1. Abian POV

1204 Kata
Menjadi bawahan itu serba salah. Dan itu terjadi padaku saat ini. Misi penyergapan gembong narkoba di bagian barat Jakarta gagal total. Tidak ada yang berhasil kami dapatkan sebagai barang bukti. Padahal misi ini tidak diketahui olehku, tapi lihat, imbasnya padaku. Meja bundar di isi oleh semua panglima kepolisian. Semua seolah menyudutkanku karena kesalahan ini, dan melupakan hal-hal yang sudah aku lakukan dari dulu. Sialnya, ini adalah misi seniorku. Dia memintaku secara pribadi untuk membantunya, tapi lihat, sekarang dia hanya diam saja. “Media sudah meliput dan mereka meminta pertanggung jawaban atas hal ini.” Brigadir Jenderal Jake, salah satu perwira tinggi bicara dengan nada rendah, “lebih lagi kasus ini melibatkan anak muda andalan kita.” “Kita tidak punya jalan lain, amarah media harus diredakan sementara.” Usul Brian, dia adalah Inspektur Jenderal, “dan maaf, Abian. Kau sepertinya harus berada di cabang selama 1 tahun.” Lihat? Aku yang menjadi sasaran empuk mereka. Dan sosok yang membuatku begini sama-sekali tidak angkat suara. Apalagi yang aku harapkan jika sudah mereka yang meminta. “Hanya setahun, kau hanya perlu bertindak seperti biasa. Tugas ini tidak seberat tinggal di hutan atau menyamar menjadi penjual bakso.” Berita itu meluncur dengan cepat. Media menjadikan nama dan gambarku di halaman pertama koran mereka. Sesuatu yang akan menjadi konsumsi publik. Di saat keadaanku yang sedang sial ini, ada sosok manusia yang sedang tertawa sampai tersedak makanannya sendiri. Aku hanya menatap Fernan, dia salah satu kolega kerjaku. Jabatan kami sama. Dan sejak tadi tidak berhenti tertawa begitu aku menjelaskan keputusan di ruang rapat paripurna. Seorang dengan lambang pangkat 2 melati akan turun ke cabang. Itu memang sebuah penghinaan bagi seorang perwira. Tapi aku bisa apa? “Wah, jadi kau akan turun ke cabang? Aku sungguh tidak menyangka, jika aku jadi kau, aku tidak akan diam saja, Bian.” Oh ya. Bian. Mereka memanggilku begitu. “Seperti kau sudah berani saja melakukannya, Fernan. Kau lupa siapa yang membuatmu menjadi sampah tidak berguna seperti sekarang?” “Sialan, kau meragukan pekerjaanku sekarang?” “Tidak. Tidak salah lagi. Setidaknya hukumanku tidak seberat hukumanmu yang harus menyamar menjadi tukang jual bakso keliling. Aigoo, kau tidak tahu saja penyamaranmu itu sangat buruk sekali.” “Setidaknya aku dapat kupon setiap minggu. Banyak hal yang aku pelajari dari seorang tukang bakso. Omset mereka per minggu bisa menyaingi gajiku sebulan, Bian. Aku malah kepikiran resign dan jadi tukang bakso saja. Jangan salah dengan pelaku UMKM seperti mereka.” “Dasar bodoh.” Fernan hanya tertawa. Kami masih berada di kantin kantor, dan hingga saat ini sosok yang membuatku begini masih belum mengatakan sepatah katapun. Aku sangat geram, dan ingin memukulnya. Apa kata papa dan mama jika tahu aku turun jabatan? Mereka pasti akan sangat kecewa. Bahkan sebelum aku beritahu, mereka pasti sudah mengetahuinya. Papa sudah mengirim satu pesan sejak tadi, dan aku tidak membalasnya sama-sekali. Otakku sudah cukup panas dengan semua masalah ini. “Malam ini anak-anak ke klub, kau tidak ikut? Barangkali bisa membuat pikiranmu jauh lebih segar. Aku turut bersuka cita dengan penderitaanmu ini. Akhirnya seorang Abian turun ke derajat yang sama dengan kami. Oh ya, aku cabut dulu, jangan lupa bayar punyaku.” “Sialan, mati saja kau.” Dia benar-benar meninggalkanku seorang diri. Sungguh tidak tahu diri. Bukannya membantu, dia malah merepotkan saja. Aku benar-benar akan membunuhnya nanti. Begitu membayar, aku kembali ke kantor. Beberapa wartawan menunggu di depan, dan itu membuatku kesal. Mereka bahkan tidak mengerti keadaanku. Tapi begitulah orang. Semua orang akan mengedepankan kepentingan mereka. Tanpa peduli perasaan orang. Kadang aku merasa heran, mereka masih bisa bertanya pada korban pelecehan, atau korban yang keluarganya dibunuh. Benar tuntutan pekerjaan. Tapi setidaknya mereka harus tau batasan. Sebelum aku keluar, untungnya Fernan sudah memberi pesan. Dia sudah menyamar menjadi aku, dan sudah keluar. Melihat ke luar, memang benar para wartawan itu sedang berdesak-desakan untuk menghampiri dia. Aku tersenyum. Walau menyebalkan, dia sangat mengerti tanpa harus diminta. Segera aku mengambil kunci mobil dan beberapa perlengkapan di kantor. Memasuki parkiran belakang dan menghilang dari sana. Saat melintasi bundaran, aku melihat Fernan baru saja membuka topinya dan tertawa kencang saat para media itu marah dan kecewa. Aku meningkatkan laju mobil. Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan hari ini. Dalam keadaan apapun, aku harus datang. *** Rumah terasa sepi, papa dan mama masih belum pulang? Padahal aku tau mereka berdua sedang cuti. Entah sampai kapan kedua pasangan itu akan terus bermesraan. Beberapa menit lalu, paman Angga baru memberi kabar bahwa ada insiden di rumah sakit. “Kau sudah pulang?” Suara papah hampir saja membuatku berteriak saking kagetnya. Dia muncul entah dari mana, dan yang membuatku gagal fokus adalah melihat bagian celananya yang belum di kancing. Bajunya juga awut-awutan. Dan senyuman tidak berdosa itu membuatku kesal. Selalu saja seperti itu. Bagaimana jika Naya yang tiba-tiba pulang dan melihat ayah seperti itu. Memalukan sekali. “Ayolah, nak. Kau sudah dewasa dan pasti tau ambil sikap.” “Tapi, setidaknya papah kancing resletingnya bisa gak sih? Malu tau sama umur, udah orang tua juga tapi masih gak sadar diri. Dimana mama?” “Jangan ganggu mamamu, dia lagi tidur. Biasa, papa habis olahraga tadi.” Arghh. Aku ingin berteriak kesal. Lama-lama ucapan papa seperti racun pada pikiranku. Benar-benar membuatku hancur. Dan melihat tawa papa yang puas, semakin membuatku kesal. Dia sudah tidak lagi muda, tapi tetap saja seperti pasangan baru nikah. Kadang aku heran kenapa papa bisa mencintai mama dengan begitu tulus. “Naya gak pulang, pah?” “Belum. Ini hari pertama kuliah adikmu, jadi mungkin dia akan pulang malam.” “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Paman Angga menemukan sesuatu di rumah sakit, aku harus memeriksanya.” “Duduklah.” Belum juga aku sempat menyentuh pintu, nada suara papa yang serius membuatku berbalik badan. Perintahnya itu mutlak, dan aku tidak bisa menolak. Segera aku duduk di kursi, dan menatapnya. Sepertinya papa sudah tau, dan itu bukan kabar yang baik. Padahal aku ingin berbicara dengan mama lebih dulu. Tapi situasi berbalik. “Berapa lama?” “Hah? Oh ya, jadi papa sudah tau?” “Kau anggap aku siapa, Abian. Aku ini papamu, dan sangat tahu semua tentangmu. Kau bermaksud bersembunyi dan membiarkan kau yang menyimpannya seorang diri?” “Aku berniat memberitahu papa dan mama, tapi…” “It’s okay, mamamu juga sudah tahu. Dia ingin sekali bertemu denganmu sejak pagi, tapi aku melarang.” “Aku akan turun ke lapangan 1 tahun, lokasinya sedikit jauh dari rumah. Lusa aku akan berangkat.” “Pulanglah malam ini, kita makan bersama. Setidaknya sebelum kau berangkat.” “Papa…” “Untuk apa marah, nak? Itu hal biasa yang bisa saja terjadi bukan? Kau harus tau, dulu papa juga sempat melarat karena gagal terus dalam bisnis. Jadi, sebagai sesama lelaki aku tahu perasaanmu. Kau tidak boleh berkecil hati dan harus semangat. Okey?” “Tapi bagaimana dengan…” “Mama bahkan tidak pernah merasa kau gagal, nak. Kau adalah kebanggaan kami, dan apapun masalahmu, tolong cerita pada mamamu. Dia sangat tertekan jika melihatmu stress seorang diri. Ingat, pulanglah malam ini. Papa akan masak.” “Pah…terima kasih.” Papa balas memelukku, dia mengelus punggungku erat. “Kau sudah besar sekarang, hiduplah dengan bahagia okey.” “Terima kasih pah.” “You’re welcome, nak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN