THE TRUST | 1

1100 Kata
    “Kamu dimana?” tanya Panji. Malam hampir larut dan Hara baru saja menghubunginya. Semua mendadak sulit untuk mereka. Sejak Hara berkuliah di Bandung dan Panji menetap di Jakarta.     Pada kenyataannya mereka harus menjalani hubungan jarak jauh. Panji sudah berusaha keras untuk di terima di universitas yang sama dengan Hara, Panji bahkan tidak melewati satupun jalur yang dibuka oleh universitas favorit itu. Semuanya, namun hasil tetap sama. Panji di tolak. Panji masih bisa membayangkan wajah kecewa Hara sore itu, gadis itu menatapnya dengan sendu bahkan sebelum berangkat ke Bandung, Hara menangis sejadi-jadinya. Hara terus mengeluh, dia tidak bisa dengan hubungan jarak jauh. Sama seperti Panji. Panji juga merasakan hal yang sama. Dari awal SMA mereka nyaris tidak pernah berpisah. Mereka selalu bertemu setiap hari, saling bertukar kabar dengan mudah namun serakang semua mendadak sulit untuk dilakukan bahkan hari ini terhitung sudah seminggu Hara resmi menjadi mahasiswa.     “ Aku baru pulang dari indekos teman, abis nugas,” jawab Hara, suara gadis itu terdengar serak dan Panji yakin Hara mengantuk.     “Selarut ini? Diantar pulang sama siapa?” tanya Panji. Tiba-tiba dia merasa khawatir dengan Hara, Bandung adalah kota yang cukup asing bagi gadis itu. Hara hanya pernah beberapa kali kesana untuk liburan.     “Idekos Handini nggak jauh dari indekos aku, kamu tenang aja. Aku bisa jaga diri kok,” ucap Hara. Panji diam-diam menghela napas lega.     “Capek ya?” tanya Panji. Dia merebahkan tubuh di kasur. Sejak seminggu belakangan mereka nyaris tidak bisa mengobrol seperti ini. Hara sangat sibuk dengan rutinitas barunya apalagi jurusan Hara di kenal sangat sibuk. Kedokteran. Mereka beberapa kali hanya bertukar pesan.     “Banget, aku nelpon mau ngabarin kamu. Tiga hari ke depan aku ada makrab jurusan. Nggak boleh pegang hp,” ucap Hara. Panji terdiam.      “Benar-benar nggak boleh sama sekali?” tanya Panji.     “Katanya gitu, tapi kalau dikasih izin. Aku akan kabarin kamu kok,” jawab Hara. Panji dibuat semakin terdiam. Semakin lama Panji semakin sadar. Dia dan Hara sekarang memiliki dunia yang berbeda. Mereka berproses dengan cara yang berbeda. Bahkan Panji harus menyeseuaikan diri dengan jadwal baru Hara.     “Ra,” panggil Panji.     “Ya?”     “Aku kangen kamu,” ucap Panji. Panji mendengar kekehan pelan Hara di seberang sana namun berakhir dengan suara orang menguap.     “Panji, aku matiin ya. Aku ngantuk,” ucap Hara dan tanpa menunggu jawaban dari Panji telpon itu terputus begitu saja. Panji menghela napas berat. Dia bertekad akan mengerti kesibukan Hara dengan baik. Panji hanya perlu meastikan keadaan gadis itu baik-baik saja. Panji hanya perlu melakukan itu. “Selamat tidur, Hara.” ***     Hara benar-benar tidak bisa di hubungi. Ponsel gadis itu tidak aktif setelah mereka saling bertukar kabar malam itu. Ini adalah hari ketiga Hara mengikuti acara makrab jurusannya.     “Galau lagi?” celetukan Kaivano membuat Panji mendongak. Kaivano adalah teman seperjuangan Panji, dia juga sangat mengenal Hara. Sama halnya dengan Panji, Alvaro juga tidak lolos masuk universitas. Semua sangat sulit untuk mereka yang memiliki kemampuan pas-pasan. Mereka bukan Hara yang memiliki otak cerdas sampai-sampai gadis itu mendapat undangan melewati jalur istimewa untuk mendaftar di universitas itu.     “Hara nggak akan selingkuh kali, Nji,” ucap Kaivano, pria itu menyulut rokoknya. Kaivano adalah pria yang bebas, dia selalu melakukan apa yang dia mau. Berganti pacar semaunya dan mencampakkan begitu saja ketika bosan.     “Nggak ngerokok?” tanya Kaivano. Dia mendorong bungkus rokoknya pada Panji.     “Gue udah berhenti,” jawab Panji. Kaivano terkekeh.     “Hara nggak ada disini,” ucap Kaivano.     “Gue berhenti ngerokok karena kemauan gue, bukan karena Hara,” jawab Panji. Dia menyesap kopinya. Kembali menatap ponselnya dengan hampa.     “Menurut lo, hubungan gue sama Hara akan berakhir seperti apa?” tanya Panji. Kaivano mematikan rokoknya. Tatapannya berubah serius.     “Lo percaya nggak sama Hara?” tanya Kaivano. Panji mengangguk. Panji sangat mempercayai Hara, yang tidak Panji percayai adalah orang-orang yang ada di sekitar Hara. Hara adalah gadis yang cantik dan cerdas. Gadis itu akan sangat mudah disukai banyak orang. Panji hanya takut, jika suatu hari nanti hati Hara bukan lagi miliknya, Panji takut Hara tidak ingin lagi bersama pria tidak memiliki masa depan seperti dirinya. Waktu setahun memang bukan waktu yang sebentar, tapi bisakah tahun depan Panji langsung di terima di universitas yang sama dengan Hara? Panji bahkan ragu pada kemampuannya sendiri, ribuan orang menginginkan tempat di universitas itu. Mereka yang terpintar di sekolah pun belum tentu akan di terima disana. Panji menghela napas berat.     “Gue percaya, Hara,” jawab Panji. Kaivano mengangguk.     “Yaudah, menurut gue, disini lo yang berpotensi selingkuh. Si Hara mana sempat mikirin selingkuh saat dia sibuk sama kuliahnya yang gue yakin akan sangat padat,” ucap Kaivano.     “Gue udah lama nggak main cewek,” ucap Panji. Memang begitu adanya. Sejak bertemu dengan Hara, Panji tidak pernah lagi bermain-main dengan perempuan. Seluruh fokusnya tertuju pada Hara.     “Tapi lo masih punya potensi untuk selingkuh,” ucap Kaivano. Panji mendengus.     “Rencana lo setelah ini apa?” tanya Panji. Menjadi pengangguran selama setahun sepertinya bukan pilihan yang baik. Menganggur akan membuat Panji selalu memikirkan Hara namun bekerja  juga bukan pilihan yang baik, Panji benar-benar takut salah mengambil langkah. Dulu kakak laki-laki Panji memilih bekerja karena tidak di terima kuliah dan alhasil di tahun berikutnya karena sudah terlalu asik bekerja, pendidikan jadi terbengkalai begitu saja. Panji tidak ingin itu terjadi juga pada dirinya. Memiliki pendidikan yang baik adalah salah satu impian terbesar Panji.     “Nggak ada,” jawab Kaivano, “cuma bokap minta gue untuk les lagi tapi kadang gue mikir, mau les kayak gimana juga, gue nggak akan di terima disana. Apa gue cari kampus lain aja ya, Nji?” tanya Kaivano.     “Swasta, maksud lo?” tanya Panji. Alvaro mengangguk.     “Lagian kampus swasta sama negeri sama aja. Intinya sama-sama tempat buat belajar. Bedanya, kampus swasta lebih mahal aja,” ucap Kaivano.     Panji terdiam, mungkin apa yang di katakan Kaivano memang benar adanya. Kampus negeri maupun kampus swasta sama saja. Sama-sama tempat belajar. Namun, sama seperti yang lainnya. Sejak awal, Panji juga memimpikan bisa kuliah dikampus yang diimpikan semua orang. Kampus yang selalu di gadang-gadang sebagai kampus terbaik.     “Gue tetap akan coba lagi tahun depan,” ucap Panji. Dia mengambil kunci motornya.     “Jangan bilang alasan lo masih, Hara?” tanya Kaivano, Panji tersenyum sekilas.     “Gue balik, lo jangan mainin cewek terus. Kena karmanya baru tahu rasa lo,” ucap Panji.     “Dari seorang yang sudah merasakan, karma its real,” ucap Kaivano sambil tertawa meledek. Panji hanya melambaikan tangannya. Berbicara dengan Kaivano tidak akan memberikan solusi apapun, cowok itu bukannya membuat Panji merasa lebih baik tapi malah merasa sebaliknya.     Panji memang memiliki masa kelam semasa SMP, di masa pubertas itu, rasa penasaran Panji terhadap lawan jenis sangat menggelora bahkan nyaris tidak terkendali. Dia dengan mudah membuat perempuan jatuh cinta kemudian mencampakkannya begitu saja. Itu terjadi terus menerus sampai dia bertemu dengan Hara, gadis yang menelan habis fokus Panji, gadis yang berhasil membuat Panji bertekuk lutut. Bahkan Panji sudah bertekad akan menjaga Hara sekuat yang dia bisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN