Bab 5

1991 Kata
Niat hati mengaku bahwa aku menyukai Daniel cuma agar Icha tak bertanya-tanya lagi soal itu, ternyata membuatku terbawa suasana hingga tanpa kusadari perkataan demi perkataan pembelaan untuk Daniel terucap dari mulutku. Lelaki yang baru kuketahui nama pendeknya itu rasanya telah berhasil membuatku suka hanya dalam waktu kurang dari satu hari. "Cha, gue duluan, ya," ucapku sembari berjalan cepat. "Mau ke mana lo?" tanya Icha. "Gak usah kepo!" jawabku sambil melambaikan tanganku tanpa melihat ke arahnya. Seperti 2 buah kutub magnet, aku seolah-olah tertarik untuk mendekat ke arah Daniel. Beruntung sekali mataku masih bisa melihat keberadaannya. Kini ia sedang berada di sebuah bangku taman tanpa dampingan seorang teman. Mungkin tiap harinya dia juga selalu seperti itu. Tak punya teman, dan tak pandai dalam bergaul. "Hai Daniel," sapaku. Dia menyadari keberadaanku. Ia mendongak untuk menatapku, kemudian kembali berekspresi seperti semula seolah-olah tak peduli dengan keberadaanku. "Aku ikut duduk, ya?" ucapku. "Terserah," jawabnya dingin. "Oke," jawabku sembari memposisikan diriku untuk segera duduk di samping Daniel. Akan tetapi baru dua detik aku duduk, Daniel tiba-tiba berdiri seakan ingin secepatnya pergi dari tempat itu. "Eh, Daniel. Kok lo pergi sih?" protesku. "Emang kenapa?" tanyanya dingin. "Gue duduk di sini niatnya kan ingin nemenin lo. Kalau lo pergi, ngapain gue ada di sini?" tanyaku balik. Daniel menoleh ke arahku. Tatapan dingin yang tak pernah kulihat dari lelaki lain itu benar-benar membuatku grogi. Kalau saja aku melihat tatapan itu selama berjam-jam, mungkin aku akan jatuh pingsan. "Sebenarnya ada urusan apa lo sama gue? Gue gak kenal lo, dan lo jangan sok kenal sama gue!" ucapnya tajam. "Kan gue udah ngenalin diri ke lo. Nama gue Shelania Putri Artasyah, lo bisa panggil gue Shela. Gue juga bukannya sok kenal sama lo. Gue tahu kalau nama lo itu Daniel. Kurang apa, coba?" ucapku panjang lebar. Aku bersyukur, bersyukur bahwa inilah kali pertamanya seorang Daniel berbicara panjang kepadaku. Meski masih dengan nada yang dingin, setidaknya banyaknya kata yang ia ucapkan bukan cuma satu atau dua kata saja. Daniel terdiam, masih dalam posisi menatapku dengan tatapan dinginnya. Saking tak ingin berlama-lama melihat tatapan itu, sesekali aku mengalihkan pandanganku dari dia. Aku akui bahwa ada rasa takut di dalam diriku ketika melihat ekspresi itu. "Sudah?" tanyanya ambigu. "Belum lah. Ada pertanyaan yang belum lo jawab," ucapku. "Apa?" tanyanya. Baru juga aku bahagia karena ia sempat berbicara panjang lebar, eh sekarang gaya bicaranya kembali seperti aslinya lagi. "Soal sifat lo. Kenapa lo selalu begini kalau sama gue?" tanyaku. "Begini gimana?" tanya Daniel balik. "Ya, lo kayak gak suka gitu sama gue," jawabku. Pikirku dia tidak akan mau menjawab pertanyaanku itu. Bagi dia mungkin pertanyaan itu tidak ada gunanya dan tidak perlu untuk dijawab. Akan tetapi bagiku, aku sangat membutuhkan jawaban darinya. "Gue gak pernah bilang gak suka sama lo," jawabnya. "Jadi lo suka sama gue?" tanyaku. Entah kenapa hatiku seperti berbunga-bunga mendengar ucapan Daniel. "Gue juga gak pernah bilang suka sama lo," ucap Daniel. Lagi-lagi, tak butuh waktu lama lelaki itu berhasil mengecewakan aku lagi. "Lalu?" tanyaku. "Itu gak perlu gue jawab," jawab Daniel. Untuk kesekian kalinya dia berjalan pergi dari hadapanku tanpa permisi. Aku tercengang menatap kepergiaannya. Kulihat juga di sekitar tempatku berada, banyak sekali pasang mata yang kuyakini sedang menatap ke arahku. Dalam hatiku bertanya-tanya. Apa karena itu Daniel tak mau aku dekati? Ah, persetan dengan mereka. Sekarang ini yang harus aku lakukan cuma tersenyum dan memikirkan langkah berikutnya untuk bisa lebih dekat dengan Daniel. Kurasa di satu hari pertama ini sudah cukup perjuanganku untuk melakukan pendekatan dengannya. Masih ada hari-hari esok yang bisa aku manfaatkan lagi. Aku percaya suatu saat nanti sifat batunya itu pasti bisa kuubah. *** Langit sore kota metropolitan yang indah. Kota yang dipenuhi polusi ini ternyata masih mempunyai sedikit keindahan yang tersimpan di dalamnya. Senjaku yang menakjubkan. Cahaya jingga yang menyorot ke seluruh penjuru semesta itu sungguh membuat hati tergores, seakan ingin meneteskan air mata. Kini aku berada di balkon rumahku. Aku ingin meminta jawaban dari semesta tentang apa yang terjadi pada diri ini. Daniel, seseorang yang baru kukenal pada hari ini, sebenarnya dia itu siapa? Kenapa dengan begitu mudahnya ia bisa membuatku merasakan suka? Padahal di mata yang lain, Daniel hanyalah sebuah sampah yang tak berguna. Akan tetapi kenapa aku memandangnya berbeda? Semesta mulai menggelap. Sang senja yang selalu kurindukan kehadirannya itu perlahan hilang ditelan kegelapan. Semilir angin yang menggugurkan dedaunan datang untuk mengiringi pergantian sang hari. Siangku yang cerah harus rela digantikan oleh malam yang mencekam. Aku masuk ke dalam kamar. Kata mamaku, tak baik jika waktu segini seseorang berada di luar rumah. Lagipula di luar sana sudah tak ada hal indah yang bisa kusaksikan dari kota berpolusi ini. Bayangan wajah Daniel terus menyerang pikiranku. Aku bingung dengan rasa ini. Harus kusebut apa perasaanku pada seorang Daniel? Cinta, kah? Entahlah, aku belum bisa menemukan jawabannya. *** Semesta kian menggelap. Membuatku yang duduk di singgasana suci ini mulai merasa tak nyaman. Aku ingin pergi ke luar sana, mencari udara segar serta hiburan untuk menenangkan pikiranku ini. Kaki ini melangkah dengan sendirinya. Berjalan keluar kamar dengan bantuan tangan untuk membukakan pintu. Satu persatu anak tangga mulai aku turuni hingga aku berhasil mencapai lantai bawah. Tepat seperti apa yang aku pikirkan. Papa dan mamaku kini sedang berkumpul di ruang keluarga sembari menonton televisi. Canda tawa mereka membuatku tersenyum bahagia. Keluarga kecilku ini sungguh sangat harmonis. Inilah hal yang paling aku syukuri di dunia ini. "Pa, Ma, Shela mau keluar, ya?" pamitku. "Keluar ke mana? Sama siapa?" tanya papaku berbondong-bondong. "Sendiri lah, Pa. Untuk ke mananya, itu urusan nanti. Shela juga belum tahu mau ke mana. Hehehe," jawabku. "Boleh ya Pa, Ma. Please," tambahku. "Hufff... walaupun mama sama papa ngelarang, kamu juga akan tetap pergi, kan?" tanya mamaku. Aku hanya tersenyum canggung sembari menggaruk-garuk kepalaku. "Iya, diizinin. Daripada nanti kamu keluar rumah diam-diam lagi, eh pulangnya pintu rumah udah kekunci. Nanti kalau kamu tidur di luar dan sakit lagi, mama sama papa juga yang repot," lanjut mamaku. "Ah, mama nih masih inget aja sama kejadian itu," ucapku malu-malu. Aku teringat kembali dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Sebuah kejadian yang menurutku itu adalah azab buatku. Saat itu memang aku dilarang untuk keluar rumah oleh papa dan mamaku. Akan tetapi aku tak mengindahkan larangan itu dan memilih untuk tetap menjalankan rencanaku untuk pergi ke luar. Sialnya, mereka kira aku sudah tidur di kamar. Saat itu aku pulang sekitar pukul 12 malam akibat keasyikan bercanda di sebuah cafe bersama teman-temanku. Di situlah awal dari bencana itu terjadi. Beruntungnya pintu pagar belum terkunci, tapi tidak dengan pintu rumah. Pintu rumah sudah terkunci, sedangkan aku tak membawa kunci cadangan. Aku mencoba menggedor-gedor pintu itu, tapi tak ada siapapun yang menyahut dari dalam. Oleh karena itulah aku terpaksa harus tidur di luar. Berselimut udara dingin serta hitam pekatnya sang malam. Pagi harinya, karena tak kuat menahan dinginnya udara malam, aku pun jatuh sakit. Sungguh itu benar-benar kenangan yang sangat memalukan. "Yes. Terima kasih, Ma," ucapku. "Tapi inget, harus pulang sebelum jam setengah sepuluh malam!" ucap papaku. "Kalau lebih dari itu?" tanyaku. "Ya tidur di luar lagi," jawab papaku dengan entengnya. "Hmm... oke, jam setengah sepuluh, kan? Ya sudah, Shela pergi dulu, ya," pamitku lagi. "Eh, tunggu! Bawa ini!" ucap papaku sembari menyodorkan pisau kecil kepadaku. "Buat apa?" tanyaku bingung. "Buat senjata jika tiba-tiba nanti ada orang yang ingin macam-macam sama kamu," jawab papaku. "Wah, papa parah banget. Ngelatih anaknya sendiri jadi psikopat," ucapku. "Bukannya gitu. Kamu itu cewek, cantik pula. Kalau ada apa-apa di luar sana nanti gimana? Satu hal lagi. Kamu juga salah satu bagian dari keluarga Artasyah. Jadi, dengan pisau itu setidaknya kamu bisa melindungi diri kamu sendiri," ucap papa panjang lebar. "Oh gitu? Iya, iya. Terserah papa aja lah," ucapku pasrah sambil menerima pisau kecil itu dan memasukkannya ke dalam tas. Ada-ada saja papaku ini. Seorang anak perempuan sepertiku disuruh menjaga diri dengan berbekal sebuah senjata tajam berupa pisau. Aku sendiri pun tak yakin jika pun nanti ada orang yang macam-macam denganku, apa aku bisa menyerangnya dengan pisau itu? Biarpun sifatku kayak gini, tapi aku yakin akan tetap ragu untuk melakukan hal semacam itu walau itu kepada orang jahat sekalipun. *** Aku mengambil motor yang masih terparkir di depan rumah. Sebenarnya aku heran pada keluargaku sendiri. Rumah sebesar itu benar-benar dibiarkan tanpa penjagaan. Tak ada satupun satpam yang melakukan penjagaan. Papaku tak pernah ingin memiliki satpam. Entah karena alasan apa, aku pun tak mengetahuinya. Namun ada satu hal lagi yang lebih kuherankan daripada itu semua. Satu hal itu adalah para penjahat di luar sana. Sudah tahu bahwa rumah keluarga Artasyah minim penjagaan, tapi kenapa mereka tak melakukan kejahatannya? Kulajukan motor kesayanganku itu dengan kecepatan yang sedang. Melintasi sepinya jalanan hingga memasuki keramaian. Temaram lampu jalanan turut menghiasi perjalananku. Tenang sekali rasanya hati. Bahkan aku bisa berkata bahwa kota metropolitan saat malam hari jauh lebih indah dibandingkan pada saat semesta terang benderang. Aku berencana untuk pergi ke rumah si Icha. Aku tahu bahwa dia itu selalu kesepian. Bagaimana tidak? Papa dan mamanya jarang di rumah, sedangkan ia di rumah hanya bersama dengan si asisten rumah tangga serta seorang satpam yang berjaga di luar. Tentu saja sebagai seorang sahabat yang baik aku ingin menghilangkan rasa kesepiannya. "Pak, tolong bukain dong!" pintaku pada satpam penjaga rumah Icha untuk membukakan pintu gerbang. "Oh, baik Non Shela," jawabnya. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar. Umurnya mungkin sekitar 40 tahun. Dia mengenalku, begitupun aku juga mengenalnya. Namanya adalah Pak Seno. Kalau nama panjangnya aku tak tahu dan tak begitu peduli. Ketika pintu gerbang terbuka, aku pun melajukan motorku pelan untuk memasuki halaman rumah Icha. Tak lupa pula aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Seno atas jasanya membukakan pintu gerbang untukku. "Eh, Pak. Sampai lupa mau nanya. Icha nya ada?" tanyaku pada Pak Seno dengan jarak yang agak jauh. "Ada apa, Shel?" Pertanyaan itu membuatku agak terkejut. Pasalnya kemunculannya itu tiba-tiba. Mataku bergerak liar untuk menemukan wujud suara itu. Hingga pada akhirnya, mata ini berhasil menangkap sesosok gadis berambut pirang yang kini sedang berdiri di lantai 2 sembari pandangannya yang mengarah tepat ke arahku. "Nah, itu dia Non Icha nya," ucap Pak Seno. "Saya juga tahu kali, Pak," ucapku. Pak Seno membalasnya dengan tertawa pelan. Pandanganku beralih ke atas lagi. Gadis bernama Icha itu masih setia berada di atas sana tanpa sedikitpun berniat menemui aku yang merupakan sahabatnya. "Woi, turun lo!" pintaku. "Ada apa sih, Shel?" tanyanya lagi dengan malas. Kali ini gadis itu menuruti aku. Ia berjalan dengan langkah malasnya menuju ke lantai bawah. "Ada apa?" tanyanya saat sudah berada di bawah. "Kita ke cafe, yuk!" ajakku. "Ah, males ah," jawab Icha. "Oke kalau gak mau. Gue aja yang pergi. Oh ya, ada pegawai baru lho di cafe langganan kita itu. Ganteng pula," ucapku. "Eh, iyakah? Setelah gue pikir-pikir lagi, iya deh gue ikut," kata Icha. "Huuu... denger ada cowok ganteng aja lo langsung semangat," ucapku. "Ya iyalah, emangnya lo, minatnya sama si Sungai Nil doang," kata Icha. "Sungai Nil?" tanyaku bingung. "Daniel, Daniel," jawabnya. "Oh, jelas lah. Kan ganteng," ucapku. "Ganteng dari mananya?" tanyanya. "Kalau dibanding dengan lo juga masih gantengan Daniel kali, Cha," jawabku. "Ya iyalah, gue kan cewek. Masa dibilang ganteng?" sahutnya. Aku tertawa kecil mendengarnya. Ini adalah kali kedua aku seolah-olah mengakui bahwa aku menyukai Daniel di depan Icha, sahabatku. Padahal di dalam hatiku masih ada rasa yang belum bisa kusimpulkan. Entah cinta, suka atau apa, yang pasti rasa itu sangat mengganggu pikiranku. "Ayolah, berangkat!" ajak Icha. "Lo mau pergi pakai baju begitu?" tanyaku. Dia hanya memakai setelan baju tidur dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Nampaknya ia tadi sudah bersiap untuk tidur. Tapi karena mendengar suara mesin motorku ia tak jadi melakukannya. Dengan pakaian dan penampilannya yang seperti itu, tentu saja di cafe nanti dirinya akan menciptakan gelak tawa bagi orang-orang yang melihatnya. Bahkan bisa jadi pula di jalanan nanti ia juga akan ditertawai. Aku tak mau jika hal itu sampai terjadi. Selain karena aku peduli pada sahabatku, alasan utama kenapa aku memintanya untuk mengganti penampilan adalah karena aku tak mau ikut malu karena dia. "Iya, gue ganti dulu. Tunggu, ya!" pintanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN