MISSING-1

1067 Kata
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Bip. Bip. Bip. Bip. Bip. Bip. Bip. Suara pintu kamarku dibuka terdengar, membuatku segera buka suara, "Aku tahu, aku akan bangun!" Aku menghela napas panjang, enggan bangun, tetapi tidak ingin mendengar omelannya di pagi hari. Berisik dan aku tidak suka itu. "Wah, kamu sudah bangun rupanya," katanya dengan penuh kekaguman. "Bangunlah, kita ada kelas pagi!" suruhnya. "Bawel," keluhku. "Jika kamu tidak ingin mendapatkan nilai F, segera bangun dari kasurmu dan bergegaslah," omelnya lagi. "Iya," sahutku singkat. "Awas!" Aku mengingatkan. "Aduh!" kepalanya kejedot pintu kamar. "Ckck, kamu ini! Mengapa jendela kamar dan pintu ditutup, serta lampu harus dimatikan? Kamu sudah seperti zombie yang hidup dalam kegelapan. Kamu tahu itu huh?" omelnya sembari berjalan mendekati jendela.   Tangannya nyaris menyingkap gorden kamarku jika saja aku tidak segera menangkap tangannya. "Jangan dibuka!" kataku dengan nada dan penekanan yang kuat. Dia mengerutkan keningnya, bola matanya sedikit melebar dan bisa kulihat jelas dia menelan ludah. Ah, keringat dingin di keningnya pun menarik disimak. Dia ketakutan. Mungkin dia berpikir, bagaimana bisa aku secepat itu menggapainya. Mata kami saling menatap dan bisa kudengar detak jantungnya yang sudah melebihi normal. Dia sungguh ketakutan. "Aku benci cahaya," ucapku sembari tersenyum, mencoba mencairkan ketegangan di antara kami dengan sebuah senyuman kecil. "Ah, haha," tawanya terdengar sangat canggung. "Anu," katanya ragu. "Ya?" sahutku ramah. "Tanganku sakit," katanya sembari melihat ke arah tangannya yang masih dalam cengkramanku. "Oh, sorry. Aku minta maaf," kataku tulus sembari melepas cengkramanku. "Tidak apa-apa, kok. Lagian tanganku hanya sedikit sakit," katanya. "Kalau begitu, berangkatlah lebih dulu. Aku akan menyusul," suruhku. Dia hanya mengangguk lalu buru-buru keluar. Aku memandanginya yang sudah cukup lama menjadi teman serumahku. Bisa dibilang kami memutuskan tinggal di sini bersama meskipun tidak hanya berdua saja. Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan. Di rumah kontrakan ini terdapat lima penghuni yaitu aku, dia dan tiga orang lainnya. Kami semua berkuliah di kampus yang sama walaupun tiga diantaranya berbeda jurusan. Hanya aku yang satu jurusan. Kami juga sudah dekat seperti layaknya seorang teman. Namun, sungguh dalam kamusku, teman itu hanyalah sebuah alibi untuk menutupi kegelapanku. Aku menghela napas panjang, kusentuh rambutku dengan perlahan dan menyisirnya ke belakang. Bak mata kucing yang bisa melihat dalam gelap, aku berjalan pelan menuju lemari baju. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan hari ini. Karena ini adalah hari yang indah, pilihanku jatuh pada setelan menawan khas pemakaman. Ini adalah hari yang indah untuk berburu. *** Ruangan kelas sudah ramai saat aku datang. Beberapa orang tampak sedang bercakap-cakap. Melihat dari ekspresi mereka, tentu yang dibicarakan adalah sesuatu yang menegangkan, mengerikan dan membuat penasaran. "Hei," sapaku padanya yang sudah duduk di kursinya dengan wajah yang ditekuk. "Kenapa?" tanyaku. Dia hanya menyingkap tasnya dan menunjukkan pergelangan tangannya yang sudah diperban. "Kamu terluka?" tanyaku heran. Dia mengerucutkan bibirnya. "Kamu sungguh akan bersikap bodoh begitu?" tanyanya setengah menyindir. Aku hanya mengangkat bahu lalu duduk di kursi yang berada di dekatnya. "Ini perbuatanmu," ucapnya dengan nada kesal. "Aku? Bagaimana bisa?" tanyaku bingung. "Hei, sadarlah! Kamu yang mencengkram tanganku tadi pagi dan lihat! Aku ke rumah sakit dan pergelangan tanganku nyaris retak," jawabnya. "Heh?" Dia berdecak pelan lalu menghela napas berat. "Ah, sudahlah! Aku memang berpikir ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin orang sepertimu sekuat itu, menggeser kursi saja kita melakukannya berdua," ucapnya memberikan sebuah penyangkalan sendiri atas pernyataannya barusan. Aku hanya tersenyum kecil. "Hei, apa yang mereka bicarakan?" tanyaku mengalihkan topik sembari menunjuk gerombolan mahasiswa yang sedang asyik mengobrol. "Kamu tidak tahu?" tanyanya heran. "Tentang apa?" jawabku balik tanya. "Pembunuhan berantai mahasiswa," jawabnya. Aku mengerutkan dahi. "Mahasiswa?" tanyaku sedikit merinding. "Iya, sudah 6 korban dan semuanya lelaki," jawabnya. "Anehnya, mereka semua ditemukan tanpa kepala," katanya menambahkan. "Hah? Apa masih musim pembunuhan untuk mengambil kepala manusia?" tanyaku heran. Dia hanya menghela napas berat. "Selama manusia membutuhkan organ, pembunuhan semacam itu tidak akan berhenti." keluhnya. "Mengapa?" tanyaku penasaran. "Karena manusia akan selalu mencari cara untuk bisa bertahan hidup," jawabnya dengan tatapan mata tajam yang menunjukkan sedikit rasa marah. "Jadi, apa kamu setuju dengan pembunuhan ini?" tanyaku lagi. Dia segera menggeleng cepat. "Tidak! Aku tidak setuju. Jika aku tahu siapa pelakunya, aku akan melaporkannya," jawabnya tegas. Aku terdiam sejenak, lantas tersenyum geli. "Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?" tanyanya heran. "Jika kamu bertemu dengannya dan berniat demikian, bukankah itu artinya dia akan membunuhmu duluan sebelum kamu melaporkannya?" tanyaku. Dia hanya menggeleng pelan. "Tidak ada yang tahu niatku, terkecuali dirimu. Jadi, aku akan baik-baik saja. Kecuali…." Dia diam dan menatapku lekat. "Kalau kamu adalah pembunuhnya." Kami saling memandang beberapa detik dan dia mulai terkekeh karena ucapannya sendiri. "Ah, sudahlah! Aku yakin kamu bukan pembunuhnya. Bagaimana bisa kamu jadi pembunuh? Sedangkan kamu bahkan membunuh nyamuk saja tidak mau?" katanya berargumen. "Ngomong-ngomong, soal pembunuhan berantai yang tadi kamu bicarakan. Apa hanya seperti itu?" tanyaku. Dia menggeleng. "Tidak, yang aku tahu adalah akhir-akhir ini, kabar hilangnya beberapa mahasiswi yang berasal dari kampus kita dan kampus lain sedang marak terjadi. Mereka menghilang, sama sekali. Tanpa jejak dan tanpa petunjuk apapun. Bukankah itu aneh?" "Mungkin kabur atau ikut aliran sesat?" tebakku. Dia mendecih kesal. "Hei, kalau memang begitu, aku tidak akan tertarik. Yang paling menarik perhatianku adalah para mahasiswi yang hilang itu memiliki hubungan dengan para mahasiswa tersebut. Meski aku tidak tahu hubungan yang seperti apa, yang mengagumkan adalah waktu menghilangnya mereka hanya berselang 1-2 jam," katanya menjelaskan panjang lebar. "Jadi, maksud ucapanmu itu…." Dia mengangguk cepat. "Pelakunya adalah orang yang sama." Aku terdiam. Tiba-tiba merasa tertarik dengan pemikirannya. "Bagaimana kamu menilai pembunuhan ini?" Dia hanya menaikkan satu tangannya ke depan d**a dan menghentak-hentakkan jari telunjunya ke dagunya. Bola matanya berputar ke atas seolah menunjukan dia tengah menggunakan otaknya untuk berpikir. "Hm, terlepas ini adalah kasus pembunuhan, irisan pelakunya dalam memenggal kepala para mahasiswa itu sangat sempurna. Pemotongan urat lehernya begitu kuat, akurat dan mengesankan. Sekali tebas, tewas!" jawabnya sembari menaik-turunkan kepalanya dengan senyum kekaguman yang mengembang indah. "Kerenlah," katanya menyimpulkan sebagai penilaian akhir. "Ah, karena para korbannya itu adalah seseorang yang kebanyakan dermawan dan rupawan. Kamu sebaiknya berhati-hati," pesannya padaku. "Iya, iya," sahutku malas. Dia mulai mengomel lagi, memberikan sebuah peringatan dan nasehat-nasehat menyebalkan yang entah sudah berapa kali dia utarakan padaku. "Mengerti?" katanya mengakhiri pidato panjangnya saat melihat dosen kami telah memasuki ruangan. Aku hanya mengangguk pelan. "Mengerti tidak?" tanyanya sekali lagi karena aku hanya mengangguk tanpa menjawab. "Iya," jawabku malas. "Bagus." "Tapi," kataku dengan nada mengantung membuatnya penasaran dengan kata-kataku selanjutnya. "Kamu kan juga cantik, sama sepertiku!" Dia tersenyum lebar. "Kamu pasti akan aku lindungi," katanya dengan penuh keyakinan. Dia mengeluarkan bulpen dan notebooknya, bersiap menerima mata kuliah hari ini meninggalkan aku yang selalu saja dia anggap lemah. Padahal, dia jauh lebih lemah dariku pada kenyataannya. "Hei," panggilku. "Apa?" tanyanya. "Terima kasih." Dia tersenyum manis. "Sama-sama." Dia kemudian mengarahkan pandangannya kembali ke depan, menyimak dosen kami yang sudah memulai mata kuliah di pagi yang cerah ini. Aku sedikit meliriknya dengan ekor mataku dan saat kuingat lagi apa yang dia katakan barusan, senyuman bahagia itu tidak mampu kusembunyikan. Untuk pujianmu, aku sangat berterima kasih, Betty.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN