2. Kenangan Kelam

1444 Kata
Ketika telah sampai di rumah, Davin menyambut hangat kepulanganku. Bocah itu seperti punya intuisi bahwa akan berpisah denganku. Dia segera bergelanjut manja di lengan. Lalu tampak pula Mami yang tengah menyuapi si bungsu. Tak kugubris wanita tua itu. Kaki ini lekas melangkah ke kamar pribadi dan segera mengemasi barang-barang. Anak-anak ikut menyusul ke kamar. Melihat aku tengah berkemas, Davin pun mengajukan pertanyaan. Walau berat hati, tetapi aku terpaksa menyampaikan hal yang sesungguhnya. Bahwa aku akan pergi bersama Abella meninggalkan dia di sini. Bocah laki-laki yang kini genap berusia sembilan tahun itu, terbungkam mendengar penuturan pelanku. Sang adik pun diam tidak berkomentar apa-apa. "Davin baik-baik tinggal bareng Ayah, ya. Nurut ama omongannya." Aku memberi nasihat sembari mengelus pelan rambut tebalnya. Bocah itu terdiam saja. Namun, tak lama berselang meledaklah tangisnya. Sungguh seketika hatiku hancur melihat itu. "Bunda jahat! Bunda gak sayang Davin! Kenapa cuma Abell yang diajak?" Mata anak itu nyalang menatapku disertai butiran bening yang terus saja luruh membasahi pipi bersihnya. "Davin dengerin Bunda dulu! Bunda akan tinggal di tempat Kakek, tapi nanti sering ke sini buat nengokin Davin," terangku lembut. Anak itu menepis kasar tanganku yang hendak memeluknya. "Bunda jahat!" teriak Davin menggelegar. Lalu Davin berlari ke luar kamar dengan berang. Rasanya luka di hati ini terkoyak kembali melihat tingkah anak itu. Terasa perih dan juga lara. Air mata pun kembali membanjiri pipi tirusku. "Aya!" Mami masuk ke kamar dengan muka yang bersalah. Tak mau terlihat lemah, lekas kuhapus air mata ini dan kembali mengemasi barang. Aktivitas mengemasi barang terhenti, saat tangan Mami memegang lenganku. Lalu tak disangka pula, wanita itu menggelosor dan bersimpuh di kaki ini. Mami menangis tersedu. Kemudian dengan terbata-bata, dia meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Tersenyum kecut aku mendengarnya. Terlambat! Pelan, kubimbing Mami berdiri. "Tidak ada yang perlu disesali! Semua sudah terjadi. Dan seperti inilah hasilnya. Aya sudah bukan menantu Mami lagi, dan secepatnya harus hengkang dari rumah ini." Agar terlihat kuat, kubuat setegar mungkin saat berucap. Walaupun sebenarnya, hati ini sungguh berat harus berpisah dengan semua orang yang terkasih. Terutama dengan Davin. Merasa sudah siap, kutarik lengan Abella ke luar dari kamar itu sembari menggeret koper besar berisi pakaian kami. Setelah sebelumnya, kusuruh Abella untuk mencium tangan sang nenek. "Aya, jangan pergi, Nak! Kasihan Davin!" Teriakan Mami tak menyurutkan langkah untuk hengkang dari rumah itu. Lalu pada saat sudah sampai pintu depan, aku berpapasan dengan Mas Ferdi yang baru tiba. Kembali ia memasang muka memelas. Cih! Tak mau tertipu lagi kubuang muka. "Aku antar," tawarnya lirih. "Tidak perlu!" Segera kutarik lengan Abella menjauh. Ketika hendak masuk taksi pesanan yang telah datang, Davin menghambur dalam pelukan. "Bunda, Davin ikut!" Anak itu terus saja merengek dan menangis. Hati ibu mana yang tak teriris melihat anaknya histeris meminta turut serta. Namun, inilah keputusannya. Aku harus pergi bersama Abella dan meninggalkan Davin yang harus tinggal bersama Mas Ferdi. Bergegas aku menyuruh Pak sopir untuk segera melajukan kendaraan begitu masuk taksi. "Bundaaa!" Terlihat dari spion taksi, Davin berteriak histeris. Lalu tampak Mas Ferdi dan Mami membujuk anak itu. Karena tak mau terus terlarut dalam kesedihan, kusuruh sopir untuk tancap gas. "Ke mana, Bu?" Sopir taksi bertanya. "Ba-baranang si-siang," jawabku terbata akibat menahan sesak yang melanda jiwa. Bahkan protesan dari Abella tak kuhiraukan. Putri kecil itu marah karena sang kakak tidak diajak serta. Mulut gadis kecil itu terus saja menanyakan alasan, kenapa aku sampai tega meninggalkan kakaknya. Mungkin karena lelah tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang ia lontarkan padaku, Abella pun terdiam. Lalu tak lama kemudian, dia terlelap dalam pelukanku. Sembari mengelap pipi yang basah, kucium lembut kening gadis kecil itu. Kemudian sepanjang perjalanan, kejadian paling menyakitkan itu terulang di mata. * Pagi itu Setelah semalaman menunggu kepulangan Mas Ferdi yang tak kunjung datang, kuputuskan untuk mencari dia. Sebelum pergi mencari dia, aku mampir ke rumah Mami yang ada di Permata Cimanggu. Dengan maksud menitipkan anak-anak. Rumah Mami hanya beda dua blok dari Cimanggu Permai kediamanku. Jadi tak memerlukan banyak waktu, aku dan anak-anak sudah sampai di rumah Mami. Ketika baru masuk dengan mata kepala sendiri, kami melihat Mas Ferdi dan Nella ke luar dari kamar tamu dengan rambut acak-acakan dan tangan yang saling bertautan. Sontak emosi pun meluap. Refleks kutarik rambut Nella sekuat mungkin, hingga membuat wanita jalang itu meringis kesakitan. "Dasar wanita ular! Sudah kutolong, tapi balas merebut suamiku!" makiku geram. Ketika tanganku hendak mencakar muka jahatnya, Mas Ferdi menghalangi. "Oke. Detik ini aku minta cerai! Bila perlu talak tiga sekalian!" Wajah Mas Ferdi pias seketika mendengar teriakan amarahku, sedangkan Nella hanya diam tertunduk. "Ay, jangan main-main dengan kata cerai!" ujar Mas Ferdi. Tangannya meraih lenganku. Namun, segera kutepis dengan kasar. Melihat keributan yang ada, anak-anak ketakutan. Bahkan Abella ikut menangis histeris. Lalu tak lama kemudian muncul Mami dan Leha, asisten rumah tangga Mami. Dengan cepat Mami segera memeluk Abella dan Davin, memberi ketenangan pada dua bocah kecil itu. Aku sendiri segera menghampiri Leha. "Sudah berapa lama wanita itu menginap di sini?" tanyaku pada Leha sembari menunjuk muka Nella. Gadis yang masih berusia dua puluh tahun itu tak langsung menjawab. Dia hanya menunduk. Mungkin takut. "Jawab Lehaaa!" sentakku marah karena Leha tak lekas menjawab pertanyaan. "E--- anu, Teh ...." Leha tak melanjutkan ucapan. Dia memandang muka Mami dan Mas Ferdi secara bergantian. "Lehaaa!" "I-iya, Teh. Udah ... du-dua malam," jawab Leha terbata dan takut. Jleb! Seperti ada pisau belati tajam yang menusuk tepat ke jantung. Luar biasa sakit. Tiba-tiba kepala menjadi pening. Badan pun terasa lunglai. Ketika aku terhuyung hendak jatuh, dengan sigap Mas Ferdi menyambar. Karena masih sadar, segera kutepis tangannya. Lalu untuk menenangkan diri kutarik napas pelan-pelan. "Tega kamu, Mas!" Hanya itu ucapan yang ke luar dari mulut, sebelum akhirnya aku berlalu meninggalkan tempat itu. * Waktu itu hatiku terasa amat perih, mendapati suami berselingkuh dengan teman sendiri. Terlebih lagi akulah yang menolong Nella dari keterpurukan ekonomi. Sungguh Nella ibarat gunting dalam lipatan. Orang yang sudah kuanggap teman, tega menusuk dari belakang. Namun, yang lebih menyakitkan lagi adalah turut andilnya Mami dalam masalah ini. Teganya dia mengizinkan Mas Ferdi membawa Nella ke rumah. Padahal aku sangat menyayangi dia. Menempatkan dia laksana Ibu kandung yang telah lama meninggal. Bahkan, saat wanita itu terkena stroke ringan enam tahun silam, cuma akulah menantu yang mau merawat hingga sehat kembali. Lalu semenjak saat itu, pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari-hari rumah tanggaku. Aku yang ngotot minta cerai dan Mas Ferdi yang bersikeras mempertahankan mahligai pernikahan. Berbagai cara dan upaya ditempuh Mas Ferdi dan Mami untuk menghalangi niatku bercerai. Namun, aku tetap kokoh dalam pendirian. Karena bukan sekali ini Mas Ferdi melakukan kesalahan. Jauh sebelum itu, dia pernah melakukan hal yang sama. Yaitu mengkhianati cinta suciku dengan diam-diam menjalin hubungan dengan rekan seprofesinya yang bernama Echa. Lima tahun lalu Mas Ferdi dan Echa kepergok selingkuh oleh suami Echa. Keduanya sama-sama dipecat dari pekerjaan. Waktu itu Mas Ferdi masih kerja di High Land, sebuah resort di kawasan Ciapus. Jadi walaupun waktu itu hati juga terasa teriris, akan tetapi aku masih bisa memaafkan. Karena tengah mengandung Abella dan berharap Mas Ferdi mau berubah. Namun, ternyata dia kembali mengulang kesalahan. Aku yang sudah lelah dan muak, tidak tergoda lagi saat Mas Ferdi mengiba meminta maaf. Lelaki itu bilang menyesal. Bahkan dia mengaku sebenarnya tidak menyukai Nella dan merasa dipelet oleh istri Mas Rudi itu. Mas Ferdi bercerita semenjak diberi kopi oleh Nella suatu siang, dia merasa jadi teringat wanita itu terus. Ketika Mas Ferdi mencoba mengusir bayang Nella dari pikiran, itu justru membuat dia semakin merindunya. "Mungkin Nella telah menggunakan ajian jaran goyang waktu itu, Ay. Hingga aku bisa bertekuk lutut di hadapannya," tutur Mas Ferdi beralasan. "Mau dipelet ataupun tidak, yang pasti kalian sudah berbuat m***m. Dan tidak ada kata maaf untuk itu. Dua kali kamu melakukannya, Mas," tegasku memungkas harapannya. * Kemudian aku tersadar dari lamunan, saat sopir taksi memberi tahu bahwa telah sampai di tujuan. Pelan-pelan aku turun dari taksi sembari menggendong Abella yang masih terlelap. Sedang sopir taksi ikut membawakan koperku menuju rumah. Pada ketukan ketiga, pintu pun dibuka oleh seorang wanita berumur lima puluh lima tahun. Wajahnya datar melihat kedatanganku. Tak kuhiraukan wanita itu, dengan bergegas menuju kamar pribadi saat masih gadis dulu. Sopir taksi mengikuti sembari menggeret koper. Lelaki itu mengucap banyak terima kasih, melihat aku memberi uang lebih padanya. Selanjutnya sang sopir pamit undur diri. Ketika aku tengah memasukan baju ke lemari, wanita itu datang. "Mau berapa lama kamu akan tinggal di sini?" tanya dia sembari berkacak pinggang. "Kenapa memang?" Aku balik tanya dengan tenang. "Ini rumah Bapak. Aku lahir dan besar di sini. Jadi aku berhak tinggal di sini sampai kapan pun," tandasku kemudian. Wanita itu diam tak menyanggah perkataan. Namun, tampak ia mendengkus kesal. Dengan menggumam tidak jelas, ibu tiri galakku pergi meninggalkan ruangan. Next.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN