3. Pernikahan Kedua

1613 Kata
“Bismillahir-rahmanir-rahim. Ananda Mario Maulana Zaki bin Almarhum Ilham Zaki, saya nikah kan dan kawinkan keponakan saya yang bernama Fina Veristha Dawangsa binti Almarhum Sofian Dawangsa kepada engkau. Dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat solat dan perhiasan seberat empat gram dibayar tunai.” “Bismillahir-rahmanir-rahim. Saya terima nikah dan kawinnya Fina Veristha Dawangsa binti Almarhum Sofian Dawangsa dengan mas kawinnya tersebut dibayar tunai.” Suara berat itu terdengar sangat fasih mengucapkan ijab kabul dengan satu kali tarikan napas. Tanpa ragu sedikitpun juga tanpa ada desakan dari pihak manapun. Suaranya lantang bagai seorang pemimpin yang tegas dan memberi kesan wibawa yang kuat. Tidak dia beri jeda bahkan kepada yang mendengarnya untuk sekadar bernapas. “Bagaimana saksi? Sah?” Bahkan sang penghulu yang sudah fasih menghadapi momen seperti sakral seperti ini masih ikut tegang menantikan jawaban para saksi. Debaran jantung sang pengantin pria berdetak tenang, senyum tipis terlukis kala dia telah mengucapkan rentetan kalimat sakral itu. Wajah kalemnya tetap sendu seperti awan abu-abu di atas langit-langit masjid tempat saksi keduanya mengikrarkan ikatan suci. Bola mata di balik kacamata hitam itu beberapa kali mengerjap menanti jawaban dari para saksi di akad nikahnya. Tidak sedikitpun wajah tegang terpancar di raut wajahnya. Bahkan gestur tubuhnya pun tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan ada padanya. Namun jauh di lubuk hatinya ketegangan tengah menyelimuti, kekhawatiran menari-nari di ujung perutnya, bahkan saat ini ia sedang mengambil ancang-ancang ingin sekali berlari sekencang-kencangnya bila saksi mengatakan tidak sah atau pun penghulu meminta untuk mengulang kembali ijab kabul. Semoga hal buruk itu tidak akan terjadi di usianya yang memasuki 36 tahun, terlebih ini bukan pernikahannya yang pertama. “Sah, sah, sah ... “ Perasaannya berbunga-bunga mendengar suara menggema dari salah satu saksi yang tak lain adalah suara pamannya, diikuti suara saksi lainnya dari kerabat mempelai wanita. Bagai merpati terlepas dari sangkarnya, begitulah perasaannya kini. Lepas, bebas dan ingin terbang sejauh-jauhnya. “Alhamdulillah,” ucapnya tulus dalam hati. Senyum tipis berubah menjadi senyum melengkung nan manis di bibirnya. Mata sendu di balik kacamata minus itu berkilat bagai kilatan cahaya lampu menara mercusuar di tengah lautan. “Alhamdulillah.” Serentak seluruh kerabat dan tamu undangan yang hadir menyerukan kata syukur tersebut berkali-kali, begitu saja sudah membuat perasaannya kembali tenang. Namun perasaannya kembali bergejolak saat suara pembawa acara pernikahan menyerukan agar membawa mempelai wanita ke sisi mempelai pria. Kembali degup jantungnya seolah mulai mengambil alih atas aktivitas seluruh organ vital dalam tubuhnya. Seorang wanita paruh baya menuntun perempuan cantik dan anggun mengenakan kebaya putih dengan hiasan brokat berwarna pink, kaki jenjangnya ditutup kain tenun khas Makassar dan rambutnya dibentuk berupa sanggul modern. Wanita paruh baya tadi perlahan membimbing mempelai wanita ke tengah-tengah ruangan tempat mempelai pria tadi mengucapkan ijab kabul. Sang mempelai wanita menunduk sepanjang jalan bahkan hingga sampai di samping orang yang telah sah menjadi suaminya beberapa menit yang lalu, kepalanya masih saja tertunduk. Sebelum penghulu menyodorkan dokumen-dokumen pernikahan yang harus ditandatangani kedua mempelai, penghulu menanyakan hal penting pada mempelai wanita. “Sebelumnya saya ingin bertanya pada mempelai wanitanya. Siapa nama suami Anda?” Hening, tiba-tiba suasana ruangan itu hening seketika. Mempelai wanita tidak lantas menjawab, masih saja menunduk. Jari telunjuk mempelai pria mendarat di dagu oval wanita yang telah sah menjadi istrinya beberapa menit yang lalu. Ujung jarinya mengangkat wajah itu hingga menghadap pada wajah prianya. Senyum tipis mengembang di bibir sang pria diiringi dengan sebuah anggukan pelan tapi tegas. “Nama suami saya ... Mario Maulana Zaki,” ucap perempuan itu dengan lirih kemudian tertunduk lagi. Senyum kembali merekah di wajah setiap orang yang ikut berbahagia atas pernikahan ini. Acara kemudian dilanjutkan dengan proses memakaikan cincin kawin di jari manis sebelah kanan mempelai wanita, kemudian penyerahan mahar dan diakhiri dengan acara sungkeman kepada orang tua kedua mempelai. *** Malam harinya acara dilanjutkan dengan acara pesta resepsi. Terdengar suara harmonisasi musik electone dan suara merdu wedding singer acara ini, ramai suara tamu undangan yang memenuhi ballroom hotel berbintang ini turut mengiringi prosesi resepsi pernikahan. Ballroom hotel yang hanya berbentuk persegi dengan empat pilar bundar di empat sisinya itu dihias sedemikian elegan oleh wedding organizer terbaik di kota besar ini. Warna putih dan emas mendominasi di hampir seluruh penjuru ruangan. Sungguh menjadi sebuah acara pesta pernikahan yang sangat megah. Pengantin sendiri mengenakan pakaian serba putih berhiaskan warna emas di beberapa sisi pakaian. Ratusan pasang mata kini sedang menatap pasangan berbahagia ini, senyum merekah terus terpancar di antara para tamu undangan. Sesekali mempelai wanita melirik pria yang berada di sampingnya, senyum sumringah terlukis jelas di wajah manis pria itu. Sesekali mempelai pria juga menatap wanitanya dengan hangat sambil tersenyum seolah mengatakan 'tersenyumlah' dari sorot bola mata hitam dan teduh itu. Fina pun tersenyum, tapi bukan senyum sumringah seperti yang terukir di wajah Mario. Hanya sebatas senyum pelengkap saja, senyum formalitas agar semua pasang mata yang sedang memandang ke arah pelaminan nan mewah ini percaya, bahwa mereka adalah pasangan pengantin yang paling berbahagia malam ini. Pria yang menikahi Fina tidaklah buruk rupa, bahkan bisa dibilang tampan dengan alisnya yang hitam dan rapi, bulu mata yang lentik, hidung mancung sempurna, kulit putih, meski dia tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang pria. Tinggi keduanya tidak terpaut jauh. Jika sedang berdampingan, tinggi Fina sedikit melewati cupang telinga Mario. Pekerjaan Mario sudah bisa dibilang mapan. Dia menjabat sebagai kepala redaksi di salah satu penerbit majalah terbesar di tanah air, memiliki beberapa cabang rumah makan khas Makassar di gerai-gerai makanan yang tersebar di beberapa pusat perbelanjaan di ibukota negara, dengan menu andalan coto Makassar. Mobil dan apartemen telah tersedia untuk digunakan. Bahkan Mario tidak membiarkan istrinya untuk repot-repot berjibaku lagi dengan butik milik temannya di Solo. Entah apa yang membuat Fina tidak bahagia dengan pernikahannya ini? Batinnya seolah sedang menyanggah ribuan beban. “Selamat ya, Bro. Tamak emang Ente. Gue aja belum kawin sama sekali, nah Ente sudah dua kali aja. Ck ... “ Mario tertawa mendengar kelakar teman baiknya yang berwajah blasteran Arab ini. “Makanya Rish, benerin hidup lo. Terus cari perempuan solehah buat jadi istri lo. “ Mario menjawab santai dan diiringi senyum tipis dari Fina. “Masih muda gue, masih pengen seneng-seneng dulu. Masih banyak cewek-cewek di Jakarta yang mengantri ingin Abang Farish kawinin.” “Ngantri pale lu petak, buruan gila! Noh ... yang ngantri di belakang kita banyak, setdah Farish, Farish...” Tiba-tiba Farish mendapat toyoran dari teman yang berada di belakangnya. Demi menghindari toyoran berikutnya, Faris akhirnya melanjutkan langkah untuk bersalaman dengan mempelai wanita. *** Keesokan paginya Fina terbangun dengan suasana suite elite room hotel masih dalam keadaan remang-remang. Kamar seluas dua puluh meter persegi ini hanya bercahayakan lampu tidur di atas nakas samping tempat tidur. Jam berbentuk kotak di atas nakas masih menunjukkan pukul lima pagi. Fina mengucek mata beberapa kali dan sedikit menaikkan selimut yang berada di pinggang hingga menutupi pundak. Masih sangat pagi, Fina pun hendak melanjutkan kembali tidurnya. “Veris! Solat subuh dulu ya!” Suara bass itu mengejutkannya. Bagaimana bisa ada suara laki-laki lain di kamar ini? Matanya kembali mengerjap dan jari lentiknya mencubit tangannya sendiri. Terasa nyeri menandakan kalau dia tidak sedang bermimpi. “Abang tahu kamu sudah bangun. Ayo sholat subuh dulu. Abang tunggu.” Oh, demi apapun Fina semakin terkejut. Itu benar-benar suara pria. Dia pun bangun dan terduduk di sela-sela selimut berwarna coklat tua nan lembut, lalu mencari-cari asal suara tadi. Seorang pria sedang duduk di atas sajadah mengenakan kain sarung bermotif kotak-kotak, baju koko berwarna putih lengkap dengan kopyah hitamnya sedang duduk bersila. Fina hanya dapat melihat punggung bidangnya saja dari posisinya saat ini. “Bang Iyo?” ucapnya pelan bahkan hanya dia sendiri yang dapat mendengar suaranya itu. Fina bisa menebak itu Mario selain dari suaranya juga karena hanya laki-laki berkacamata itulah yang memanggil Fina dengan nama tengahnya, Veris. Dan Fina selalu menyukai nama panggilan itu dari dulu. Hanya laki-laki itu juga yang Fina izinkan untuk memanggil dengan nama itu. Fina bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Di samping sajadah Mario, sudah ada sajadah lain beserta mukenah putih yang telah tersedia untuknya. Mario sendiri masih tetap duduk bersila di atas sajadahnya sendiri dengan kepala menunduk, melantunkan lantunan salawat dengan suaranya yang begitu menggetarkan hati. Melirik Fina yang sudah mengenakan mukena nya, Mario menghentikan lantunan salawat, kemudian mengangkat kepalanya yang tertunduk sedari tadi lantas tersenyum lembut kepada adik sepupu sekaligus istrinya itu. “Maaf ya ganggu tidur kamu. Setelah solat kamu bisa istirahat kembali. Abang tau kamu pasti masih lelah.” Fina mengangguk mendengar setiap kata yang diucapkan dengan penuh kelembutan itu. Mario memulai solat. Dia bertindak sebagai imam dan Fina mengikuti sebagai makmumnya. Takbir berkumandang dan lantunan ayat-ayat suci terdengar merdu dan syahdu di telinga Fina. Sejenak keduanya larut dalam setiap ayat yang diserukan dalam solat ini. Seperti yang dikatakan Mario tadi, selepas solat Fina kembali meringkuk di atas ranjang king size empuk dan menarik selimut hingga pundak. Baru saja Fina hendak memejamkan mata, sosok Mario sudah berdiri dengan sedikit membungkuk di hadapannya yang sedang terbaring dengan posisi miring menghadap nakas. “Bangunnya jangan siang-siang ya, sayang. Biar kita bisa jalan-jalan. Cuti abang cuma empat hari. Udah kepake kemarin jadi tinggal tiga hari saja.” Ada gelenyar aneh mengusik hati Fina, jantungnya berdenyut saat Mario mengucap kata sayang itu. Aneh, canggung, tidak terbiasa tapi membuat perasaannya nyaman. Satu kecupan hangat mendarat di kening Fina, membuat romanya berdiri. Satu hal lagi selain kata sayang yang tak pernah sekalipun Mario lakukan seumur hidupnya pada Fina meskipun dulu keduanya cukup dekat. Dulu, hal paling intens yang pernah lakukan saat bersama dengan Mario hanya sekadar bergelayut manja di lengan kokoh abang sepupunya itu. Momen keakraban seperti itu terjadi saat keduanya belum sadar bahwa sebenarnya benih cinta sudah tumbuh di hati masing-masing. Namun sayang saat itu keduanya masih terlalu muda untuk mengerti apa itu artinya rasa sakit ditinggalkan oleh orang terkasih. Fina hanya mengangguk setelah mendapat kecupan singkat dari Mario, lalu terpejam seiring belaian lembut dari tangan Mario di kening dan puncak kepalanya. Nyaman, hanya itu yang bisa ia ungkapan saat ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN