8. Shadow

2091 Kata
“Wow! You look gorgeous!” Costa tak henti-henti memandang dari atas sampai bawah begitu Liona datang menghampiri dan duduk di depannya. Sedari dulu, pesona wanita ini selalu membuatnya terpukau walaupun masih mengenakan pakaian kerja lengkap dengan blazernya. Liona tersenyum masam. Kalau bukan karena telepon Frederick, ia tidak akan mau memenuhi ajakan makan siang Costa hari ini. Tatapan lapar sekaligus kagum dari Costa membuatnya berjengit. Andai saja cinta bisa dipaksakan, atau gampang hadir karena terbiasa seperti jargon dalam dunia fiksi, sangatlah mudah untuk jatuh cinta dengan Costa. Pria berumur tiga puluhan dengan wajah awet muda ala teenager, mata agak sipit, hidung mancung dan belahan mungil di dagunya, lengkungan alis nan rapi dan kulit bersih yang membuat wanita mana saja tergila-gila. Terlepas dari perangainya yang suka tebar pesona di kalangan makhluk yang lemah itu, juga keinginannya untuk memiliki Liona, Costa adalah pria baik dan pendengar yang dapat diandalkan. “Ada apa sampai menyogok om Freddie menyuruhku kesini?” tanya Liona datar. “Lunch, apa lagi? Kita ke restoran bukan untuk membeli perhiasan, ‘kan?” jawab Costa seadanya. Pria itu memanggil pramusaji dengan isyarat tangannya. “Kamu mau makan apa?” “Minum saja, thanks.”. “Ayolah, sesekali temani aku makan siang,” bujuk Costa. “Aku akan tetap menggilaimu meski kamu sedikit, hmm — berisi.” Costa mengedipkan sebelah matanya. Gadis itu mendengkus sinis. Jangan sebut namanya Liona jika ia mudah ditaklukkan dengan kerlingan mata receh seperti itu. Bahkan dengan pesona Costa yang dengan mudah menggaet gadis manapun, tak sekalipun membuat Liona bertekuk lutut. Dulunya mereka berteman baik dan hubungan mereka cukup dekat. Semenjak ia digadang-gadang dijodohkan dengan Costa, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. “Jadi, ada apa? Kau tidak mengajakku kesini hanya untuk menemanimu makan siang, ‘kan?” sindir Lio tanpa basa-basi begitu pesanan mereka datang. Ia menyeruput minuman dingin di gelasnya dan bersidekap malas. “Aku punya banyak pekerjaan dan kau membuang banyak waktuku.” Costa berdecak jengkel. “Berapa aku harus membayarnya?” Liona menyeringai sinis. “Aku bukan wanita yang bisa kau bayar.” “Kita bicara nanti. Aku lapar,” sergah Costa cepat mengabaikan wajah sinis Liona. Tangannya cekatan memotong rib eye steak dengan pisau dan menyuapnya ke mulutnya. “Costa!” Pria menghentikan kunyahannya begitu mendengar suara yang memanggilnya. Ia menoleh dan seketika raut kesal itu berubah ceria. “Bram? Lo ngapain disini?” Kedua pria itu berpelukan singkat. “Makan siang bareng rekan bisnis gue. Dia siapa?” tanya Bram memberi kode dengan matanya. Costa tersenyum. “Oh, ya. Kenalkan, ini calon isteri gue, Liona.” Liona hanya mengangguk datar tanpa senyum membalas jabat tangan Bram. Ia tak sedikitpun berniat untuk berbasa-basi dan percuma juga ia berusaha mengkonfirmasi hubungannya dengan Costa pada orang tak dikenal itu. Setelah pria itu pergi, Liona terus menunggu sambil bersidekap dan sesekali memainkan ponselnya menghalau rasa bosan. Satu hal yang tidak berubah dari Costa adalah, pria itu paling malas diajak bicara saat makan, kecuali amat terpaksa, yang katanya bisa membuat perutnya kembung. “Kapan kamu menerima lamaranku? Aku sudah bicara dengan Om Frederick, dan sepertinya Samudera menolak tawarannya untuk menikahimu,” ucap Costa lugas begitu ia selesai dengan makanannya. Ia berbicara dengan gaya seolah-olah pernikahan itu hanyalah perjanjian saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. “Itu sama sekali bukan urusanmu! Sam menerimaku atau tidak, tidak akan membuatku serta merta menerimamu,” balas Liona ketus. Costa meletakan kedua tangan di atas meja dan menghela napasnya. “Apa kurangnya aku, Lio?” “Tidak ada!” Liona menggeleng. “You're perfect. Hanya saja, perasaan tidak bisa dipaksakan.”   Sungguh, tak ada cacat dari Costa. Hanya hatinya yang tak bisa menerima perhatian lebih pria itu. “Kita bisa karena biasa.” Liona mengangkat bahu tidak peduli. “Bagi sebagian orang, mungkin bisa begitu. Tapi tidak denganku. Kita berteman semenjak bocah dan aku tidak tertarik untuk menganggapmu lebih.” “Sama sekali tidak?” Costa mengerutkan dahi. “Aku sudah berubah menjadi pria kaya dan tampan, bukan bocah ingusan yang dulu mengikuti langkahmu kesana kemari dan kamu sama sekali tidak tertarik padaku? Wah, aku tersinggung!”  Liona tertawa renyah memperlihatkan deretan gigi rapinya. “Kalau tampan bisa dijadikan tolak ukur, aku lebih memilih menikah dengan Shawn Mendez.” Costa berjengit. “Kamu lebih suka brondong? Aku masih lebih tampan darinya!” “Dengan kepercayaan dirimu yang setinggi langit, kau bisa menggaet gadis manapun yang kau mau, tapi sayangnya itu bukan aku.” “Kita bisa mencobanya.” “Aku tidak berminat menghabiskan umurku menjalani pernikahan dengan belajar mencintai orang lain.” Liona terkekeh. “Dan meskipun kita terpaksa menikah, aku tak bisa memberimu anak. Bukankah itu tujuan pernikahan di kalangan kita? Tugasku hanya melahirkan anak laki-laki sebagai penerusmu,” sambungnya pahit. Costa tertegun. “Kamu skeptis sekali!” Liona menghembuskan napas kasar dan menatap pria di depannya nanar. Ia sudah cukup menjadikan dirinya sebagai contoh produk gagal, korban keegoisan orang tua. Pernikahan kedua orangtuanya berawal dari hal yang sama, semata-mata demi deal bisnis. Seiring waktu berjalan, Hendrick dan Karina, ibunya, jatuh cinta, atau setidaknya itulah yang ia dengar dan yakini. Namun, cinta yang dirasakan Hendrick terhadap ibunya hanyalah perasaan semu sesaat. Terbukti saat mantan pacarnya kembali, Hendrick lebih memilih pergi menceraikan ibunya yang terpuruk kehilangan anak kedua, juga dirinya. Sontak, Lio kehilangan pegangan dan harus puas hidup menumpang dan bersandar pada kekuatan diri sendiri. Ia menahan diri dari mengandalkan siapapun atau utang budinya akan semakin menumpuk. “Kau tahu persis bagaimana kisah hidupku, Costa. Aku tidak ingin mewariskan nasib sialku pada anak-anakku,” gelengnyapedih. Costa mengusap wajahnya kasar. Terbersit rasa iba dalam hatinya. Ia tahu betul bagaimana Liona menghabiskan masa kecil dalam kepahitan. Ditinggalkan sang ayah demi wanita lain, ibunya yang depresi berat hingga Lio sering di-bully dan dikucilkan. Hanya Costa yang bersedia berteman dengannya. Di umur sepuluh tahun, Frederick membawa keluarganya pindah ke Singapura, hingga mereka terpisah sekian lama. Beberapa tahun yang lalu, mereka kembali dipertemukan dalam urusan bisnis. Gadis manis nan pemurung yang dulu ia ekori kemana-mana, telah berubah drastis menjadi wanita bermulut tajam dan arogan. Tak terhitung berapa kali rekan-rekan bisnisnya harus tertunduk malu mendengar mulut wanita itu. Tetapi, itu juga yang membuatnya jatuh cinta dan merasa tertantang untuk memilikinya. “But I'm not your father!” sanggah Costa menggelengkan kepala. “Sudahlah, Costa. We could be good friends, but as a lover, we're not gonna make it!” sambung Liona getir. “Percayalah, cinta sepihak itu suatu saat akan membuatmu lelah. Pernikahan di kalangan kita hanya masalah bisnis. Tidak akan ada cinta yang tulus seperti dalam dongeng. Aku tidak mau menjebak diriku dan bernasib sama dengan ibuku.” Latar belakang keluarga yang berantakan tersebut menjadikan Lio lama-lama muak terlahir sebagai perempuan yang kehadirannya tak pernah diperhitungkan. Ia tumbuh menjadi wanita tangguh dan rapuh secara bersamaan. Menjadikan keangkuhan sebagai teman, memeluk arogansi sebagai sahabat dalam melawan kepongahan dunia. “Kamu tidak punya banyak waktu. Begitu Erland kembali, mau tidak mau kamu harus menikah, entah itu denganku atau jodoh lain yang dipilihkan oleh pamanmu,” gertak Costa. “Ya, sepertinya begitu,” jawab Liona lirih. “Tenang saja, aku akan menemukan jalanku sendiri.” “Menikahlah denganku, Lio. Kita sudah saling mengenal sejak lama.” Liona berdecak, kesal dengan bujuk rayu Costa. “Kira-kira sampai kapan kau akan bertahan dalam rumah tangga yang hambar tanpa cinta? Kau bisa memiliki tubuhku tapi tidak dengan hatiku. Lama-lama kau akan bosan dan mencari perempuan lain di luar sana yang bisa mendengar keluh kesahmu, lalu akhirnya akan selalu sama. Kau terjebak gundikmu dan aku akan ditinggalkan. It happens to many of us, right? Berpikirlah dengan logika, Costa. Gunakan akalmu sebagai laki-laki, jangan terjebak perasaan semu seperti banci!” Liona menyeruput sisa minuman dalam gelasnya dan berdiri. “Pertimbangkan baik-baik, Lio. Menurutmu, kenapa kamu bisa selamat di hotel waktu itu?” Liona terkesiap. Ia berbalik menatap Costa dengan mata menyipit curiga. Bayangan pelecehan atas dirinya tempo hari kembali melintas di pelupuk mata. “Jadi, itu ... ?” “Hal yang sama akan terus terjadi selama kamu masih dalam kuasa pamanmu. Aku berjanji akan melindungimu,” sambung Costa menantang mata wanita di depannya sambil tersenyum tipis. Liona balas tersenyum lalu kembali menampakkan raut datar di wajahnya. “Tidak akan ada pernikahan di antara kita Costa. Kau tenang saja. Suatu hari nanti, aku pasti akan membayar utangku!” Ia membalikkan badan dan berlalu pergi, meninggalkan Costa yang menyumpah meremas rambutnya gusar. *** Sepulang bekerja, Liona mengarahkan mobilnya ke suatu tempat. Matanya melirik sebuket bunga lili putih kesukaan ibunya yang terletak di samping kemudi. Pikirannya kacau balau setelah mendengar pengakuan Costa. Benarkah pria itu yang menyelamatkannya? Rasanya tidak mungkin! Tetapi, bisa jadi, pria bertahi lalat di telapak kaki tersebut adalah orang suruhan Costa, bukan? Sial! Ia berjalan dengan kepala tegak, membalas anggukan dan senyuman beberapa petugas di sepanjang koridor. Kakinya terus mengayun cepat menuju bangku kayu bercat coklat di samping taman bunga, tempat biasa dimana ibunya menghabiskan waktu. Liona miris dengan nasib ibunya. Baru hitungan hari setelah puteranya lahir, bayi kecil itu tanpa sengaja harus meregang nyawa di tangannya akibat sindrom baby blues yang ia derita. Kematian sang adik, praktis menjadikan Liona anak tunggal yang tak punya saudara. Cobaan datang bertubi-tubi hingga Karina tak mampu melawan badai yang menerpa hidupnya. Ia harus digiring ke rumah sakit jiwa tepat setelah Hendrick mempersalahkannya atas kematian puteranya dan meninggalkannya dengan kata talak yang terucap tegas dalam satu tarikan napas. Liona mengambil napas panjang dan menyapa riang, “Hai, Ma. Mama apa kabar?” Ia duduk dan meletakkan bunga tersebut di pangkuan ibunya. Bibirnya mencium kening wanita yang masih terlihat cantik meski wajahnya sudah mulai dimakan usia, dibuktikan dengan kerutan di sudut matanya. Tangannya terangkat, mengusap rambut yang sedikit memutih di samping pelipis Karina. Mulutnya terus meminta maaf karena tidak bisa menjenguk ibunya lebih sering. Setiap kali datang, ia hanya membawa masalah, menceritakan keluh kesah, lelah, dan menambah beban sang ibu yang hanya bisa menjawab dengan tatapan kosong dalam keheningan. “Mama ingat Samudera? Besok ... dia menikah, Ma,” ucapnya lirih menghalau air mata yang tiba-tiba merebak. “Aku harus bagaimana, Ma? Aku ... aku tidak boleh jadi pelakor ‘kan, Ma? Aku tidak boleh jadi w***********g seperti Widya ‘kan, Ma?” Liona tergugu. Susah payah ia mengabaikan undangan pernikahan itu dengan mengalihkan pikirannya ke berbagai hal. Ia melahap setumpuk buku, menonton serial TV sampai tengah malam, hingga berteriak-teriak seperti kesetanan di apartemennya. Tapi, torehan luka itu tak kunjung pergi. Di satu sisi, ia senang Sam menolak pernikahan tersebut. Secara tidak langsung Sam telah menyelamatkan dirinya sendiri sebelum terjebak terlalu jauh menjadi kacung Frederick. Sam tidak memiliki nama besar, begitupun latar belakang keluarga yang kaya raya. Posisi tawarnya tidak berharga di mata Frederick. Kariernya melesat karena kecerdasan dan insting bisnis yang dimilikinya. Dan Frederick hanya memanfaatkan potensi besar itu demi mengembangkan usahanya. “Sudah terlalu lama Mama meninggalkan aku dan hidup dalam dunia Mama sendiri. Kapan Mama akan pulang?” Liona terisak-isak melabuhkan kepalanya di bahu Karina dan menggenggam tangannya. “Lihatlah, puterimu sudah besar. Aku sendirian, membutuhkan sandaran juga pelukan Mama!” Tangisnya pecah sambil terus bermonolog tanpa jawaban. “Apa memang nasib perempuan dalam keluarga kita selalu seperti ini, Ma?” Ia mengeluarkan sesak yang memenuhi rongga d**a, melabuhkan lara yang tak bisa ia lepaskan pada siapapun, termasuk pada Tama, sahabatnya. Lio mengusap airmatanya yang berjatuhan. Kerongkongan terasa disumbat batu besar. Ia menggigit bibir menahan diri agar tangisannya tak menjadi-jadi. “Maaf, Ma. Aku harus pulang. Mama cepat sembuh dong, Ma! Kita bisa tinggal bareng kalau Mama sembuh.” ucapnya penuh pengharapan sambil meraih dan mencium kedua tangan pucat tersebut. Dari sebuah sudut yang tak terlihat, seorang pria mendongak menghalau airmata yang sudah siap tumpah membanjiri pipinya. Kerongkongannya tercekat. Adegan mengharu biru antara ibu dan anak itu, meninggalkan sesak yang menghimpit dadanya. Dalam beberapa bulan terakhir, tak ada yang dapat ia lakukan demi menyembuhkan luka di hati Liona, selain menjaga wanita itu diam-diam dari balik bayangan. *** Liona berjongkok di kamar mandi sambil membawa beberapa helai foto. Tangan kanannya memegang korek api dan membakar satu persatu foto tersebut lalu mengguyur sisa abunya dengan air. Matanya tak lagi mengeluarkan air mata. Ia terus memohon kerelaan dalam hatinya, mengikhlaskan orang yang ditunggu-tunggu tak akan pernah menjadi jodohnya. Meski ia tahu, perjalanan untuk melupakan rasa itu akan memakan waktu yang lama. Sekembalinya ke kamar, ia mengusap ponsel menghubungi Frederick juga sekretarisnya. Tak lama kemudian, ia membeli tiket penerbangan esok hari melalui aplikasi online. Tak ada yang lebih baik selain liburan untuk menyembuhkan hatinya yang patah dan berdarah. Goodbye, Sam! Meski butuh waktu, aku akan melupakanmu. Berbahagialah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN