kamu juga akan melakukan hal yang sama untuk adikmu, kan?” tanya Pak Subagja, matanya basah. Langit menunduk. Wajah Mentari tiba-tiba muncul di benaknya. Ia memang sedang membutuhkan biaya besar sekarang. Pandangannya beralih ke arah Bima yang tengah merapikan meja konter. Sebuah konflik batin menyeruak di d**a. Akhirnya, dengan napas panjang, Langit mengangguk. Ia memilih diam, tapi dalam hati, ia tahu—ia baru saja membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya. Pak Subagja menggenggam tangannya erat, lalu berdiri sambil menepuk bahunya. “Terima kasih, Nak.” Ada kelegaan yang jelas di wajahnya. Ia merangkul Langit sebelum pergi. Langit bersandar di kursinya, terdiam lama. Bukan karena ragu menemani Malia, tapi karena satu hal yang kini mengusik: uang. Apakah ini benar yang sedang ia lakukan? “Hei. Lu gak apa-apa?” Tepukan di bahu membuatnya tersadar. Langit menoleh. “Gak apa-apa, Mas.” “Ada yang mau lu ceritain?” tanya Bima, nada suaranya penuh selidik. Langit menggeleng. “Mungkin nanti, Mas.” Bima tersenyum kecil. “Kapan pun lu mau cerita, kabarin gue. Gue balik duluan.” Langit hanya mengangguk, menatap punggung Bima hingga menghilang di balik pintu kafe. Di luar, langit mulai gelap. Ia membereskan meja-meja dengan langkah berat. … Malamnya, di kamarnya yang sederhana, Langit menatap layar ponselnya. Sebuah nomor terpampang di sana, dengan foto profil Malia—wajah cantik tanpa senyum. Ia menarik napas pelan, lalu mengetik: "Hai…" Beberapa detik kemudian, balasan masuk cepat. "Hei… " disertai emotikon hati. Langit tersenyum kecil, merasa jantungnya berdebar aneh. Ia bukan tipe yang pandai mengobrol lewat pesan, tapi dengan Malia, semuanya terasa mudah. Entah bagaimana, percakapan itu terus mengalir, hingga tanpa sadar hampir satu jam berlalu. Saat Malia meminta video call, Langit menolak halus. Bukannya tak mau, tapi ia khawatir Mentari—adik usilnya itu—tiba-tiba masuk kamar dan membuatnya malu. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Udahan dulu, ya? Udah malam. Kita sambung lagi besok! " tulisnya. "Oke. Sampai besok! 😘" Langit menatap emotikon itu lama, lalu tertawa kecil. “Apa mesti dibales?” gumamnya. Akhirnya ia mengetik singkat: Bye...! Kini ia menjatuhkan kepalanya yang terasa pegal di atas bantal. Dipandanginya langit-langit kamarnya. Perasaan aneh itu kembali datang. Diingatnya semua percakapan mereka. Apakah Malia selalu seramah itu kepada semua orang, atau hanya padanya saja? Ah, kenapa ia jadi baper? Langit buru-buru menghapus bayangan wajah Malia, lalu membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Namun semakin ia mencoba memejamkan mata, semakin sesak rasanya, mengingat bahwa semua ini hanyalah permintaan, sebuah pekerjaan yang dibayar. Dan perasaan itu membuatnya merasa bersalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN