Lima

1643 Kata
Hidung Rama mengkerut begitu Anjani mengempaskan bokongnya di kursi. "Jani merokok?" "Iya, Pa. Maaf, aku stres. Hanya memanjakan diri sesekali." Rama mengangguk dan menyimpan rasa penasaran dalam hati. Sepulang berkencan raut wajah Anjani malah keruh alih-alih berseri. Kedua anaknya sama saja, mengisap rokok kala stres melanda. Tidak sering memang, tetapi cukup mengganggu. Ia tidak bisa protes. Sebab ketika anak-anaknya protes mengenai pilihan menu di piringnya, Rama hanya menebalkan telinga. Di sepanjang perjalanan Anjani diam membisu. Rama tiba hanya dalam hitungan detik setelah putrinya itu menelepon. Setelah mengantar Anjani, ia menunggu di tempat parkir seraya menonton serial Charlie Chaplin di layar iPad–nya. "Kamu gak apa-apa, Nak?" celetuk Rama tak tahan. Pahit menjalar di kerongkongan. Anjani mendesah lirih, "Papa benar, dia gak memenuhi standar." Pandangannya terlempar ke luar jendela. Gerimis kecil mulai turun. "Kami putus, Pa. He doesn't deserve me." Dalam hitungan detik, cerita patah hati itu mengalir tersendat-sendat dari mulut Anjani. "Oh, dear!" Rama menghentikan mobil di pinggir jalan. "Kamu pasti sedih sekarang," ucapnya prihatin. "Aku gak sedih, Pa, tapi sakit hati. Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada lelaki payah kayak Arya. Aku bodoh!" umpat Anjani menyumpahi diri sendiri. Ia tidak pernah melabeli dirinya cerdas, malah sering terseret dalam keputusan-keputusan bodoh. Arya adalah keputusan terbodoh dalam hidupnya. Anjani menyesal mengabaikan firasat ibunya, juga menyesal bertengkar dengan Tita. Ia berasal dari keluarga harmonis. Jelas, Anjani tidak kelaparan akan sosok seorang ayah. Ia juga amat disayang oleh kakak lelakinya. Tidak ada beban keluarga toksik di pundaknya. Hanya statusnya sebagai salah seorang Gunardi yang mau tidak mau membuatnya memilih menjadi tenaga kesehatan. Lalu, bagaimana bisa ia tersesat pada lelaki yang salah? "Gak perlu menyumpahi diri. Kamu gak sendiri. Setiap manusia pasti pernah melewati fase bodoh mereka masing-masing. Tapi bersyukurlah, kebodohan itu menjadikan kita belajar banyak hal." "Aku gak terima Arya menghina Papa. Kok ada ya, laki-laki mulutnya durjana begitu?" ucap Anjani sebal. "Masih untung mulutnya gak kutampol!" "Terima kasih sudah membela Papa." Rama tersenyum. "Ada ruginya kamu gak pernah berpacaran, jadi kamu sulit mengenali karakter orang." "Dulu Papa juga, kan?" Rama menyeringai sambil berbisik, "Pacar Papa cuma Mami seorang. Untung jodoh." "Tuh, kan? Papa sih ngasih nasihat jago banget," Anjani mencebik. "Tadinya aku kepingin kisah cintaku kayak Papa dan Mami. Sekalinya jatuh cinta langsung awet sampai puluhan tahun." "Tidak semua orang beruntung seperti Papa dan Mami. Atau seperti kisah pakde dan budemu. Ada kalanya kamu harus mengenal banyak laki-laki terlebih dulu sebelum menetapkan pilihan. Itu sama sekali gak salah. Contohnya sepupumu. Thalia memiliki belasan mantan pacar sebelum melabuhkan pilihan pada Costa. Om Robert juga begitu." "Aku apes aja ya, Pa?" "Ada orang yang sabar mengenakan topengnya untuk sekian lama, dan ada pula yang topengnya tersingkap karena waktu. Kamu beruntung. Topeng Arya terbuka sebelum kalian melangkah lebih jauh. Batal menikah jauh lebih baik daripada mengurus perceraian." Anjani mengembuskan napas panjang. Sesak di dadanya sudah lumayan berkurang. Namun ia masih kesal sudah membuang waktu cukup panjang hanya demi seorang pecundang. "Makan di angkringan yuk, Pa." Anjani mengusap perutnya. Fine dining bersama Arya hanya mengisi sedikit celah di lambungnya. "Boleh." "Papa yang traktir." "Eh, kok Papa?" protes Rama. "Yang ngajakin siapa, sih?" "Mumpung aku belum menikah, Pa, jadi masih bisa morotin Papa." Rama tertawa sambil mengusap kepala Anjani. "Sampai kapan pun Papa ikhlas diporotin sama kamu. Sebentar, Papa kabari Mami dulu." Ia mengusap ponselnya dan mengirim pesan pada istrinya. "Mi, Jani dan Arya putus." *** "Buset, Tante, banyak amat?" Jonathan terbelalak memandangi deretan kotak berisi makanan di atas meja. Ada gudeg, rawon, sate, serta aneka camilan. Bukan hanya cacing perutnya yang mengeluh kekenyangan, Tante Irene masih membekalinya dengan aneka makanan siap santap. "Kamu taruh saja di kulkas, hangatkan dulu sebelum dimakan. Lumayan, seminggu ke depan kamu ndak perlu memasak atau beli makan di luar," kata Irene mengemas kotak-kotak tersebut ke dalam totebag kain. "Ini buatmu, dan ini buat Tita." "Aduh, makasih banyak Tante." Jonathan menatap pemberian Tante Irene dengan mata berbinar-binar. "Rezeki anak saleh. Harap maklum Tante, nasib anak kos. Kebetulan tadi Tante nelpon. Kalau enggak, mungkin saya cuma makan Indomie dan kerupuk di kosan." "Nasibmu, Nak." Irene geleng-geleng kepala. "Kamu sih, sering-sering dong main ke sini. Setidaknya perutmu aman." "Iya, Tante. Berhubung Jani sudah putus dengan pacarnya, saya bakalan sering main ke sini lagi." Sejak berstatus sebagai mahasiswa yang seringnya kere di akhir bulan, Jonathan dan Tita kerap menumpang makan di rumah Anjani. Kedua orang tua Anjani sangat murah hati. Bukan hanya dipersilakan mengisi perut sampai kenyang, Tante Irene juga sering membekali mereka dengan sembako. "Memangnya Arya juga melarangmu dekat-dekat dengan Jani?" "Enggak sih, Tante." Jonathan menggaruk pelipisnya. "Tapi saya sering nguping mereka mengobrol di telpon. Kayaknya Arya cemburu Jani punya teman dekat laki-laki. Makanya saya tau diri." "Anak itu benar-benar kumat begonya," Irene berdecak gemas. "Sekarang Tante sudah lega, akhirnya mereka putus. Alhamdulillah, Gusti. Eh, ayo buruan masukin ke mobilmu. Sebentar lagi Jani pulang. Jangan sampai ketahuan kita mengadakan syukuran kecil-kecilan." "Baik, Tante." Jonathan menjinjing empat buah totebag dan bergegas memasukkannya ke bagasi mobilnya. Tidak lama setelahnya, terdengar mobil lain memasuki pekarangan. Rama dan Anjani keluar hampir berbarengan. "Malam, Om," Jonathan menyapa ayah Anjani. Rama tersenyum ramah. "Malam, Jo. Udah lama?" "Lumayan, Om." "Om masuk dulu, ya," pamit Rama. "Silakan, Om." "Elo di sini, Jo?" Anjani berjalan bersisian dengan Jonathan masuk ke rumah. "Barusan aja kelar makan bareng Tante Irene. Maklum anak kos kehabisan duit, jadi gue nyari suaka ke sini," kata Jonathan memberi alasan. Anjani tidak perlu tahu, Tante Irene menelepon dirinya dengan pekikan girang. Ia menjadi saksi mata perempuan itu bersujud syukur di lantai kala mengabarkan Anjani putus dengan pacarnya. Ada-ada saja! "Kebetulan. Lo bantuin gue bentar dong!" Anjani menyeret tangan Jonathan ke lantai dua. "Ngapain?" "Lo tunggu di situ, jangan ke mana-mana." Anjani mendorong punggung Jonathan masuk ke kamarnya, kemudian menghilang ke gudang. Ia kembali dalam dua menit menenteng dua buah dus kosong dan membawanya menuju walk in closet. Jonathan hanya bisa melongo melihat aneka tas, perhiasan, sepatu, dan pernak pernik lain berhamburan ke lantai. "Elo kesurupan, Jan?" "Hadiah dari Arya. Mau gue balikin." "Kenapa dibalikin?" "Kami udah putus." "Oh!" Jonathan tergemap, pura-pura prihatin. "Lo gak nanya alasannya?" "Nanti lo juga cerita. Gue turut berduka, ya." "Nggak usah. Dia gak seberharga itu buat ditangisin." "Gue ralat, gue turut bersuka cita. Memangnya dia minta barang-barangnya dibalikin? Dasar pecundang!" "Gak, sih. Gue gak sudi aja menyimpan barang-barang pemberian dia di sini. Menuh-menuhin lemari." "Ooo!" Jonathan manggut-manggut. "Tasnya cakep lho, Jan. Sayang dibalikin." Ia menimang sebuah tas branded berwarna putih di tangannya. "Nggak usah dibalikin kalau dia nggak minta. Kita jual aja di Carousell, lumayan buat beli bensin." "Kita? Gue masih punya duit buat beli bensin." Anjani memandang temannya sebal. "Lo mau bantuin gue atau jadi agen marketplace? Sekalian aja lo jualan live di s****e!" "Iya iya. Sensi amat!" Jonathan pun bergerak menyusun barang-barang tersebut ke dalam dus. "Ngomong-ngomong, lo mau ikut gue surfing ke Sumba sepulang nonton konser nanti?" kata Anjani menawarkan. Tita sudah jelas tidak bisa diajak. Perempuan itu alergi berpanas-panasan. Setelah urusan barang-barang Arya selesai, Anjani berniat menelepon Tita dan meminta maaf. "Enggak. Gue ada janji sama nyokap," tandas Jonathan menolak. "Ada acara keluarga. Sepupu gue nikah." "Oh, begitu." "Lo ke Sumba bareng siapa aja?" "Om Robert." "Wah, no thanks." Jonathan bergidik. "Gue nggak mau berurusan dengan Om Robert. Om lo horor. Inget nggak, waktu pertama kali ketemu, dia menginterogasi gue dari A sampai Z. Kayak gue demen sama lo aja!" dengusnya keki. Anjani menimpuk kepala Jonathan dengan tas tangan. Laki-laki itu meringis. "Lo beneran gak demen sama gue?" "Enggak." "Ya ampun, pahit banget mulut lo!" Anjani mendelik. Jonathan terkekeh. "Jatah cuti gue tahun ini tinggal dikit. Lagian gue kan pelayan IGD. Baru libur dua hari aja udah ditelponin kapan masuk," katanya. Jonathan dan Tita sudah naik kasta menjadi dokter jaga di IGD. Sementara Anjani masih harus puas bertahan di bangsal rawat inap. Dua dus besar langsung penuh dengan barang-barang pemberian Arya. Anjani menyegel dus itu dengan plester. "Ini udah semuanya?" "Udah." "Udah dipotong sama duit bensin?" "Maksud lo?" Alis Anjani mencureng. "Kalau lo mau hitung-hitungan, sekalian hitung duit bensin selama lo nganter jemput Chelsea. Jangan mau rugi. Lo juga sering ngajakin Chelsea makan dan main di luar, kan?" Anjani terdiam. Tiba-tiba saja ia merasa iba kepada Chelsea. Gadis kecil yang belakangan sangat dekat dengannya tersebut manis sekali. Tingkahnya menyenangkan. Dan terlepas dari kelakuan Arya yang sombongnya keterlaluan, pria itu adalah ayah yang baik bagi putrinya. "Kasihan Chelsea. Sebentar lagi dia ulang tahun. Gue udah janji beliin dia kado rumah Barbie," gumam Anjani pelan. "Chelsea bukan tanggung jawab lo. Hubungan lo dengan ayahnya sudah berakhir," pungkas Jonathan. "Jangan bilang lo bakalan luluh kalau Arya menggunakan anaknya buat bujuk elo," sambungnya mengingatkan. "Benar juga sih," Anjani mengembuskan napasnya. "Ya, udahlah. Bodo amat sama duit bensin!" Dengan dibantu Jonathan, Anjani mengangkat dus tersebut ke garasi, lalu memuatnya ke dalam bagasi. Setelah itu ia menyuruh Pak Didin mengantarkan barang-barang tersebut ke rumah Arya. "Gue pamit pulang dulu. Besok gue kebagian shift pagi." Jonathan kembali ke dalam rumah dan berpamitan dengan kedua orang tua Anjani. "Hasil tes PPDS udah keluar. Jangan lupa dicek." "Beneran?" Anjani merogoh saku roknya kemudian tersadar ponselnya tertinggal di kamar. "Nama gue ada gak?" "Aduh, gue lupa lihat." "Kebangetan! Lo sendiri gimana? Lolos, kan?" Jonathan menggeleng lemah. "Tahun depan gue coba lagi. Gue pulang ya." Anjani termangu sejenak. "Sabar ya, Jo. Mungkin belum rezeki." Ia menepuk bahu Jonathan. "Makasih udah bantuin gue." Sepeninggal Jonathan, Anjani bergegas ke kamarnya. Ia meraup ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Baru saja Anjani mengusap ponselnya, terlihat belasan panggilan tak terjawab dan notifikasi pesan di sana. Tanpa buang waktu, Anjani membuka detail kontak Arya dan memblokirnya. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan laki-laki payah itu. Menyusahkan saja! Anjani membuka laman website universitas, kemudian mengunduh berkas pengumuman hasil penerimaan PPDS. Jantungnya berdetak kencang seiring jemarinya menggulir halaman sampai ke bagian patologi klinik. Namun beberapa detik setelahnya, ponsel itu terlepas genggaman. Anjani terenyak lemas. Namanya tidak tercantum di dalam daftar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN