Menikah?

2149 Kata
Satu Minggu setelah Nazira berada di Indonesia. Gadis itu memilih untuk keluar rumah dan menemui teman baiknya semasa sekolah dulu. Tentu saja dia merasa senang karena sejak kepulangannya dari Kairo, Nazira banyak menghabiskan waktunya hanya di rumah saja dengan membaca buku. Pertemuan itu berlangsung singkat. Tanpa terasa hari sudah menjelang sore. Nazira pun pamit pulang sebelum matahari berganti dengan sinar bulan. Pikirnya daripada harus dimarahi oleh ayahnya, lebih baik dia pulang sebelum Maghrib tiba. Nazira tak ingin membuat masalah. Gadis cantik bernetra almond itu pun, kembali mengendarai mobil milik ayahnya untuk bergegas pulang. "Apa aku tersesat ya?" Nazira masih terus memperhatikan jalan yang dilaluinya. Terlalu asyik bicara dengan teman lamanya, sampai membuat ia lupa dengan ponselnya yang kehabisan daya. Sialnya, lagi Nazira juga lupa membawa charger ponselnya. "Sekarang enggak GPS yang bisa membantuku pulang. Apa sebaiknya aku bertanya pada orang sekitar ya?" Namun baru saja dirinya hendak keluar, seseorang pria tiba-tiba melintas di depan mobil yang dikendarainya. Untung saja laju mobil Nazira tidak terlalu cepat hingga gadis itu bisa dengan cepat menginjak pedal rem pada mobilnya. Seketika decit suara ban yang bergesekan dengan aspal pun terdengar keras. Membuat mobil jenis city car itu berhenti tiba-tiba. "Ya Tuhan, apa aku menabraknya?" Nazira panik dan takut sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Napasnya tak lagi teratur. Detak jantungnya juga tak lagi seirama, ia begitu panik sambil terus menatap sesosok pria yang sudah terbujur lemah di atas kap mobilnya. Tak berapa lama kemudian, pejalan kaki mulai terlihat berhamburan ke arahnya hingga membuat gadis itu semakin ketakutan. "Apa dia mati? Bagaimana ini?" Keramaian yang terjadi di luar mobil tak serta merta terdengar olehnya. Sesaat ia merasa hening dan coba mengatur napasnya agar bisa bersikap tenang menghadapi semua ini. Sampai akhirnya, suara pria paruh baya mengetuk kaca mobilnya hingga menyadarkannya dari segala pikiran kalutnya. "Sebaiknya korban dibawa ke rumah sakit saja, Mbak! " ujar pria berpeci putih pada Nazira. Nazira membuka kaca mobil. Wajahnya masih terlihat panik dengan keringat yang mulai membasahi dahinya. "Tapi saya tidak menabraknya!" kilah Nazira. "Mau menabrak atau tidak, yang jelas pria itu sudah terkapar di depan mobilnya, Mbak," ujar pria lainnya. Nazira jelas menjadi bingung, namun dirinya tak bisa menolak karena memang pria tersebut melintas tiba-tiba di depan mobilnya. Dan dirinya juga tak ingin menjadi korban amuk massa karena menolak menolong pria tersebut. Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang, pria yang pingsan tersebut di tidurkan di kursi belakang mobil yang dikendarai Nazira. "Kalau mau kerumah sakit, Mbak tinggal lurus saja terus ada pertigaan belok kanan lalu lurus belok kanan lagi dan terus saja. Nanti ketemu rumah sakit Wiluya," ujar pria dengan potongan rambut mohack memberi arahan pada Nazira. Nazira hanya mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya. Beberapa kali gadis bercadar merah maroon itu menoleh ke belakang memastikan kondisi pria yang pingsan di kursi belakang. "Sepertinya tidak terlalu parah, apa aku bawa pulang saja ya? Karena kalau di rumah sakit pasti bakal di tanya-tanya. Dan takutnya malah ada polisi! Bakal ribet urusannya nanti." Nazira bermonolog sendiri setelah menghentikan mobil sejenak untuk memeriksa kondisi pria di kursi belakang. "Ya sudahlah, toh di rumah ada Babe dan yang lainnya yang bakal nolongin dia," ungkap Nazira lagi. Akhirnya setelah berpikir cukip lama, dia pun memilih arah menuju rumah orangtuanya dari pada arah ke rumah sakit. "Kok rasa kenal ya, tapi dimana?" kembali Nazira melihat ke belakang melalui spion tengah."Wajahnya kok nggak asing." Nazira kembali berusaha mengingat-ingat akan pria dibelakangnya. "Apa dia ...?" Saat berada di lampu merah, Nazira coba menyalakan ponselnya yang tadi sudah sempat ia matikan karena kehabisan daya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memastikan apa pria yang saat ini ada di mobilnya adalah pria yang sama dengan yang pernah ditemuinya di Kairo. Jari lentiknya langsung mengklik sebuah photo id card dan kedua matanya pun membulat dengan sempurna. "Tuh kan, bener sama! Dia pria yang di ada di Hotel Ramses," pekik tertahan Nazira yang lantas segera menjalankan mobil setelah suara ribut klakson mobil lain dibelakangnya. "Ya Tuhan! Dosa apa yang aku lakukan hari ini sampai Engkau kembali mempertemukan aku dengan pria menyebalkan ini," keluh Nazira seraya meraup wajahnya menggunakan satu tangan. "Atau lebih baik dia aku antar ke rumah sakit saja terus aku tinggal pergi?" Kembali hati Nazira bimbang dalam memutuskan tujuannya. "Tapi apa hal tersebut bukannya malah menambah dosa juga menambah masalah? Bagaimana jika penjaga di rumah sakit melaporkan aku ke polisi dengan tuduhan tabrak lari? Oh tidak! Bakal masuk penjara dong aku? Ya Tuhan! Kenapa aku merasa benar-benar sial hari ini?" Nazira hanya bisa meratapi kejadian buruk yang baru saja menimpanya. Sementara pria yang dia tahu bernama Fathan Khalil Afkar melalui id card pria itu, masih juga belum membuka matanya. Butuh waktu sampai sepuluh menit lamanya, akhirnya Nazira bulat dengan keputusannya untuk membawa pria yang masih tak sadarkan diri itu ke rumahnya. Pikirnya nanti saat di rumah ada ayahnya yang bisa membantunya dalam menghadapi masalah ini. Setibanya di halaman rumah, Nazira langsung keluar dari mobil dan memanggil Rozak yang ada di depan rumahnya. "Cang Rozak," panggil Nazira. "Apaan?" Sahut pria itu heran karena tidak biasanya Nazira memanggilnya saat tiba di rumah. "Bisa bantu Iza enggak? " ucap Nazira pada pria yang tengah memperbaiki kipas angin itu. "Bantu apaan?" "Sudah ikut Iza saja sekarang," ujar Nazira yang kembali berjalan ke arah mobilnya, lalu membuka pintu yang ada tepat di belakang kursi kemudi. "Ini, Bang." Pintu terbuka lebar dan Rozak terkesiap saat melihat ada seorang pria tak sadarkan diri di dalam mobil Nazira. "Nah loh! Nih orang siapa, Neng? Kok babak belur gini?" tanya Rozak saat melihat kondisi pria itu. "Iza juga enggak tahu, Cang! Dia tiba-tiba saja muncul dan membuat Iza hampir menabraknya," ungkap Nazira. "Ya udah! Kita bawa masuk dulu!" ujar Rozak yang lantas berusaha menyadarkan pria tersebut. "Aku di mana?" tanya pria itu terlihat kebingungan. "Elo ada ditempat yang aman, sekarang kita masuk rumah dulu! Elo bisa jalan, 'kan?" Fathan mengangguk lemah lantas dibantu oleh Rozak dia pun keluar dari mobil. Sementara Nazira berjalan cepat mendahului kedua pria itu masuk ke rumah. "Kok sepi, Cang? Babe sama Umi ke mana?" "Babe lagi pergi melayat di Sawangan. Umi Elo lagi kerumah Mpok Hindun yang anaknya baru lahiran," jawab Rozak," Nih orang mau di taruh dimana?" "Taruh di mana, Cang? Masa ruang tamu?" "Kamar elo aja untuk sementara! Entar saat babe pulang encang yang bakal bilang ke Babe elo," ujar Rozak. "Kenapa enggak di kamar tamu saja, Cang?" "Kamar itu masih berantakan, Encang belom selesai benerin plafon dan ngecat temboknya," jawab pria yang berusia sekitar 45 tahun itu. Nazira mengangguk lantas berjalan ke arah kamarnya dan membiarkan Rozak membantu pria dengan luka lebam itu untuk berbaring diatas kasurnya. Nazira segera menyiapkan baskom berisi air hangat serta waslap juga kotak P3K lalu memberikannya ke Cang Rozak. Sementara Rozak membersihkan luka pada tubuh pria itu dan Nazira memilih untuk pergi ke dapur membuatkan secangkir teh manis untuk tamunya. "Sekarang lo istirahat aja dulu, ntar kalau udah baekan baru pulang. Oh ya nama lo siapa?" tanya Rozak dengan suara yang kental dengan logat betawinya. "Fathan Khalil Afkar," jawab pria bernama Fathan membuat Nazira tertegun. "Fathan? Tuh kan benar, sama seperti nama di id card pria yang tasnya tertukar denganku? Apa mereka pria yang sama?" tanya Nazira lagi pada hatinya seraya memperhatikan wajah Fathan dengan tatapan setengah menunduk. "Ya sudah, lo istirahat aja dulu!" Rozak pun berdiri dan berjalan kearah pintu. "Cang Rozak mau ke mana?" tanya Nazira cepat. "Cang mau beresin kerjaan Encang tadi, sebelum kena omel Babe Lu," jawab Rozak lantas keluar kamar Nazira dan membiarkan pintu dalam kondisi terbuka. "Sepertimya kita pernah bertemu sebelum ini?" tanya Fathan seraya memperhatikan Nazira. Pria itu berusaha untuk duduk bersandar dikepala ranjang. Tubuhnya terasa sakit dan remuk. Tatapan tak beralih pada wanita yang duduk dikursi kayu tak jauh dari kaki ranjang. "Mungkin anda salah orang!" "Tidak mungkin karena aku hafal dengan wangi tubuhmu," jawab Fathan membuat kedua mata Nazira membola. "m***m sekali! Bagaimana bisa kamu menghafal wangi tubuh wanita sementara banyak wanita yang berada di sekitarmu," sahut Nazira kesal. Nazira jadi teringat kejadian saat dia mengantar tas coklat milik pria itu, di mana seorang wanita berpakaian seronok dan seksi keluar dari kamar di mana pria itu berada. Saat itu, Nazira bisa melihat warna merah kebiruan seperti kissmark mewarnai leher juga punggung wanita tersebut yang menegaskan apa yang barusan wanita itu lakukan di dalam kamar seorang pria. Namun, wanita tersebut malah menuduh Nazira sebagai wanita panggilan dari pria yang ada di dalam kamar. "Wangi tubuhmu beda dan hanya kamu yang punya. Belum lagi warna kedua bola matamu itu jarang sekali di miliki oleh wanita lain," sahut Fathan membuat Nazira menyebik dibalik cadar yang dikenakannya. "Selain itu, tinggi badan juga pakaianmu yang sangat berbeda dengan wanita kebanyakan, membuatku dapat mengingat dengan baik. Dan aku yakin, kau pasti memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh yang ideal," sambung Fathan lagi membuat Nazira hanya mendengkus pelan dan semakin kesal dengan sikap sok akrab Fathan. Fathan tersenyum saat melihat Nazira hanya terdiam. Dia tahu jika gadis itu pasti sedang tertunduk karena merasa malu. "Perayu ulung!" gumam gadis itu."Lebih baik, jika sudah merasa baikkan, kamu pulang saja. Biar diantar sama Cang Rozak!" ucap Nazira menutupi kekesalan hatinya "Kamu ngusir Aku?" tanya Fathan dengan kedua kening berkerut. "Ya tidak, tapi lebih baik seperti itu." "Tapi sayangnya kepalaku masih terasa sakit," ucap Fathan seraya memengangi kepalanya. Pria itu tak berbohong, dia memang merasakan kepalanya kembali sakit juga terasa berat. Fathan lalu kembali merebahkan diri ke atas ranjang dengan penutup sprei berwarna ungu begitu pula dengan beberapa benda di kamar tersebut. "Ungu! Lebay banget. Tapi tidak buruk untuk sekedar istirahat," ucap Fathan seraya terkekeh pelan."Kamu penyuka warna ungu?" "Memang kenapa?" "Tidak, hanya terkesan alay! " "Ya karena ini kamarku, bukan kamarmu! Jadi sesuka aku mau mewarnai apa," sahut Nazira sedikit ketus. "Cantik, cantik jutek! Ntar jauh jodoh loh! " "Jodoh itu kuasa dan takdir Tuhan! Bukan manusia yang menentukan," balas Nazira yang lantas menoleh kearah jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka. "Hujan?" tanya Nazira pada diri sendiri saat mendapati titik air pada jendela kaca tersebut. "Baguslah kalau hujan. Jadi aku enggak perlu buru-buru kamu usir pulang!" ucap Fathan."Oh ya, tolong dong! Isikan batre ponsel saya!" perintah Fathan seraya menyodorkan ponsel miliknya yang kehabisan batre dan terlihat retak pada layarnya ke arah Nazira. Baru saja Nazira akan beranjak dari duduknya, tiba-tiba pintu kamar yang separuh tertutup itu terbuka lebar menampilkan sosok pria paruh baya yang menatap dengan marah. "Nazira! Apa yang kamu lakukan?!" "Babe!" seru Nazira kaget membuat ponsel milik Fathan hampir saja meluncur ke atas lantai keramik andai Fathan tak cepat menangkapnya. "Apa yang kalian lakukan di kamar berduaan seperti ini?" tanya pria paruh baya itu dengan tatapan tajam. "Ini enggak seperti yang Babe pikirin, Be," jawab Nazira dengan cepat agar sang ayah tak berpikir lebih buruk padanya. "Tapi kenapa gugup begitu? Pasti ada yang kalian sembunyikan!" sergah pria paruh baya itu dengan d**a yang kembang kempis karena amarah. Pertanyaan itu terdengar lucu. Bagaimana bisa ada orang yang tetap bersikap tenang di saat orang tuanya datang sementara di kamarnya ada seorang pria tertidur di atas ranjangnya. "Tidak ada, Be!" jawab Nazira, kali ini ia bisa bersikap lebih tenang dari sebelumnya. Pria paruh baya itu menatap bergantian ke arah Nazira juga Fathan."Babe tunggu di ruang tamu sekarang!" Seketika wajah Nazira panik. Namun, tak begitu dengan Fathan yang tetap bersikap tenang. Setelah keluar dari kamar, keduanya pun lantas duduk berdekatan. Namun, di sofa yang berbeda. Saat ini, Nazira tampak mengenggam tangan ibunya yang sejak tadi terus menatapnya dengan penuh kasih. Sementara Nazira hanya bisa menunduk tanpa berani menatap wajah ayahnya yang menatap dengan tatapan marah. Berbeda dengan Nazira, Fathan yang duduk di sofa tunggal sebelah Nazira masih terlihat sangat santai, walau sebenarnya ia juga tidak setuju dengan keputusan yang diambil. "Besok pagi, kalian harus menikah!" ujar Babe Muhrowi seakan tanpa dibantah. "Menikah? Kenapa begitu mudah?" tanya Fathan sedikit menyindir. "Mudah! Kalian sendiri yang membuatnya mudah!" sergah Babe Muhrowi kesal. "Apa seperti ini cara kamu menolak perjodohan dengan putra sahabat Babe? Dengan membawa seorang pria lain ke rumah sementara babe dan umi tidak ada di rumah? Apa seperti ini hasil kuliah kamu selama empat tahun di Kairo?" tuduh Babe Muhrowi pada sang putri "Bu-bu-bukan se-seper-ti i-itu, Be! Ini salah paham!" ucap Nazira. "Salah paham bagaimana? Cang Rozak saja bilang kalau kamu pulang bersama laki-laki itu!" "Tapi Cang Rozak yang membantu Fathan mengobati lukanya, Be," sela Nazira berusaha menyelamatkan diri. "Cang Rozak membantu karena sebatas kasihan. Dia hanya sekedar menolong! Bukan berarti Cang Rozak mengetahui semuanya. Lalu, apa hubungan kalian?" "Tidak ada!" ucap Nazira cepat. "Sepasang kekasih! " sahut Fathan tak kalah cepatnya. Sontak Nazira menoleh ke arah Fathan yang justru memberinya senyum kemenangan."Kenapa? kamu tidak mengakuinya? Kalau Kita sudah bersama di Kairo." Kedua mata Nazira semakin melebar dengan emosi tertahan sementara jawaban Fathan berhasil membuat orangtua Nazira dan beberapa orang yang ada di ruangan tersebut tercengang kaget. "Yaa Allah, fitnah apa ini? Kenapa pria ini seakan-akan menjeratku dalam perkataannya? Apa tujuannya?" batin Nazira tampak penuh keterkejutan setelah mendengar pengakuan Fathan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN