Saat Bu Lastri sudah pasrah dan diliputi keputusasaan, Permata justru menemukan tekad membara. Ia menyadari, melawan Juragan Teguh di desa itu mustahil. Dengan air mata yang mengering dan hati yang remuk, Permata mengambil keputusan drastis.
"Kita akan pergi dari sini, Bu. Kita pergi ke kota. Kita akan cari pekerjaan baru. Kita buktikan bahwa kita bukan pencuri, dan suatu hari nanti, kita akan kembali dengan kepala tegak."
###
Dua minggu berlalu sejak Permata memulai pekerjaan barunya sebagai guru pembantu di TK Harapan Bangsa. Rutinitasnya kini lebih padat, subuh ia memasak, pukul enam ia berangkat mengajar, dan pukul setengah dua belas ia kembali ke pasar untuk membantu Bu Lastri di warung hingga sore. Upah yang ia dapat memang kecil, tapi cukup untuk membeli s**u ekstra untuk Sandika dan sedikit mengendurkan tali kekang kemiskinan. Senyum Permata kini lebih sering merekah, seolah memantulkan keceriaan murid-muridnya.
Namun, keceriaan itu tidak luput dari pengawasan mata tajam yang penuh nafsu. Juragan Teguh, pria separuh baya dengan perut buncit dan kekayaan yang tak terhitung, adalah penguasa tak tertulis di dusun Pucung. Semua orang menunduk padanya, baik karena hormat atau karena takut. Sudah lama Juragan Teguh terobsesi pada Permata.
Suatu sore, saat Permata sedang merapikan timbangan di warung, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan lapak mereka. Juragan Teguh turun, mengenakan cincin batu akik yang berkilauan. Ia berjalan mendekati Permata, mengabaikan Bu Lastri yang langsung kaku ketakutan.
"Permata. Gadis cantik dan pekerja keras," sapa Juragan Teguh, suaranya berat dan mendominasi.
Permata menarik napas dalam-dalam, ia berusaha bersikap tenang. "Ada perlu apa, Juragan Teguh?"
"Perlu? Tentu saja perlu. Saya sudah beberapa kali mengirim utusan. Saya ingin kamu jadi istri saya yang kelima. Kamu tidak perlu lagi repot-repot berjualan di pasar yang becek ini. Tinggal di rumah mewah, memakai emas, dan membiayai sekolah adikmu sampai ke kota. Bagaimana?" Juragan Teguh menawarkan dengan nada meremehkan.
Bu Lastri segera maju, menggenggam tangan Permata. "Mohon maaf, Juragan. Permata masih muda, ia ingin fokus membantu kami. Kami berterima kasih atas tawaran Juragan yang mulia."
Juragan Teguh tertawa mengejek. "Mulutmu memang manis, Bu Lastri. Tapi kamu ini miskin. Kalian tidak akan pernah keluar dari kemiskinan jika terus begini. Permata, pikirkan baik-baik. Ini bukan sekadar pinangan, ini adalah tiket bebas dari penderitaan. Jangan sia-siakan kemurahan hati saya."
Permata menatap mata Juragan Teguh. Ada kesombongan dan ancaman di sana. Ia tahu, menolak berarti mengundang bahaya. Namun, harga dirinya lebih mahal dari emas Juragan Teguh.
"Terima kasih, Juragan Teguh. Tapi saya harus menolak," kata Permata, suaranya mantap, mengejutkan Bu Lastri. "Saya tidak ingin menjadi istri kelima. Saya hanya ingin menjadi Permata Saraswati, yang mencari nafkah dengan keringat sendiri dan menjaga ibunya. Saya tidak butuh kemewahan yang datang dari belas kasihan."
Wajah Juragan Teguh seketika merah padam. Ekspresinya yang tadinya angkuh kini berubah menjadi murka yang menakutkan.
"Kau berani menolakku, gadis desa kurang ajar?!" bentaknya, membuat beberapa pedagang di dekatnya terlonjak.
"Saya hanya menjawab jujur, Juragan," balas Permata, meski lututnya gemetar.
"Baik. Kamu jual mahal. Ingat baik-baik, Permata. Tidak ada seorang pun di desa ini yang berani menolak Juragan Teguh dan hidup tenang. Kamu memilih untuk tetap membusuk di lumpur kemiskinanmu? Akan saya pastikan, lumpur itu akan menelanmu dan keluargamu hingga tak tersisa!" Ancam Juragan Teguh, lalu berbalik dan naik ke mobilnya dengan kasar.
Bisikan Jahat Menghancurkan Reputasi
Ancaman itu bukan gertakan kosong. Malamnya, Juragan Teguh langsung bergerak. Ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan menyebar fitnah keji dengan modal kekuasaan dan uang.
Keesokan paginya, suasana pasar terasa berbeda. Pedagang yang biasanya ramah kini membuang muka. Pembeli langganan mereka mendadak berpindah ke warung lain. Bu Lastri dan Permata keheranan.
"Kenapa hari ini warung sepi sekali, Bu?" tanya Permata cemas, melihat nasi uduknya tak tersentuh.
"Ibu tidak tahu, Nak. Beberapa Ibu-ibu yang lewat hanya menatap kita dengan aneh," jawab Bu Lastri bingung.
Tak lama kemudian, sebuah suara lantang terdengar dari warung Bu Minah, penjual sayuran di seberang mereka. Bu Minah, yang biasanya sangat ramah, kini menatap mereka dengan tatapan jijik.
"Percuma saja kalian jualan! Siapa juga yang mau beli makanan dari keluarga pencuri? Nanti malah ketularan sial!" teriak Bu Minah, sengaja agar terdengar oleh semua orang.
Bu Lastri dan Permata terperanjat. "Apa maksudmu, Bu Minah?"
"Halah, tidak usah pura-pura lugu! Juragan Teguh sudah cerita ke semua orang. Kalian berdua, Ibu dan Anak, dituduh mencuri uang sumbangan pembangunan pos desa yang hilang seminggu lalu! Katanya, Permata mencuri sedikit demi sedikit saat Juragan Teguh menyuruhnya bersih-bersih di rumahnya. Katanya dia juga pernah menggoda Juragan Permata!"
Permata merasa dunia berputar. Tuduhan itu begitu keji dan tak berdasar. "Itu bohong, Bu Minah! Saya bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di rumah Juragan Teguh!"
"Juragan Teguh tidak mungkin bohong! Dia orang kaya, dia punya segalanya. Kenapa dia harus menuduh kalian? Kalian saja yang serakah dan tidak tahu diri! Jual saja kemulusanmu, Permata, daripada mencuri!" Bu Minah terus menghujat, didukung tatapan mencela dari pedagang lain.
Air mata Permata tumpah. Ia melihat ibunya gemetar, wajahnya pucat pasi. Warung mereka kini menjadi pusat perhatian, dan semua perhatian itu adalah penghinaan.
"Cukup, Bu Minah! Jangan sebar fitnah! Saya akan cari Juragan Teguh dan minta dia mencabut kata-katanya!" teriak Permata, berusaha menahan amarah dan sakit hati.
"Tidak usah repot-repot! Juragan Teguh sudah memperingatkan, katanya dia akan melaporkan kalian ke polisi jika tidak mengembalikan uangnya! Lebih baik kalian cepat-cepat tinggalkan pasar ini sebelum warga mengusir kalian!"
Fitnah itu bergerak cepat seperti api di padang rumput kering. Dalam waktu singkat, reputasi Permata hancur total.
Siang itu, Permata pulang dengan hati hancur. Ia menemukan Sandika menangis di teras rumah.
"Kak Permata! Aku tidak mau sekolah lagi!" rengek Sandika.
"Ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis?" tanya Bu Lastri panik.
"Teman-teman mengejekku. Katanya Kakak dan Ibu itu pencuri. Katanya kita tidak punya uang makanya mencuri. Mereka juga bilang Kakak itu... Kakak itu perempuan nakal yang menggoda Juragan Teguh! Aku dipukul sama Bima karena membela Kakak!" Sandika memeluk Permata erat, bahunya bergetar.
Hati Permata remuk redam. Ia memeluk adiknya, menahan isakan.
Belum sempat ia menenangkan Sandika, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ternyata itu Bu Ratna, Kepala Sekolah TK Harapan Bangsa, dengan wajah muram.
"Permata... Ibu terpaksa melakukan ini," ujar Bu Ratna dengan nada penuh penyesalan. "Wali murid mengeluh. Mereka khawatir guru yang dicap pencuri dan... dan wanita tidak baik... akan memberi contoh buruk pada anak-anak. Saya minta maaf, Nak. Tapi demi nama baik sekolah, kamu harus berhenti bekerja mulai hari ini."
Kata-kata itu bagai palu godam yang menghantam sisa harapan Permata. Pekerjaan yang ia cintai, tempat ia menemukan secercah cahaya, kini direnggut paksa oleh fitnah keji.
"Tapi Bu Ratna, itu semua bohong! Saya tidak pernah mencuri!" Permata memohon, air matanya tak terbendung.
Bu Ratna hanya bisa menggeleng lemah. "Ibu tahu, Nak. Tapi di desa ini, perkataan Juragan Teguh adalah hukum. Mereka semua takut. Maafkan Ibu. Ini gajimu yang terakhir."
Setelah Bu Ratna pergi, suasana di rumah gubuk itu mencekam. Bu Lastri duduk lemas di lantai, wajahnya tertutup tangan.
"Kita harus bagaimana, Permata?" bisik Bu Lastri, suaranya putus asa. "Kita tidak bisa jualan lagi. Kamu sudah kehilangan pekerjaanmu. Kita tidak punya apa-apa lagi."
Permata berdiri di ambang pintu, menatap langit senja yang kelam. Kemiskinan yang dulu hanya membelenggu, kini menjerat mereka dengan tali fitnah yang mematikan. Reputasinya hancur. Keluarga mereka dijauhi, dicap buruk, dan diancam.
"Kita akan pergi dari sini, Bu," kata Permata pelan, namun penuh tekad. Ia menggenggam erat tangan adiknya. "Kita tidak bisa melawan Juragan Teguh di kandangnya sendiri. Dia sudah menghancurkan kita di desa ini. Tapi kita tidak akan menyerah. Kita pergi ke kota. Kita akan cari pekerjaan baru. Kita buktikan bahwa kita bukan pencuri, dan suatu hari nanti, kita akan kembali dengan kepala tegak."
Meski diliputi ketakutan, tekadnya kini membara. Fitnah itu memang menjerumuskan, tapi juga menyulut api perlawanan di hati gadis penjaga warung yang polos itu. Jakarta. Kota yang selalu ia anggap menakutkan, kini menjadi satu-satunya pelarian dan harapan.
BERSAMBUNG YA GUYS