Kesempatan Emas

1219 Kata
The Last Concert Special Audition! Persiapkan penampilan terbaikmu untuk musikal paling fenomenal tahun ini. Mata Mira melebar membaca tajuk selebaran yang tertempel di papan pengumuman dekat halte. Sebuah audisi terbuka untuk mencari pemeran drama musikal yang akan ditampilkan di gedung teater nasional dua bulan lagi. Jantung Mira berdebar kencang. Gadis 25 tahun itu tidak sabar lagi karena baginya, mungkin ini adalah jawaban Tuhan atas doa-doanya selama ini. "Mira akan mendapatkan peran itu, Ma. Mira janji kepada Mama," gumam Mira lirih. Gadis itu pun melepas selebaran itu, lantas memasukkannya ke dalam tas dengan tergesa karena tidak ingin tertinggal bus yang akan mengantarnya ke tempat kerja. *** Jordan tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi putihnya. Siapa pun tidak akan pernah menyangka seorang Jordan Gorge Adams akan tampil menggelikan seperti itu. Sejak menemukan artikel di situs berita online yang membuat tentang proses produksi drama musikal The Last Concert, senyum pria 30 tahun itu terus terkembang. Antara penasaran, senang, atau rakus dengan berita itu, Jordan terus saja membuka semua artikel yang membahas tentang itu hingga tak menyadari bahwa seseorang telah memasuki ruang kerjanya. "Ternyata seorang CFO Adams Group lebih suka bermain internet dan tersenyum tak jelas. Enak sekali? Senyam-senyum begitu dan mendapat bayaran." Jordan mengangkat wajahnya dan senyum pria itu semakin lebar. Jason—kakak lelaki Jordan—terlihat tengah berdiri di seberang meja Jordan. Pria bersurai hitam itu langsung berdiri, berjalan ke arah Jason, lantas memeluk kakak satu-satunya itu. "Aku senang membaca berita itu," ujar Jordan dalam pelukannya. "Selamat, Kak." Mendengar hal itu, Jason hanya tersenyum hambar tanpa membalas pelukan adiknya. Pandangan pria itu menerawang. Ia pun menghela napas panjangnya. Jordan mengeryitkan dahi lantas melepas pelukannya karena mendengar dengan jelas helaan napas panjang kakaknya. "Ada apa?" tanya Jordan cemas. Jason memasang senyum terbaiknya lantas menepuk pelan pundak adiknya. "Tidak apa-apa," jawab Jason singkat. "Kau sibuk? Aku mengganggumu?" Jason berjalan menuju sofa di sisi lain ruangan Jordan kemudian menghempas tubuhnya di sofa empuk itu. "Maaf karena tiba-tiba datang." Jordan balas tersenyum, mengenyahkan pikiran buruknya. Ia pun menggelengkan kepala lalu mengambil posisi duduk di samping kakak tersayangnya. "Waktuku lebih fleksibel jika bukan awal bulan atau akhir bulan. Jadi Kakak tidak usah cemas." "Baguslah kalau begitu," ujar Jason lega. "Sebenarnya, aku hanya kebetulan saja lewat sekitar sini. Karena sudah terlanjur dekat, aku mampir saja." Jordan menyunggingkan senyum lebarnya. Rasanya seperti sebuah keajaiban telah terjadi. Kakaknya yang dulu dinginnya mengalahkan es di Kutub Selatan, sekarang tiba-tiba berubah hangat. Tampaknya pengaruh pemanasan global sudah mengubah sifat kakaknya itu. "Kakak tidak sedang bercanda, kan?" Jason tertawa mendengar pertanyaan Jordan yang disertai dengan ekspresi wajah lucu itu. Rasanya menyenangkan jika sekali-kali mendatangi adiknya dan menggodanya seperti ini. Meski sudah berusia 30 tahun, Jordan tetap semanis dulu. Berbeda dengan Jason, Jordan justru mengagumi suara tawa kakaknya. Sudah lama Jordan tidak melihat maupun mendengar Jason tertawa lepas. Rasanya seolah semua beban berat yang ditanggung di pundaknya setelah keputusan sang kakak untuk pergi meninggalkan rumah 15 tahun lalu, menguap begitu saja. Jika Jordan harus mengorbankan semua kebebasan dan cita-citanya demi melihat tawa sang kakak, ia akan melakukannya dengan senang hati. "Mau makan siang dengan Kakak?" ujar Jason sembari melirik arlojinya. "Kebetulan sudah masuk jam makan siang." Jordan melirik sekilas setumpuk berkas di mejanya, menatapnya sendu, tetapi langsung menyunggingkan senyum lebarnya kepada Jason. "Tentu saja aku mau. Kebetulan ada satu restoran Perancis yang baru buka di sekitar kantor. Aku ingin sekali mencobanya." Jason tersenyum lantas berkata, "Ayo, kita mencobanya!" *** Mira terus saja menyunggingkan senyumnya meski ia tengah mengelap meja-meja restoran tempatnya bekerja. Sejak membaca selebaran audisi tadi, entah kenapa hati Mira terus saja diliputi kebahagiaan. Ia sama sekali tidak peduli meski mendapatkan tatapan aneh dari teman-temannya. "Bahagia banget? Punya pacar baru, ya?" Mira memukul lengan pria yang tiba-tiba muncul di sampingnya dan ikut melakukan apa yang dikerjakan Mira. "Sok tahu," jawab Mira ketus, tetapi dengan senyum yang masih terukir indah di bibirnya. Pria itu menghentikan pekerjaannya, berkacak pinggang, kemudian menatap Mira tak percaya. "Aish, dasar gadis aneh," gerutunya kesal. "Memang kau pikir, kadar kecantikanmu akan bertambah jika terus tersenyum seperti itu?" Mira tak terima dengan ucapan rekannya itu. Ia pun menghentikan pekerjaannya, melempar kain lapnya ke meja, lantas menatap tajam pria di sampingnya. "Memang siapa yang bilang cantik?" Mira mengerutkan dahi ketika melihat temannya itu justru tertawa melihat kemarahannya. "Kau manis sekali jika marah seperti ini," ujar pria itu sembari mencubit gemas pipi Mira. "Sakit, Bang ...." Mira mengusap bekas cubitan di pipinya. "Bang Andra menyebalkan!" Mira pun melangkahkan kakinya menjauhi pria yang dipanggil Andra itu. Ia pergi ke ruang ganti untuk melepas celemek dan mengambil barang-barangnya di loker. Memang sudah waktunya Mira pulang. Ia tinggal lebih lama karena kebagian bersih-bersih akhir untuk hari ini. Mira melengos, melewati Andra begitu saja ketika berpapasan di depan. Andra pun mencekal tangan Mira, memaksa gadis itu berhenti. "Jangan marah, please ...." Andra memohon dengan mengatupkan kedua tangannya. "Aku hanya bercanda. Rasanya gemas melihatmu senyam-senyum sendiri seharian." Mira menghela napas panjangnya, menatap Andra malas. Pria di hadapannya itu balas menatapnya dengan memelas membuat Mira tak tega juga. "Aku tidak marah." "Bohong," sangkal Andra cepat. "Ih, jadi Bang Andra mau aku benar-benar marah?" Andra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum malu. "Ya, bukan begitu, sih," "Ya, sudah. Sekarang Bang Andra minggir karena kau mau pulang." "Eh, tunggu sebentar," ujar Andra seraya merentangkan tangannya untuk menghadang langkah Mira. "Abang ganti dulu. Kita pulang bareng. Oke?" Mira hanya menganggukkan kepala yang langsung dibalas dengan senyuman oleh Andra. Pria yang tiga tahun lebih tiga tahun lebih tua dari Mira itu, langsung melesat ke ruang ganti untuk mengambil barang-barang miliknya. Tak butuh waktu lama, Andra pun keluar dengan mengalungkan tas selempangnya di bahu. Setelah memastikan restoran terkunci dengan aman, Andra dan Mira berjalan menuju parkiran restoran yang sudah sepi. Hanya ada sebuah sepeda motor matic dan seorang satpam yang memang bertugas jaga pada malam hari. Setelah sedikit berbasa-basi dengan satpam itu, Andra langsung menggeber motornya dengan membonceng Mira, menembus malam yang semakin terasa dingin. Andra selalu membawa dua helm. Bukan tanpa alasan, Andra memang selalu menunggu momen kebersamaan mereka seperti ini. "Aku masih menunggu ceritamu," ujar Andra di tengah konsentrasinya melihat jalan. "Cerita apa?" Mira menjawab dengan sedikit berteriak karena angin malam benar-benar mengaburkan suaranya. "Kau senyam-senyum sejak pagi. Kelihatannya bahagia sekali." Tanpa sadar, Mira menyunggingkan senyum. Mengingat kembali hal itu, rasanya membuat hatinya melayang karena bahagia. "Ada audisi. Aku akan ikut." Hening sejenak. Andra tidak langsung menanggapi karena sepertinya, pria itu tengah berpikir. Andra sangat mengenal Mira. Lima tahun bukan waktu yang lama untuk bisa memahami Mira luar dalam. Gadis penyuka pisang itu sangat mudah bergaul hingga membuatnya nyaman bercerita tentang dirinya dengan siapa saja. Mira akan langsung akrab dengan orang baru, contohnya Andra. Dulu, ketika Mira menjadi pegawai baru, gadis itu langsung dekat dengan Andra yang merupakan seniornya. Mira tidak segan-segan untuk bertanya hingga membuat mereka semakin dekat hingga sekarang. Andra tahu jika Mira hidup sebatang kara. Gadis itu pindah dari sebuah desa kecil di Bogor ke Jakarta seorang diri setelah mamanya meninggal. Wajah polos Mira dulu langsung meluluhkan hati Andra. Cita-cita dan semangat menggebu gadis itu juga langsung membuat Andra jatuh hati. Meski telah lima tahun berlalu, ternyata Mira masih belum bisa melupakan mimpi-mimpinya. Hal itulah yang saat ini membuat Andra cemas. "Kapan?" tanya Andra lirih, tetapi tampaknya Mira mendengar ucapannya. Gadis itu tersenyum simpul lalu kembali mendekatkan wajahnya ke telinga Andra yang tertutup helm. "Lusa." ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN