Bab 4

1001 Kata
Lima hari sudah Mas Dimas tak pulang ke rumah, masih dengan alasan yang sama ada pekerjaan penting yang belum bisa dia tinggalkan, takut papa marah, katanya.  Aku hanya tersenyum kecut membaca pesan-pesan yang dikirimkannya. Pesan yang kadang hanya satu atau dua kali kubalas. Tak seperti biasanya, aku begitu antusias tiap kali Mas Dimas mengirimkan pesan padahal isinya hanya sekadar membalas pertanyaan-pertanyaan dari pesanku sebelumnya.  Tak ada lagi kekhawatiran dalam d**a, apakah dia sudah makan. Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak. Apakah dia capek. Apakah dia sakit. Kecemasan yang selama ini selalu menggangguku tiap kali dia tak ada di rumah seolah lenyap begitu saja. Berganti dengan luka dan air mata.  Kalau tahu dia sudah menikah sebelumnya, tak sudi rasanya aku dijadikan yang kedua apalagi jika alasan pernikahan yang dia lakukan hanyalah karena iba dan harta. Iba karena aku lumpuh dan harta papa yang menumpuk sementara aku pewaris tunggal karena aku anak semata wayang papa, sementara mama sudah pergi bersama kankernya tiga tahun yang lalu. Oma dan opa pun sudah tiada bahkan sebelum aku dewasa.  Tak ada yang kupunya selain papa dan Mas Dimas. Karena itu lah aku begitu bersyukur mendapatkan suami sepertinya yang begitu perhatian dan penyayang bila di rumah, meski bila ke luar kota dia begitu berbeda dan berubah. Kupikir itu adalah hal wajar, mungkin dia banyak pikiran atau lelah.   Sungguh aku tak menyangka jika ternyata dia bertemu istri pertamanya tiap kali ijin ke luar kota selama beberapa hari. Air mata kembali membanjiri pipi. Jika mengingat semua pengorbanan yang sudah kulakukan selama ini. Tak pernah kuminta nafkah uang darinya, karena papa sudah mencukupi semuanya bahkan sejak aku masih sendiri. Tak pernah kularang dia membeli barang-barang mewah yang katanya untuk saudara jauhnya, karena dulu sering dibantu saat kesulitan. Tak pernah kularang dia mentransfer puluhan juta uang untuk saudaranya, karena dia bilang hutang budinya dulu tak ada apa-apanya jika sekadar dibalas dengan uang.  Aku iyakan semua kemauannya karena kupikir hatinya begitu tulus, mau membantu saudaranya dia saat dia sudah sukses. Kupikir, hatinya begitu bersih masih mengingat kebaikan saudaranya bahkan berniat membalas kebaikan itu di saat dia sudah memiliki banyak harta. Meski semua fasilitas yang dia miliki adalah milik papa.  Aku tak menyangka jika semua yang dia kirimkan itu ternyata untuk istri pertamanya. Dia tega menabur luka di hati satu perempuan demi menabur cinta dan bahagia di hati perempuan lainnya. Kuseka air mata dengan punggung tangan. Teringat kembali ponsel Mas Dimas kemarin yang kumatikan begitu saja tanpa memeriksanya lagi setelah membaca obrolan teman-teman Mas Dimas di grup w******p itu.  Kunyalakan kembali ponselnya. Aku yakin pasti banyak obrolan penting di sana karena selama ini ponsel Mas Dimas memang selalu di password dengan alasan keamanan. Bodohnya aku tak terlalu percaya, mungkin lebih tepatnya tak ambil pusing karena ketulusannya untuk menerima perempuan lumpuh sepertiku sudah lebih dari cukup. Aku tak ingin menyakiti diri sendiri hanya karena iseng dan kepo dengan isi ponsel suami.  Hanya saja, akhir-akhir ini aku mulai tak tenang. Ada gelisah yang tak bisa kuungkapkan karena sejak papa sakit lima bulan belakangan, Mas Dimas semakin berubah. Biasanya urusan ke luar kota hanya sebulan atau dua bulan sekali namun kini hampir dua atau tiga minggu sekali dia pergi. Mau tanya lebih detail urusan apa, aku pun tak enak hati.  Mungkin memang beginilah jalanNya. Aku harus melihat ponsel yang terjatuh begitu saja di garasi, otak-atik password beberapa kali hingga akhirnya berhasil, lalu sakit hati sendiri karena melihat obrolan para lelaki itu di sana.  Sebuah nama Ayu muncul di sana. Ayu yang pernah dikenalkan Mas Dimas padaku setahun lalu, tepatnya seminggu setelah aku menikah dengannya. Dia bilang keluarga Ayu lah yang sering membantunya saat kekurangan. Karena itu pula, tiap kali Mas Dimas bilang mau belikan sesuatu buat keluarga Ayu, aku mengijinkan. Bahkan beberapa kali bilang transfer uang pun aku tak melarang meski aku tak tanya berapa nominal yang dia kirimkan. Aku sadar, jika tanpa Ayu dan keluarganya, mungkin Mas Dimas akan terlunta-lunta ditinggal kedua orang tuanya saat dia masih remaja.  |Mas, uang bulanan yang kamu kirim kurang, masak cuma 10 juta sih? Gaji kamu kan besar di kantor istri barumu itu. Harusnya kamu bisa kasih aku lebih dari itu. Ingat ya, Mas. Aku sudah berbaik hati membiarkanmu menikah lagi. Jangan ngelunjak kamu ya, Mas. Inget janjimu dulu|  Deg deg deg hati benar-benar tak karuan rasanya membaca chat dari Ayu. Kenapa dia bilang seperti itu? Bukankah teman-temannya bilang nama istri pertama Mas Dimas adalah Niken? Sedangkan Ayu dan keluarganya, yang kutahu dia malaikat tak bersayap untuk Mas Dimas. Bukan istrinya.  |Buat apa sih, sayang? Bukannya minggu lalu sudah kukirim 15 juta? Kamu bilang mau buat beli perhiasan. Lagipula semua keperluan calon buah hati kita juga sudah aku siapkan. Semua beres tanpa ada yang kurang. Jangan terlalu boros sayang, takutnya papa sembuh dan cek semua pengeluaranku di kantor yang mencurigakan. Semua bisa fatal| Aku skrol ke atas chat Mas Dimas dengan Ayu yang dia bilang hanya sekadar saudara jauh. Ternyata semua memang penuh kepalsuan. Dua manusia itu sengaja menjebakku. Niken Rahayu. Nama itu yang tertera di setiap bukti transferan yang Mas Dimas kirimkan.  Astaghfirullah ... setahun lebih aku dibohongi oleh dua manusia itu. Kupikir Mas Dimas berhati malaikat namun ternyata dia hanya seoarang penjilat dan pengkhianat. Jika papa tak sakit seperti sekarang, aku pasti sudah melaporkan semua kebusukannya ini agar dia didepak dari kantor dan rumah dengan tidak hormat. Untuk sementara, kucari dan kusimpan semua bukti ini agar papa yakin bahwa ucapanku tak sekadar fitnahan belaka.  Begitulah papa yang terlalu percaya pada menantu kesayangannya itu, menantu yang ternyata menusuknya dari belakang tanpa ampun. Sudah cukup mereka menghambur-hamburkan uang papa, perusahaan yang selama ini papa bangun dengan berlumuran peluh dan doa. Sudah waktunya aku mengambil sikap. Aku yang selama ini tak pernah menuntut nafkah darimu, mulai bulan ini aku akan minta jatah itu. Tak hanya sebagian, namun 70% dari gajinya. Biar saja dia menerka-nerka apa yang membuatku berubah sedemikian drastis.  70% langsung kupotong dari kantor tanpa memberitahunya lebih dulu. Mungkin itu akan membuatnya sedikit shock. Tapi keterkejutannya itu tak ada apa-apanya dengan keterkejutanku saat tahu sandiwaranya di belakangku selama ini.  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN