Gadis itu duduk tepat di depan sebuah kanvas yang sudah tertutupi sebagian oleh warna-warna yang cerah. Bibirnya tersenyum tipis saat mengoleskan kuas hijau yang sedang dia genggam di tangan kanannya.
Angin berhembus perlahan dari jendela yang dibiarkan terbuka. Menampilkan gambaran sang malam yang berhiaskan bulan dan bintang-bintang kecil yang bersinar terang menyinari gelapnya sang malam.
Beberapa buah lukisan dengan puluhan gradasi warna yang indah berseliweran di dalam ruangan tersebut. Bahkan tak sedikit lukisan yang tergantung di dinding yang berwarna abu-abu kusam itu.
Suara rintik hujan perlahan mulai menghiasi keheningan yang tercipta di sekitar gadis itu. Sekilas gadis itu menatap hujan di luar sana sambil tersenyum kecil. Suara petir mulai terdengar menggelegar di atas sana. Kilatan sang halilintar memberikan warna tersendiri di tengah-tengah warna hitam di langit malam ini.
Gadis itu tetap tidak berkutik dari duduknya. Dia biarkan angin sepoi-sepoi menampar-nampar pipinya yang tirus. Menimbulkan hawa dingin yang mulai menyergapi raganya. Meskipun berkali-kali suara petir itu menggelegar menakutkan, gadis itu tetap asyik bergelut dengan aktivitasnya, tanpa sedikit pun terganggu dengan kebisingan yang terjadi.
"Rupanya kamu ada di sini, Sayang." Sebuah suara terdengar di dekat pintu ruangan tersebut. Gadis itu pun menoleh dan tersenyum pada wanita yang sebentar lagi menginjak kepala 4 itu.
Wanita itu pun berjalan mendekati gadis itu dan menyampirkan selimut coklat yang dia bawa pada tubuh ramping gadis itu. Gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih saat wanita itu menutup jendela yang berada dekatnya.
"Sekarang kamu tidur, ya, Sayang, udah malam. Besok kamu harus bangun pagi buat pergi sekolah."
"Iya, Ma," jawab gadis itu lembut.
Wanita itu hendak mendorong kursi roda yang di duduki gadis tersebut, tapi gadis itu menahan tanggan wanita itu. Gadis itu menatap wanita tersebut dengan tatapan memohon. Wanita itu mengangguk kecil, dan kemudian mulai membereskan perlengkapan melukis tersebut dan menyimpannya dengan rapi di tempat semula.
"Maafin aku, Ma, udah ngerepotin Mama."
"Kamu tidak merepotkan Mama, Nak. Karena sudah kewajiban Mama untuk mengurusi kamu. Saat ini cuma kamu yang Mama miliki di dunia ini, kamu harta Mama paling berharga..." wanita itu meneteskan air matanya perlahan.
"Mama nangis?" sahut gadis itu saat air mata Mamanya jatuh di punggung tangannya.
"Udah, kamu jangan mikirin Mama, sekarang tidur, ya, Sayang? Ngelukisnya lanjutin besok aja..."
"Iya, Ma." Kata gadis itu patuh.
***
Gadis itu mendorong kursi rodanya dengan pelan. Matanya menatap lurus koridor yang dilaluinya. Di pangkuannya terdapat beberapa buku paket yang akan di pelajarinya hari ini. Saat hendak menggapai daun pintu kelasnya, tiba-tiba Selly muncul di hadapannya dengan wajah yang memunculkan seringaian lebar.
"Eh, si kaki roda udah dateng nih!" Seru Selly pada teman-temannya. Tak lama, Selly beserta teman-teman geng-nya pun tertawa keras.
"Iya nih, ternyata dia cepet juga ya datengnya...!" timpal Anti, anggota Gank Selly yang memiliki postur tubuh yang krempeng.
"Ternyata kaki rodanya cepet juga ya. Haha..." Ejek Dea sambil berkacak pinggang.
"Kalian kenapa sih selalu gangguin aku?" tanya gadis itu sambil berusaha untuk menahan tangisnya agar tidak jatuh.
"Eh, Alya, denger ya! Dengan keadaan elo yang lumpuh gitu elo gak pantes sekolah di sini. Elo itu pantesnya sekolah di sekolah yang sama dengan orang-orang cacat lainnya! Kayak elo." Ejek Selly sambil menekan dahi Alya dengan telunjuknya.
"Emangnya kakiku yang lumpuh ini bisa di jadiin alasan kenapa aku gak boleh sekolah di sini? Kamu salah besar Sel. Walaupun kaki aku gak bisa bergerak kayak kalian, tapi aku sama sekali gak cacat!" Alya menekankan kata cacat di dalam kalimatnya.
"Alya, elo ngaca dong. Di sekolah ini cuma elo doang yang cacat! Mestinya elo sadar diri dong. Bisa turun kualitas sekolah ini kalo punya murid cacat kayak elo. Bisa-bisa nih sekolah langsung berubah jadi panti anak-anak cacat pula. Haha ..." Tawa Selly yang langsung diikuti kedua temannya.
"Kamu kenapa jahat banget sih sama aku Sel? Salah aku apa sama kamu?"
Selly memajukan badannya dan menatap Alya lekat-lekat. "Elo nanya apa salah lo sama gue? Haha ... banyak Alya! Salah elo sama gue itu banyak Alya!!"
"Kalau maksud kamu itu karena aku menang di lomba melukis. Aku bener-bener gak tau Sel kenapa aku bisa menang. Sumpah Sel, aku juga kaget saat juri bilang kalo aku menang."
"Alah, pede banget sih elo! Udah deh gak usah banyak bacot, males gue dengerin elo ngebacot kayak gitu! Yuk De, Ti, kita mending pergi aja. Ntar bisa-bisa mata gue sakit kalo ngeliatin si cacat ini." Selly melangkah dengan angkuhnya saat melewati Alya. Anti dan Dea mengekor di belakang Selly.
***
Alya menatap nanar lukisan yang tergantung di dinding kamarnya dari balik matanya yang berkabut. Dia tidak dapat lagi menahan air matanya untuk jatuh. Di sekolah dia masih bisa menahanny. Tapi saat di rumah, dia menumpahkan seluruh air mata yang selalu dia tahan saat berada di sekolah. Alya menundukkan kepalanya dan menumpahkan tangisnya di dalam genggaman tangannya.
Dulu dia sangat menyukai lukisan itu, bahkan bangga telah melukisnya. Lukisan itu adalah lukisan pertamanya yang mendapat penghargaan karena berhasil memenangkan lomba melukis di sekolahnya. Alya sempat tidak yakin kalau lukisannya akan menang, karena lukisan-lukisan dari para peserta yang lain lebih bagus dari lukisannya.
Dalam lomba itu Alya bersaing ketat dengan Selly. Tapi, ternyata lukisan Alya-lah yang berhasil menjadi juara pertama. Karena itulah Selly membenci Alya. Karena baru kali ini Selly kalah dalam lomba melukis.
Lukisan karya Alya terlihat sangat nyata. Gunung yang menjulang tinggi, sawah yang terhampar luas dan hijau, semuanya terlihat begitu menakjubkan. Benar-benar terlihat seperti hidup dan begitu asli.
Alya sangat senang saat dirinya di nyatakan sebagai pemenang. Tak pernah terlintas di pikirannya akan keluar sebagai pemenang. Karena banyak lukisan yang menurutnya lebih bagus dari lukisan miliknya.
Saat Alya menerima trofi atas karyanya, Alya tidak pernah tau ada sepasang mata yang menatapnya dengan sinis. Sepasang mata itu adalah sepasang mata milik Selly. Sellylna Hanisfa Praya. Anak dari salah satu donatur yang menyumbangkan dengan biaya yang lumayan besar untuk pembangunan di SMA Majasriya.
Selly merasa dirinya adalah penguasa di SMA Majasriya karena keluarganya banyak menyumbang untuk sekolah tersebut.
Selly tidak bisa menerima kalau Alya memenangkan perlombaan tersebut. Sebenarnya dia bisa menerima kekalahannya, karena dia tau di setiap pertandingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Tapi Selly tidak bisa menerima kalau dia di kalahkan oleh seseorang yang cacat seperti Alya. Orang yang hanya bisa duduk di kursi roda. Seseorang yang lumpuh yang menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakinya.
Kekalahan yang dia terima sungguh tidak berkelas baginya.
Alya masih ingat saat itu Selly menabraknya dengan sengaja sehingga di hampir terjatuh dari kursi rodanya. Bukannya minta maaf, Selly malah memandang Alya dengan pandangan mengejek dan merendahkan. Tatapannya sangat menyiksa batin Alya saat itu.
"Cewek cacat kayak elo gak pantes menang di lomba bergengsi kayak gini." Desis Selly saat melintas di samping Alya.
Sejak saat itulah Alya harus menerima berbagai gangguan dan intimidasi dari Selly dan teman-temannya. Saat jam pelajaran di kelas, Alya selalu kehilangan peralatan tulisnya. Entah itu pena, pensil, mistar, ataupun penghapus. Bahkan Selly juga pernah menggantung seragam olahraga Alya di pohon yang lumayan tinggi.
Bagi orang yang dapat menggerakkan kakinya, itu sangatlah tidak sulit. Tapi bagi Alya yang lumpuh, itu sangatlah sulit. Dia tidak mungkin dapat dengan mudah mengambil seragamnya dengan keadaannya yang seperti itu.
Kalau Alya mau, sebenarnya dia diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga. Guru olahraganya sangat memaklumi kondisi Alya yang sedikit berbeda itu. Tapi bukan Alya namanya kalau memanfaatkan kondisinya dan menjadi manja pada orang-orang di sekitarnya. Dia ingin menggerakkan sedikit badannya dengan berolahraga selagi dia mampu melakukannya.
Melihat hal itu, Selly dan kedua temannya semakin bersemangat memberi pelajaran pada Alya. Selly bahkan pernah dengan sengaja melempari Alya dengan bola voli yang dia pegang saat Alya kebetulan melintasi lapangan voli. Akibatnya, kursi roda Alya pun oleng, dan Alya terjatuh di atas kerasnya lapangan voli tersebut.
"Ups! Sori, gue gak sengaja..." Sahut Selly saat itu dengan wajah tak bersalah.
Alya selalu bersabar menerima gangguan dan intimidasi dari Selly. Walaupun Selly sering berbuat jahat padanya, Alya tidak pernah sekali pun membenci Selly, bahkan dendam sedikit pun tidak.
Banyaknya aksi kejahatan yang diterima Alya, tapi Alya tidak pernah sekali pun melaporkan Selly dan kedua temannya pada salah satu dewan guru di sekolahnya. Bukan karena takut, tapi Alya tidak mau kalau Mamanya harus dipanggil ke sekolah karena masalah yang menimpanya.
Di dunia ini Alya cuma memiliki Mamanya. Papanya sudah meninggal tepat pada saat Alya harus menerima kenyataan kalau dia lumpuh. Alya sebisa mungkin harus tegar menghadapi cobaan yang datang pada saat yang bersamaan itu.
Sejak Papanya meninggal, Mama Alya-lah yang harus membanting tulang untuk menghidupinya dan menyekolahkannya. Beasiswa yang ia terima saat ini sangat membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan.
Mama Alya melihat ada bakat terpendam di dunia lukis dalam diri Alya saat Alya menginjak bangku SMP. Sang Mama pun kemudian mengusulkan untuk membelikan Alya alat-alat melukis. Tentu saja Alya menolak. Dia sangat tahu begitu banyaknya uang yang harus di keluarkan untuk membeli peralatan melukis tersebut. Tapi akhirnya Alya setuju, karena dia tidak ingin melihat wanita yang begitu disayangnya itu kecewa.
Uang yang di terima Alya saat memenangkan lomba lukis di sekolahnya tempo hari, dia berikan untuk sang Mama. Tapi, Mamanya tidak sepeser pun menggunakan uang hasil jerih payah Alya tersebut. Dia lebih memilih untuk menyimpan uang tersebut untuk keperluan Alya di masa mendatang.
Lagi-lagi Alya menumpahkan air matanya setiap kali mengingat semua kejadian yang pernah dialami olehnya. Mulai dari kakinya yang lumpuh, Papanya kembali ke Sang Pencipta, serta berbagai gangguan Selly di sekolah.
Alya tidak pernah sekali pun menyalahi takdirnya. Dia selalu menerima semua yang terjadi pada dirinya dengan lapang d**a. Dia hanya sedih karena harus menjalani kehidupan yang selalu di rundung kesedihan yang tidak pernah berhenti muncul di hari-harinya.
***
Bersambung ....