Saling mengenal

1498 Kata
Kini tinggal Dona sendirian di dalam ruangan yang sudah menjadi rumah keduanya sejak beberapa tahun yang lalu. Rumah keduanya ini adalah sebuah perusahaan corporation yang bergerak dalam bidang pemberitaan berbentuk cetak yaitu majalah. Nama majalahnya adalah NUS, majalah ini hanya membahas masalah politik dan kritik pada pemerintahan. Membuat majalah Nus menjadi majalah terlaris karena selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia setiap dua minggu sekali. Dan ia adalah salah satu pentolan penting dalam jajaran majalah Nus, karena Dona merupakan penulis artikel utama dari rubik utama majalah Nus. Pengalamannya sebagai seorang wartawan membuatnya begitu tahu seluk beluk dari bidang pemberitaan. Maka dari itu, ia diberi hak spesial untuk berangkat lebih terlambat dibanding karyawan lain bahkan dibanding rekan setimnya, Ervin, Rara, dan Sonya. Ervin adalah temannya sejak ia masih menjadi wartawan, mereka bahkan sudah seperti kakak-adik yang tak terpisahkan. Mulanya Ervin di tempatkan di bidang rubik variety karena kemampuan fotografinya. Namun karena posisi spesial Dona, Ervin diminta untuk menjadi manager dari tim-nya. Begitu juga Rara dan Sonya, meskipun mereka berdua masih baru, tetapi bakat mereka cukup bisa diperhitungkan. Dona sudah bisa melihat bakat Rara dan Sonya sejak diadakantraine untuk pegawai baru. Tim-nya memang sudah seperti divisi utama dalam majalah Nus. Setiap artikel yang ditulis oleh penulis lain harus melewati filter dari Rara, lalu melalui Sonya, kemudian pada Ervin, dan terakhir Dona, sebagai final filter apakah artikel itu bisa diterbitkan ke dalam salah satu halaman majalah Nus yang selalu bisa menggemparkan Indonesia dengan berita-beritanya yang fenomenal dan akurat. Satu jam sudah Dona menunggu pria yang menolongnya untuk menghubunginya. Tetapi tidak juga ada tanda-tanda. Ia mendesah frustasi berkali-kali karena khawatir bila tuduhan Rara tentang pria yang menolongnya itu benar. Jika memangternyata pria itu hanyalah ingin memanfaatkan kesempatan untuk mencu— DRRTT DRRTT Dengan malas Dona meraih ponselnya yang berada di dalam tasnya. Ia menarik nggeser icon hijau tanpa minat di layar ponselnya. “Halo?” sapanya. “Ini dengan Dona?” Dona langsung terkesiap dalam duduknya. Ia melihat pada layar ponselnya dengan bingung. “Iya, Benar saya Dona Dyra Calandra. Dengan siapa saya berbicara?” ujar Dona memperkenalkan diri karena mendapati panggilan dari nomor tak dikenal. ”Saya yang menolongmu tadi pagi.” “Hah? Oh...,” Dona seketika teringat. Ah, pria ini. Gumamnya dalam hati merasa lega. Akhirnya pria ini menghubunginya juga. “Apakah mobil saya sudah jadi?” tanya Dona ragu. “Iya, sudah jadi.. tapi mobilmu sudah saya antar langsung di tempat tinggalmu. Maaf juga karena baru sempat untuk menghubungimu," ujar pria itu dari seberang sana. “Di tempat tinggal saya?” seketika Dona mengerutkan alisnya bingung. Diantarkan langsung ke apartemennya begitu? Lalu aku harus pulang dengan apa?Batinnya. “Iya, apa itu masalah untukmu?” “Itu.... mmm.. .tidak, hanya saja bagaimana caranya saya pu—“ “Saya akan menjemputmu," sela pria itu cepat. “Tidak... Saya tidak ingin merepotkanmu lagi," tolak Dona. “Kamu sama sekali tidak merepotkan saya, nona," jelas pria itu. “Kamu masih ada di kantormu, kan? Saya sedang ada di perjalanan untuk menjemputmu," tambah pria itu. “Baiklah, saya akan menunggu," ucap Dona akhirnya setelah menimbang-nimbang. Pria itu sepertinya bukan orang yang jahat, bahkan bukan sama sekali. Jika ingin berbuat jahat kenapa harus repot-repot seperti ini. Bahkan mobilnya saja sudah sampai di tempat tinggalnya. Dona pun memutuskan untuk menunggu di lantai satu saja. Ia meraih tas hitamnya dan beranjak keluar setelah menutup pintu ruangan kerjanya. Di perjalanan menuju lantai satu dimana hanya sepi yang nampak sebagai pemandangan, dan beberapa kali ia bertemu dengan keamanan gedung yang pasti sedang berpatroli seperti biasanya. “Eh, neng Dona... lembur, neng? Dijemput?” tanya seorang keamanan. “Iya, pak. Saya nunggu seseorang yang akan datang jemput nih," jawab Dona sopan. Setelah melewati lobi, dia berjalan menuju pintu gerbang gedung kantornya. Jalanan masih terlihat ramai tetapi tetap saja sepi, karena kompleks kantornya memang berada di antara gedung-gedung perkantoran dan ini sudah malam, tak banyak karyawan perkantoran yang tinggal untuk lembur. Ia duduk di kursi halte bus yang memang letaknya tepat di depan gedung kantornya. Sembari memainkan permainan di ponselnya, Dona tampak gelisah menunggu pria yang tadi menolongnya, dan kini ia akan ditolong lagi.Ah, entahlah... pria itu seperti tidak punya pekerjaan saja. Tetapi Dona merasa terbantu karena itu. TINN TINN “Ya ampun!” pekik Dona terkejut. Karena terlalu lama menunggu ia hampir saja tertidur tadi. Dia mengusap wajahnya, rasa kantuk masih benar-benar tertingggal di kelopak matanya yang menjadi berkantung. Matanya menyipit begitu melihat seseorang yang keluar dari mobil dan berlari menghampirinya. “Ah.. ternyata ini benar kamu," ucap orang itu begitu berhadapan dengan Dona yang masih setengah sadar. “Iya...,” sahut Dona sedikit linglung. “Maaf membuat kamu menunggu lama. Sekarang masuklah ke dalam mobil," ajak pria itu. Lalu pria itu mengarahkan Dona untuk masuk ke dalam mobilnya yang sebelumnya sudah dibukakan pintu mobilnya oleh pria itu. “Terima kasih, dan maaf jika sekali lagi saya membuat kamu repot," ucap Dona merasa bersalah pada pria yang terhitung sudah dua kali membantunya itu. “Kamu nggak papa? Saya tidak merasa kerepotan sama sekali," ujar pria itu dan tersenyum diakhir kalimatnya. Suasana kembali hening, pria itu hanya fokus pada jalanan yang mereka lewati. Dan Dona yang tidak tahu harus mengeluarkan topik pembicaraan seperti apa dengan pria ini. Padahal jika dalam debat atau diskusi, mulut Dona adalah yang paling cepat untuk mengeluarkan apa saja yang ia ketahui. Tetapi sekarang ia seperti benar-benar blank! “Mmmm... mengenai biaya—“ “Saya sudah mengurusnya," sela pria itu. “Hah?” tanya Dona bingung. Tadinya ia ingin bertanya tentang biaya servis mobilnya, tetapi pria ini menjawab demikian. “Saya... maksudnya, saya akan menggantikan semua biaya perbaikan mobil saya sendiri," lanjut Dona, menyambung maksudnya tadi. “Kamu tidak perlu menggantinya, itu hanya kerusakan kecil dalam mesin mobilmu," sanggah pria itu. “Tapi ini salah, kamu sudah banyak sekali membantu saya hari ini. Mana mungkin saya kembali merepotkanmu," ujar Dona tetap kekeh. Dona menoleh pada pria yang duduk di belakang kemudi itu, menanti jawaban, tetapi pria itu hanya tersenyum. “Kamu bisa masak?” tanya pria itu tiba-tiba, melenceng dari topik utama. “Apa?” tanya Dona bingung karena pria ini tidak malah tidak menjawab sesuai harapan Dona. “Kamu bisa masak?” ulang pria itu, menoleh sekilas pada Dona. Meskipun bingung, namun akhirnya Dona mengangguk. Dia memang sudah terbiasa bergelut dengan alat masak.  “Iya, lumayan bisa," jawab Dona. “Kalau begitu, sebagai ganti biaya perbaikan mobilmu... bolehkan kamu memasakan sesutau untuk saya?” tanya pria itu yang semakin membuat Dona bingung sekaligus heran. “Saya belum makan ap apun hari ini selain wafel dan kopi," sambung pria itu dengan tersenyum kaku. Dona kemudian menggaruk kepalanya bingung. “Ahh..begitu. Saya bisa saja membuatkan sesuatu, tapi itu kalau kamu mau mampir sebentar ke apartemen saya," ujar Dona memberi penawaran. “Aku mengharapkan itu sedari tadi," ucap pria itu dengan lirih namun masih samar terdengar oleh Dona. “Kamu mengatakan sesuatu?” Pria itu menggelengkan kepalanya. “Tidak," ujarnya. “Soal tawaranmu, jika saya diijinkan masuk ke dalam apartemenmu. Saya mau saja.” “Sebagai biaya ganti mobilnya, tentu saja boleh," ujar Dona. “Ngomong-ngomong kita bahkan belum berkenalan.” Dona teringat tentang suatu hal penting yang seharusnya ia ketahui sejak tadi. “Saya menunggu itu dari tadi, tapi sepertinya kamu bahkan tidak tertarik mengetahui nama saya.” “Eh.. bukan maksud saya begitu...,” sanggah Dona panik. Ia sendiri selalu bingung kenapa ia selalu lupa menanyakan nama seseorang yang pernah dia temui. “Itu.... Hanya saja saya tidak cepat nyaman dengan seorang yang asing, jadi terkadang hal-hal seperti itu luput dari saya," jelas Dona ragu sekaligus merasa bersalah. “Kalau bergitu mari berkenalan. Saya Abirama Juan, panggil saja Juan," ujar pria itu memberi tahukan namanya. “Seperti yang sudah kamu tahu, namaku Dona Dyra Calandra, panggil saja saya Dona.” Setelah perkenalan itu mereka mengobrol ringan dan membuat suasana di dalam mobil menjadi lebih rileks dari pada sebelumnya. Akhirnya Dona juga tahu ternyata Juan lebih tua dua tahun darinya. Juan juga ternyata seorang presiden direktur dari sebuah perusahaan pemroduksi pangan yang sudah memiliki cabang di beberapa negara Asia Tenggara dan Timur. Pantas pria itu terlihat sangat berkelas dan profesional. Sesampainya di apartemen Dona. Juan terkagum melihat tata dekorasi ruangan dari apartemen seorang wanita karir seperti Dona. “Maaf kalau keadaan di apartemen saya kurang membuatmu nyaman," ujar Dona memecah kekaguman Juan. “Tidak sama sekali. Saya bahkan terheran-heran. Saya pikir kamu adalah wanita karir yang sibuk, tetapi kamu memiliki selera dekorasi ruangan yang tinggi. Saya sangat suka dengan apartemenmu," sanggah Juan. “Benarkah? Saya hanya menginginkan suasana yang nyaman dan kesan tenang dari apartemen saya setiap saya pulang setelah lelah bekerja. Banyak yang berkata memang ini seperti selera laki-laki. Tetapi saya menyukainya," jelas Dona. Dan Juan mengangguk, menyetujui penjelasan Dona. “Duduklah dulu, saya akan menyiapkan makan malam untuk kamu.” Dona meninggalkan Juan di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang tengah dimana tv dan sebuah rak buku berdiri. Juan pun tertarik untuk melihat koleksi buku milik Dona yang ternyata begitu berkualitas. Disana terdapat banyak buku mahal dari penulis-penulis asli yang bahkan pasti saat ini sulit untuk didapatkan. Dona sepertinya bukanlah seorang wanita karir biasa. Kagum Juan dalam hati. Ketika sedang membaca salah satu buku biografi dari seorang wartawan senior televisi Amerika, sayup-sayup Juan bisa mencium bau harum masakan. Menutup buku yang sedang dipegangnya, Juan pun beranjak menuju dimana dapur berada. “Harum sekali," celetuk Juan seraya berjalan menghampiri Dona yang berbalut apron berdiri di dekat meja makan. Bibir Dona tersenyum menerima pujian Juan. “Saya memasak sup, apa kamu tidak masalah dengan ini?” tanya Dona. Juan menggeleng cepat. Ia bahkan suka dengan semua jenis makanan. “Saya tidak pernah pilih-pilih makanan kok," jawab Juan. Dona menghela nafas lega. “Kalau begitu duduklah, saya akan mengambil salad di dalam kulkas.” Juan menarik kursi makan yang berwarna coklat, menatap penuh minat pada makanan yang tersaji di depannya. Beberapa saat kemudian Dona datang dengan semangkuk salad sayur di tangannya. “Wah...,” gumam Juan senang. “Mari makan!” ucap mereka berdua. . /// Instagram: Gorjesso Purwokerto, 3 Juli 2020 Tertanda, . Orang yang sedang minum sirup rasa jeruk .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN