Hari pertama sebagai seorang baby sitter dijalani Ahtissa dengan cukup baik. Pertama kali yang dilakukan oleh gadis itu adalah mendekatkan diri pada Auriga sebagai anak kecil yang diasuh selama sang ayah, Adrian bekerja atau tidak sedang berada di rumah. Berusaha akrab dengan Auriga yang sudah dianggap oleh Ahtissa sebagai adik kecilnya sendiri. Mengapa bukan dianggap sebagai anak sendiri?
Ahtissa masih terlalu muda untuk memiliki seorang anak. Usianya yang masih 18 tahun seharusnya sibuk dengan tugas-tugas perkuliahan. Namun nasib untuk menjadi seorang mahasiswa tak berpihak pada gadis yang sejak berusia 5 tahun kehidupannya berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat menjadi gadis miskin itu. Untuk bertahan hidup sebatang kara, harus bekerja sebagai baby sitter Auriga.
“Riga, hari ini mau dibikinkan apa? Kue kesukaan Riga apa?” tanya Ahtissa yang mencoba memahami keinginan Auriga.
Auriga memutar otak sambil berdeham. “Hmm ... mau brownies, Mbak. Sama ice cream cokelat.”
“Oke-oke, nanti mbak siapkan ya,” sahut Ahtissa sambil mengurai senyum manis. Tampak ia menyayangi Auriga.
Auriga manggut-manggut lalu Rahma selaku asisten rumah tangga Adrian ikut bersuara.
“Kalau brownies sama ice cream sudah ada persediaan buat Den Riga. Tuan Adrian selalu menyetok,” ucap Rahma.
“Oh begitu, kapan-kapan aku bikinkan sendiri deh, Mbak. Aku bisa kok bikin brownies dan ice cream. Pernah bikin sendiri buat Mama.”
Rahma takjub. “Wah, Mbak Tissa ini selain cantik tapi pandai ya, bikin kue. Pasti Den Riga makin suka nih dijaga sama Mbak Tissa.”
Ahtissa tersenyum simpul. “Bisa aja, Mbak Rahma. Aku bisanya bikin sendiri, Mbak. Kalau beli jatuhnya lebih mahal.”
“Iya sih, Mbak. Mbak Tissa benar. Apalagi ice cream yang disukai oleh Den Riga itu ice cream mahal yang belinya di mall. Brownies-nya juga yang premium. Tuan Adrian selalu ngasih yang terbaik buat anak kesayangannya,” cerocos Rahma.
Ahtissa jadi penasaran untuk menanyakan tentang ibu kandung Auriga. “Mbak, boleh aku boleh bertanya?”
“Tentu saja. Mau tanya apa?” Rahma berbalik tanya sambil menatap ke arah Ahtissa.
“Maaf aku lancang, mau tanya, ibu kandungnya Auriga itu ada dimana? Kenapa sama sekali nggak ada fotonya di sini? Terus kenapa Mas Adrian itu nggak pernah bahas sosok wanita itu?” tanya Ahtissa penasaran.
Rahma berdeham. “Yang kutahu itu Tuan Adrian nggak pernah menikah sebelumnya. Saat Den Riga baru saja lahir itu langsung dibawa ke rumah ini. Aku juga nggak paham, siapa ibu kandung Den Riga. Yang jelas wanita itu saat melahirkan langsung menyerahkan anak mereka berdua pada Tuan Adrian untuk diasuh. Wanita itu sudah tega meninggalkan Den Riga hanya diasuh oleh Tuan Adrian saja.”
Ahtissa membuka mulut lebar-lebar. “Apa??? Jadi Auriga itu anak yang lahir dari hubungan di luar nikah?” tanya sang baby sitter sambil berbisik ke telinga asisten rumah tangga yang bernama Rahma agar tak didengar oleh anak kecil itu.
Rahma mengangguk. “Iya, kayaknya ibu kandungnya nggak mau mengakui anak kandungnya sendiri. Entah wanita itu siapa, tapi yang jelas Tuan Adrian terlihat sedih saat Auriga baru saja dilahirkan. Sedih karena beliau harus jadi orang tua tunggal.”
Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Rahma, Ahtissa mendesah pelan. “Sungguh kasihan. Nasib Auriga tak seberuntung anak-anak lainnya. Begitu pula dengan Mas Adrian yang harus memikul beban sendiri. Kenapa Mas Adrian nggak menikah saja, Mbak? Biar Auriga punya Mama meski jadi ibu sambung.”
“Tuan Adrian belum menemukan wanita yang cocok untuk dijadikan ibu bagi Den Riga,” jawab Rahma lugas.
“Tapi kan Mas Adrian seorang CEO tampan yang pasti banyak wanita yang suka. Apalagi perusahaannya di bidang kosmetik kan. Pasti dikelilingi wanita-wanita cantik sebagai model. Apa belum ada yang cocok?” tanya Ahtissa heran. Dalam hati ia jadi merasa Adrian adalah sosok yang tidak mudah jatuh hati. Hanya bisa mengagumi pria tampan itu dalam hati.
“Kalau itu aku kurang tahu ya, Mbak. Mungkin belum ada yang cocok kali. Sempat sih ada yang ngejar-ngejar Tuan Adrian tapi nggak ditanggapi. Wanita itu terlalu agresif dan bukan tipikal wanita yang disukai Tuan Adrian,” cerocos Rahma.
“Oh begitu ya?” tanya Ahtissa.
Rahma manggut-manggut. “By the way, aku masuk ke dapur dulu ya. Mau masak buat makan siang. Kau temani Den Riga dulu ya, Mbak. Temani dia main sampai jam makan siang tiba. Dia harus makan siang on time,” pesan Rahma yang diangguki oleh Ahtissa.
“Iya, Mbak. Oke. Dia masih disuapi kan makannya?”
“Kalau makan pagi, siang, dan malam masih disuapi agar lahap makannya. Tapi kalau makan camilan dia makan sendiri. Makan buah juga makan sendiri,” jawab Rahma.
Ahtissa pun mengurai senyum. Setiap hari mencoba untuk belajar menjadi baby sitter yang baik karena ini merupakan kali permata gadis itu bekerja sebagai baby sitter.
Saat Ahtissa menemani Auriga bermain di sekitar taman rumah, tiba-tiba anak berusia 2 tahun itu tertarik untuk hendak bermain keluar bersama anak-anak kecil yang ada di taman perumahan yang kebetulan terletak di seberang rumah Adrian.
“M-mbak, Riga mau main di taman. Di taman depan ramai sama anak-anak. T-temani Riga ya,” pinta Auriga terbata-bata.
“Iya, Sayang. Aku temani Riga mainan di taman ya. Kamu mau dibawakan bola untuk main bola sama mereka?” tanya Ahtissa.
Auriga manggut-manggut. Ia pun berlari ke taman untuk hendak bergabung dengan beberapa anak kecil yang tengah bermain bola. Disusul oleh Ahtissa di belakang Auriga sambil membawakan bola milik putra semata wayang Adrian tersebut.
Auriga mendekati beberapa anak kecil yang usianya sepantaran dan lebih tua darinya sambil angkat suara. “A-aku mau ikutan main dengan kalian.”
“Oh iya, ayo,” sahut anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun yang hendak menendang bola untuk di arahkan ke anak lain.
“Pakai bolaku saja. Aku bawa bola,” celoteh Auriga yang melirik bola yang dibawakan oleh Ahtissa. “M-mbak, sini bolanya.”
“Iya, Riga,” balas Ahtissa sambil menyodorkan bola milik Auriga yang langsung diterima oleh anak kecil itu.
Beberapa anak kecil yang ada di sana melayangkan pandangan pada sosok Ahtissa yang asing bagi mereka. Anak kecil berusia 7 tahun yang bernama Ramon itu angkat bicara.
“Riga, kamu punya baby sitter baru? Yang sebelumnya kemana?” tanya Ramon.
“Pergi. Dia pergi. Nggak kembali,” jawab Auriga yang mendadak jadi sedih saat mengingat kepergian baby sitter yang sebelumnya sudah ia sayangi itu.
Anak laki-laki berusia 6 tahun yang ada di sana dan bernama Dannis ikut menimpali. Ia berkata sambil berdecak.
“Ckckck ... nasibmu dari dulu menyedihkan ya, Ga. Sudah nggak punya Mama. Ditinggal baby sitter dan sekarang kudu adaptasi sama suster barumu. Hati-hati ditinggal lagi kamu,” cicit Dannis yang seketika membuat Auriga mengernyit lalu menangis.
Apalagi ditambah dengan ucapan menyakitkan dari Ramon. “Bilang sama Papamu, Ga. Suruh Mamamu kembali. Enak punya Mama kayak kita. Selalu ada di dekat kita. Nggak perlu dijaga sama suster. Enak sama Mama ya, kan?
Kali ini Auriga menangis sesenggukan. Bukan pertama kalinya ia diejek seperti ini. Karena Auriga tak pernah punya ibu membuat anak kecil itu sedih jika mengingat tentang hal itu. Ahtissa yang tahu ejekan dari kedua anak kecil yang sudah bersekolah di TK dan SD itu pun tak terima. Ia jadi menasehati dua anak itu.
“Kalian berdua nggak boleh bilang begitu! Jangan ejek Auriga lagi! Nanti aku bilang ke orang tua kalian kalau mengejek Riga lagi. Riga itu punya Mama. Kalian jangan ngomong sembarangan!” seru Ahtissa yang mulai emosi ketika tahu putra semata wayang Adrian itu sukses menangis sebelum sempat bermain bola.
Ramon dan Dannis hanya bisa meringis serta menelan ludah. Lantas ia berbalik untuk pergi meninggalkan Ahtissa beserta Auriga yang terisak.
“Sudah, Riga. Kamu jangan menangis ya, Sayang. Jangan hiraukan mereka. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan jaga kamu kok. Kamu nggak usah hiraukan ucapan mereka. Oke?” ujar Ahtissa yang berusaha menenangkan Auriga lalu menghapus bulir-bulir air mata yang jatuh ke pipi tembem anak laki-laki itu. “Jangan menangis lagi ya, Sayang. Ada aku di sini.”
Auriga manggut-manggut dalam keadaan sesenggukan. Trauma ditinggal sosok wanita yang pernah menjadi baby sitter Auriga itu hadir. Ia akan sangat sedih jika harus kehilangan wanita yang mengasuhnya sehari-hari.
Lantas Ahtissa memeluk Auriga dengan sayang. Ia merasa kasihan dengan anak kecil yang tak tahu siapa ibu kandungnya itu. Anak laki-laki yang tak pernah tahu dan dipeluk oleh ibu kandungnya sendiri.
“Cup ... cup ... sudah nggak usah nangis lagi. Kita pulang yuk, udah siang nih. Cuaca sudah semakin panas. Waktunya kamu makan siang terus bobok siang. Oke?” ajak Ahtissa yang masih mendekap erat anak Adrian tersebut.
“Iya, Mbak. Riga sudah lapar,” sahut Auriga seraya memegangi perut.
“Ya sudah, ayo,” ajak Ahtissa yang kemudian meraih tangan Auriga untuk digandeng.
Ahtissa dan Auriga pun kembali ke rumah milik anak laki-laki itu. Kini ia sudah mulai tenang akibat kebaikan sang new baby sitter yang mampu menjalankan perannya dengan sangat baik untuk Auriga yang tak memiliki sosok seorang ibu.
Sementara itu di ruangan kerja Adrian, pria itu tampak sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya hari ini. Pria yang berprofesi sebagai CEO dari PT Kosmetika Luhur Indonesia itu tampak kebingungan dengan jadwal promosi produk-produk kosmetik milik perusahaannya yang membutuhkan sosok model untuk iklan yang mendadak.
Ini kenapa jadwalnya mendadak sekali? Siapa yang bisa dijadikan model iklan kosmetik secara kilat seperti ini? Apa aku harus menghubungi model-modelku yang sebelumnya? Tapi ini kan mendesak. Aku harus berpikir cepat.
Adrian bergumam dalam hati. Sebenarnya banyak wanita-wanita yang tertarik untuk jadi model iklan produk kosmetik milik Adrian. Karena selain produk itu diminati oleh masyarakat, sosok Adrian merupakan sosok hot papa yang mampu membuat wanita jadi ‘klepek-klepek' atau tergila-gila oleh pesona Adrian Hadiningrat. S
Adrian merupakan sosok CEO yang tampan dan jadi idaman para wanita yang rela menjadi teman kencannya. Namun karena Adrian adalah seorang pria baik-baik yang tak mudah jatuh cinta, wanita-wanita itu susah untuk menjangkau cinta Adrian. Kini pria itu membutuhkan seorang model untuk produk kosmetiknya. Apakah yang hendak jadi model adalah satu dari wanita itu atau bukan?
Saat jam makan siang tiba, Adrian diketuk pintu ruangannya oleh sekretarisnya sambil berkata, “Pak, ada yang mencari Bapak. Hendak bertemu Bapak Adrian.”
Adrian menoleh ke arah sang sekretaris sambil berucap, “Siapa yang mencariku?”
Sekretaris Adrian yang bernama Diana itu menjawab. “Ibu Puspa Ajeng yang datang.”
Adrian terbelalak. “Oh iya, suruh beliau menunggu sebentar. Aku selesaikan tanda tangan berkas-berkas ini dulu.”
Sekretaris Diana mengangguk. Wanita menawan yang memiliki tinggi semampai itu lekas beranjak dari sana untuk menyampaikan pesan Adrian tadi. Hendak bertemu Puspa Ajeng. Siapakah wanita itu?